Hubb

Dering panggilan telpon dengan volume sedang berhasil membuat seorang lelaki tercekat, terdiam, lalu pikir skeptis yang lama terpendam, kembali muncul:

“Lebih baik hubbul wathon dengan lanjut menonton Timnas U-23 pada laga krusial yang menentukan nasibnya di piala asia, atau mending hubbul wadon dengan mengangkat telpon yang kesekian dan harus merelakan pertandingan yang baru berjalan setengah babak karena memang udah bisa dipastikan telponan ini akan lewat berjam?”

Ia berkonklusi, Ia berspekulasi.

Menonton Timnas U-23 adalah suatu momen yang ditunggu. Bukan hanya perihal lelaki, tapi ini soal warga negara. Apalagi dalam kejuaraan kali ini, Rizky Ridho dan kawan-kawan punya jalan yang nggak mudah karena satu grup dengan Qatar, Sang Kampiun Juara dan Tuan Rumah. Tentu di laga kedua melawan Australia kali ini akan menjadi penentuan langkah Timnas selanjutnya, jika saja sampai kalah tentu sudah nggak ada harapan lagi meski harus menang di laga ketiga dengan Yordania nanti. Tentu coach Shin Tae-yong akan menerapkan skema permainan menyerang.

Dan hal yang mewajibkan untuk menonton laga ini sampai usai adalah perihal suporter Indonesia yang datang beruntun, gagalnya tendangan penalty Australia, dan gol Indonesia oleh heading Komang: tentu merupakan epic watching di half time ini.

Tapi, di sisi lain, telpon itu terus berdering.

Perihal tentang segala konsep memanusiakan manusia dari perspektif umum, sosial, akademis, ataupun agama sekalipun, dirasa nggak perlu.

Pikirnya:

“Andil diri dalam menonton Timnas, dirasa nggak begitu berpengaruh untuk Timnas. Apalagi jika hanya menonton lewat televisi, hanya sebagai apresiasi dan kepuasan diri sendiri. Tapi, jika telpon? Diangkat nggaknya, tentu sangat berpengaruh!”

“Lagi pula, udah setengah babak untuk Timnas. Jika setengahnya lagi diberikan untuk angkat telpon, hal ini terkesan lebih adil dan moderat.”

Ia beranjak ke kamar, memilih angkat telpon yang masih berdering itu.

Sebagaimana yang sudah-sudah, jauh di telpon sana, perempuan itu kembali cerita. Bisa hal senang, bisa hal sedih. Lelaki itu pun ikut saja. Senyum untuk senangnya, murung untuk sedihnya. Lagi pula, ia hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Lalu, sesekali berpendapat jika diperlukan.

Meski suara itu kurang begitu jelas, meski cerita itu membosankan, “kenapa lelaki itu terus mendengar dan bertahan?”

Sejujurnya, hal itu sangat berarti: mungkin ia menyukai perempuan itu.

“Lah, berarti anda nggak nasionalis, Bang? Kok bisa-bisanya malah feminis!” Protes salah seorang suporter timnas.

“Lah, kenapa begitu? Kenapa harus ada dikotomi” Lelaki itu angkat suara bertanya.

“Bukannya Timnas dan perempuan ini sama-sama Indonesia? Apa yang harus dipermasalahkan antara nasionalis dan feminis? Bukannya Timnas adalah sepak bolanya dan perempuan ini warga negaranya?” Lanjutnya dengan retorika yang sempurna.

Suporter garis keras itu hanya terdiam memandang dalam, mungkin berpikir: plongo.

“Meski kita sama-sama Indonesia: hanya saja, saya nasionalis dan feminis, sedangkan anda nasionalis dan separatis!”

Hingga, suporter itu benar-benar diam murung meski dalam euforia kemenangan Timnas Indonesia dengan skor akhir 1-0.

Lagian, emang ia belum pernah baca atau dengar keterangan: 

النساء عماد البلاد إذا صلحت صلح البلاد وإذا فسدت فسد البلاد

"Wanita adalah tiang negara, apabila wanita itu baik, maka akan baiklah negara. Dan apabila wanita itu rusak, maka akan rusak pula negara."

Kalaupun begitu, Syekh Musthofa Al-Gholayini menambahkan dalam karangannya, Idhotun Nasyi'in:

ولا ريب ان سعادة النشء وهم عماد الاءمة اكثر ما تكون با لمراءة

"Tidak dapat diragukan lagi, bahwa kebahagiaan generasi muda yang merupakan penopang utama umat, itu lebih banyak bergantung pada kaum hawa."

Haha.

Mungkin ia berpikir.

Mungkin ia menerka makna nasionalis.

Mungkin ia kurang baca buku.

Selamat untuk Timnas Indonesia U-23!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar