Amplop

Seharusnya, lebaran adalah hari bahagia. Sudah seharusnya kita bahagia di hari kemenangan. Tapi, nggak setiap hal bisa dirayakan di hari raya: banyak hal yang merusak nuansa syahdu dan permai ini, begitu meresahkan.

Bukan dan sedang nggak lagi berkenan membahas lebaran dengan hal-hal sesedih orang yang nggak bisa merayakan lebaran dengan keluarga, baik sementara ataupun selamanya.

Nggak, bukan itu.

Mungkin senada dengan cerca pertanyaan nyinyir orang perihal studi, pekerjaan, dan nikah, lalu saling adu pencapaian.

Ada satu hal yang cukup menggangggu akal sehat dan bersih hati lapang dada: THR.

Bagi Sebagian orang, THR adalah salah satu aspek penunjang rasa bahagia, kekeluargaan, apresiasi, hingga penerapan makna berbagi di hari raya lebaran. Ya, meskipun tetap ada aja yang mengartikan sebagai hasil pencapaian, lalu lirik sana lirik sini.

Benar, THR nggak pernah gagal dalam membangkitkan bahagia dan menjadi alasan semarak hari raya. Tapi, makin ke sini, rasionalitas mulai mengkritisi realitas: harus adil sejak dalam pikiran.

Kenapa sih harus ada ungkapan, “Kamu udah gede, nggak usah dapat THR!” dari orang-orang berpenghasilan?

Kenapa?

Apa alasannya?

Dan THR itu, mutlak, diperuntukkan untuk bocil-bocil. Meskipun penyalurannya nggak berujung murni, semurni manusia berkantong brankas.

Teruntuk om, tante, atau nenek yang duitnya no limit yang entah dari mana: ada 2 hal yang harus kalian tau dan garis bawahi!

Pertama, kenapa sih harus bocil? Kenapa harus ada pengdikotomian anatar bocil atau nggak bocil? Kenapa harus pilih-pilih dalam berbuat baik? Ingat, bocil-bocil itu nggak paham duit! Jadi bisa dipastikan, manfaat dan maslahatnya pun dipertanyakan. Sekalinya bermanfaat dan maslahat, paling tuh duit akan bermuara di kalimat, “sini uangnya, Dek! Mama simpan biar nggak hilang.” Lalu, masuk kantong. Hal itu malah nggak tepat sasaran, juga membuka ruang untuk penyelewengan moralitas dan penggelapan dana. Bagaimana Indonesia mau maju? Kejahatan sudah mewajar dan berbudi daya sejak strata awal masyarakat.

Kedua, kalau emang cukup menghayati materi bahasa Indonesia dan mengenal pribahasa, “semakin tinggi pohon, semakin besar angin menerpa!” seharusnya paham. Ingat, logikanya, tentu semakin besar usia, semakin besar juga kebutuhan hidupnya. Karena memang udah beda porsinya. Dan nggak harus dijelasin lebih rinci, takutnya malah terkesan berkeluh kesah!

Jadi, gimana?

Berubah pikiran?

Ini pun belum dibahas, perihal memberi THR dan kebahagiaan pada seorang santri: pencari ilmu yang tentunya banyak fadilah dan barokah.

Semoga hal baik menyertai kita.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar