Pribumi
Mungkin ada beberapa hal, meski kecil, dapat membuat kita betah tinggal di bumi. Hal-hal kecil, ringan, dan bertebar itu seolah mengetuk keegoisan diri kita selaku manusia, selaku makhluk tanpa daya upaya.
Orang-orang, manusia
lain, dengan segala kemampuan dan sisi hidupnya, nyatanya mampu menimbulkan
nurani dengan penuh. Segala apa yang telah Allah berikan sebagai pelajaran,
membuat kita merasa bersyukur menjadi manusia.
Betapa tulus
senyum itu, kala Sang Bapak penjual lamongan penyetan menyapa dan mengulurkan
tangan lebih dahulu, seraya berucap, ”minal aidzin wal faidzin ya, Bang!”
dengan disusul pertanyaan kapan datang dan perihal liburan.
Bagaimana rasanya
senang terharu perihal simpatinya, selalu cerianya, cara menghargainya, dan contoh
ibda binafsi-nya mampu mengacak hati yang masih dipenuhi bayang rumah.
Kenapa juga ia
yang harus dan memulai minta maaf? Padahal kan gua
yang lebih banyak salah. Padahal kan gua yang sering minta nambah sambal dengan
bayaran yang tetap.
Terima kasih,
Pak. Semoga diberi kesehatan, dilancarkan usahanya, semakin berkembang kualitas
dan marketingnya, cukup senang sekarang udah disediakan tisu.
Begitu juga
perihal nasi padang pendatang baru dekat arah seberang pojok pondok. Siapa sangka,
nasi padang all item seharga 10 ribu itu ternyata terselip kisah pilu sebagaimana
yang dituturkan mbak-mbak nasi padang yang kelihatannya bukan orang Padang.
Jumlah nasi,
besar lauk, dan komplitnya hidangan perlengkap dalam satu bungkus yang gua masih
bingung mencari letak untungnya di mana dari 10 ribu, bisanya ia bertutur dan
jujur perihal kamar mandi, dapur, air tanah, dan ketika hujan.
Bisa lepasnya
ia bercerita pada santri ingusan ini perihal jejak hidup, ia bertutur
bersemangat seraya menunjukkan rekaman-rekaman vidio di hp-nya yang menandakan
bahwa ia benar-benar jujur.
Semangat, Mbak.
Semoga diberikan kesehatan, dilancarkan usaha, diberi kenyamanan, dan semoga harga
nasi padangnya nggak naik.
Mungkin ada
hikmahnya juga menjadi orang yang suka jajan. Selain soal pengalokasian dan
penunaian amanah ”uang jajan”, ini menjadi salah satunya.
Entah mengapa
di terik siang yang seharusnya es adalah rekomendasi, bapak berkeringat itu
malah mencari, membeli jajanan olahan tepung dan kacang: snack.
”Maaf, ciki ini
ada yang rasa jagung bakar, nggak?”
Pelayan warung
itu belum sempat menjawab, bapak itu kembali menyela.
”Ini, yang
seperti ini!”
Ia mengeluarkan
sebungkus snack persis yang bekas, yang telah habis isinya, yang nggak dijual
di warung itu.
“Anak saya pengen yang rasa jagung
bakar yang seperti ini.” Akhir kalimatnya berujung senyum getir.
“Nggak ada, Pak.
Adanya itu yang rasa ayam bawang. Nggak pedas,
kok.” Ucap Sang Pelayan Warung.
“Nggak pedas, ya? Boleh deh satu. Semoga aja anak saya suka.” Parau.
Tebak gua dari
keringat, senyum getir, dan parau suaranya, mungkin warung ini adalah warung
yang kesekian dari banyaknya warung yang telah ia susuri untuk mencari snack
yang diinginkan anaknya di rumah. Lengkap dengan bungkus bekasnya sebagai
sampel.
Jadi nggak
kebayang capeknya jadi orang tua. Sebegitunya perjuangan dan kasih sayangnya
kepada anak: melawan lelah, menghapus malu.
Anda hebat,
Pak. Semoga diberi kesehatan, dilancarkan rezeki, diberi keharmonisan keluarga,
dan semoga anaknya suka snack rasa ayam bawang itu.
Belum lagi
ayah, kini gua malah dikasih gambaran seorang ibu.
