Ha’eu
“Kok, akhir-akhir ini, blognya banyak dihiasi cerita-cerita sih, Bang? Kok jarang ada tulisan narasi-narasi ngeluhnya?” Bingung seseorang, untuk masukan atau kritikan, membangun atau nggak: cukup menyadarkan.
“Sedari sebelum Ramadhan, hingga Ramadhannya.
Ini aja belum ada tulisan tentang liburan
sewaktu di rumah, juga tulisan perihal kembali masuk pondok. Pasti akan banyak
cerita-cerita lagi kan, Bang? Aku yakin akan launching itu!” Lanjutnya menebak.
Sejatinya, blog
compang-camping ini adalah tempat sampah untuk ide-ide kusam yang mungkin
mengeluarkan aroma yang nggak sedap bagi mata dan akal sehat. Cukup lucu atau
mungkin harus senangnya pada orang yang rela mengorek-ngorek tempat sampah itu,
entah memulung karena gabut, penasaran, nggak sengaja, hobi, atau malah kebutuhan, tentunya nggak habis pikir
dengan mereka: ”kok mau berkusam-kusam tangan dengan aroma busuk yang menusuk
untuk mengorek kata demi kata tulisan lusuh itu?”
Tapi,
bagaimanapun, tulisan adalah tulisan: harus disemayamkan ditempat yang tepat,
dan sebisa mungkin bermanfaat!
Lalu, untuk
menjawab pertanyaan di atas, gua pun ikut bingung. Mungkin kalau mau dikata
egois untuk mengakui, seharusnya gua yang lebih bingung. Perihal kenapa gua
yang lebih sering menulis cerita dan bercerita, juga perihal kenapa kok ada
pembaca yang seteliti dan lebih perhatian dengan tulisan yang ditulis
penulisnya sendiri.
Dengan
memandang realitas, baik di sebalik kertas atau malah di depan buku, ada hal
yang seharusnya kalian tau. Lalu, dengan
hal itu juga, cukup senangnya atas apresiasi yang sangat bernilai. Hal apa yang
lebih membahagiakan bagi seorang pekerja seni selain dihargai karya
seninya? Dan karya seni tulis, bagi gua, terlihat lebih indah
nilai seninya lagi mempesona, lalu tergila-gila.
Bukankah kita
tau, bahwa bercerita adalah salah satu strategi pengajaran yang efektif? Iya,
banyak sekali manfaat dan kebaikan dalam cerita ketika digunakan dalam metode
pengajaran. Nggak perlu mengurung diri di
perpustakaan dan menyelami kalimat panjang dalam tumpuk buku-buku, silahkan
saja cek sendiri di internet perihal ini: sangat banyak dan puaskan pikiran
dalam menyerap semua ilmu dalam bacaan-bacaan itu. Lalu, juga mengapa, Hujjatul
Islam, Imam al-Ghazali banyak kali menerapkan metode cerita ini dalam
karya-karya hebatnya. Sebut saja seperti dalam masterpiece-nya, Ihya
Ulumuddin, yang sangat banyak akan cerita-cerita yang terkandung dalam
setiap pembahasannya.
Entah juga, akhir-akhir ini gua
begitu krisis fiksi. Hal bacaan pastinya mempengaruhi tulisan. Status pembaca pastinya
mempengaruhi status penulis. Untuk sekelas novel sebagai buku cemilan ringan
yang lezat lagi menagih untuk terus mengunyah saja begitu sulit dan jarang. Mungkin perihal masalah-masalah inti dan berkepanjangan tentang
chemistry lembar-lembar awal, juga tebalnya halaman. Hingga, hal-hal yang
menambah dan dibuat-buat untuk dijadikan masalah baru agar benar-benar kuat
alasan itu untuk nggak membaca novel.
Dan udah bisa dipastikan dengan
novel yang sebegitu ringan dan renyahnya, antalogi cerpen pun dengan segala majaz
dan kesusastraan yang membuat mabuk terbuai dan melayang-layang di antara
keterkaguman dan ketidakpahaman: nggak terbaca, benar-benar.
Sudah menjadi hal yang luar biasa
untuk mengisi krisis fiksi ini dengan menulis cerita. Sudah menjadi suatu yang
luar biasa untuk memetik nilai dan makna pendidikan dalam metode pengajaran
yang baik: dengan cerita, bercerita.
Semoga ada hikmah baiknya.
“Lah kok gitu, Bang?” Pembaca
Budiman itu kembali menyela.
“Katanya bacaan mempengaruhi
tulisan, katanya status pembaca mempengaruhi status penulis. Kan abang tadi
bilang jarang membaca buku cerita dan bacaan-bacaan fiksi, sangat sedikit
hingga krisis, tapi kenapa tulisan ceritanya membludak banyak? Kan seharusnya yang
tertulis sama sedikitnya dengan apa yang dibaca?”
“Terus bang, sejak kapan abang jadi
nggak kenal konteks? Kan hal yang aku tanya dari tadi dan satu-satunya adalah alasan! Apa alasan
abang kok jadi sering nulis cerita dibanding narasi ngeluh? Apa penyebabnya?
Itu kan poin pertanyaannya?” Tegasnya di ujung kalimat bernada menekan, membuat
penulis ini tertekan.
Begini rasanya dicounter dengan
skeptis dan intonasi tinggi. Apalagi diserang dengan pertanyaan, dari pernyataan
gua sendiri!
Lalu gua terha’eu-ha’eu.
“Lagi jatuh cinta, Bang?!”
Derrr!
Gua tertembak oleh tebak.
Siapa sih nih orang? Pembaca kok
menjurnalis? Kok berdramatisasi introgasi? Lagian apa hubungannya dengan jatuh cinta? Nggak jelas!
Gua kembali, hanya
bisa, melanjut terha’eu-ha’eu.
Kali ini 3 ha’eu:
ha’eu-ha’eu-ha’eu.
Komentar
Posting Komentar