Di tengah ramai
malam semangat euforia dan harapan warga negara yang meluapkan cinta tanah air dengan
menonton timnas kesayangannya yang berhasil lolos semi final di turnamen
bergengsi se-Asia, sepasang suami istri dan 2 anaknya pun ikut serta dalam
perhelatan nonton bareng di halaman sebuah cafe yang memanjang.
Satu anaknya
yang laki-laki berumur TK, dan yang satunya berusia bayi yang entah apa jenis
kelaminnya. Sejujurnya, saat mereka datang dan nggak jauh dari meja gua, ada
sedikit keterbingungan, ”kenapa mereka ikut nonton, membawa bayi di tempat
seramai ini?”
Meskipun sepenuhnya
gua percaya, dengan mereka menikah dan memiliki anak, menandakan mereka telah
siap menjadi orang tua dengan segala resikonya. Tentunya setiap orang tua ingin
yang terbaik untuk anaknya.
Dan benar saja,
baru saja pertandingan berjalan 7 menit, semarak penonton disusul teriakan
nangis Si Bayi. Segala usaha telah diusahakan Sang Ibu dengan menepuk halus
atau menyusui dari botol susu untuk meredakan tangisan bayi dan tatapan orang-orang
padanya.
Tetap saja,
gagal: bayi itu tetap menangis.
Hingga harusnya
Sang Ibu berdiri, menepi, menggendong bayi, mengayun dan menyusui, sampai
usainya pertandingan. Bayangkan, seberapa lama itu berdiri? Sebarapa capek ibu
itu berdiri?
Dengan begitu,
gua jadi sadar, ternyata kita sebegitu merepotkannya ketika bayi, di antara
segala keumuman bayi dan kenormalan orang tua.
Anda luar biasa, Bu. Semoga diberi kesehatan,
dilancarkan rezekinya, diberi keharmonisan keluarga, dan semoga anaknya nggak
cengeng.
Sekembalinya ke pondok, di suatu
hari, cukup lucu atau menggelikannya melihat lelaki dewasa yang tercap “santri
sepuh” yang sedang sumringah, sebegitu senangnya ia bermain dengan 3 ekor
kucing. Gua yang selewatan itu, nggak sampai tega menyapa, takutnya mengganggu
me time orang yang bisa-bisanya salting dengan tingkah kucing yang menggemas.
Bisa-bisanya tuh kucing diajak
ngobrol! Gua nggak mau mikir buruk, mungkin emang gua aja yang nggak paham bahasa
kucing.
Panjang umur pemerhati kucing!
Bahkan sesampainya gua di kamar, Si
Said dan Si Bakwan sedang bercengkrama dengan seorang Perempuan paruh baya di
teras basecamp. Dari pakaiannya,
nggak terlihat perempuan itu termasuk wali santri. Usut punya usut, ternyata
perempuan itu adalah penjual madu keliling.
Gua yang nggak
mau mengganggu halaqah itu memilih langsung masuk kamar untuk hal lain. Hingga,
waktu yang berjalan panjang, gua ikut meneduh di basecamp. Terlihat perempuan
itu telah pergi. Gua terduduk mencari angin.
“Bang, lihat dah tuh! Oon banget
dah, masa madu 150 ribu dibeli.” Unjuk Bakwan pada Said.
Gua lihat madu yang dikemas dalam
botol marjan itu, terlihat cukup mahal dan berat untuk beli madu seharga 150 ribu itu:
seenggaknya bagi gua. Belum lagi perihal penampilan pengemasannya, nggak dulu
deh.
“Lah lu kenapa
beli? Lu butuh madu?” Tanya gua pada Said, cukup bingung.
Terlihat cerah di wajahnya dengan sedikit
mengakui kemahalan harga madu dan menyadari kebodohannya, ia menjawab mantap.
“Gua niatnya
kemanusiaan, Bang. Setua itu masih kerja. Siapa juga yang mau beli madu kayak
gitu? Apalagi ibu itu kan dari Jombang buat dagang. Kan kita tau, cara
bersedekah ke pedagang tanpa menyakiti perasaannya kan dengan cara membeli
dagangannya?!”
Wah!
Gua nggak bisa
berkata banyak.
Panjang umur
pengusung kemanusiaan!
Gua harus belajar banyak dari Said.
Gua harus
banyak belajar dari sekitar.
Gua harus bayak
belajar!
Komentar
Posting Komentar