Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2023

Hujan

“Bih…? Bih…?” Rupanya suaraku tak ada tanggapan. Aku yang selesai masak, sedari dapur, mencari keberadaan mereka: suami dan anak ku . Aku berniat mengajak makan bersama, apalagi hari ini aku memasak ikan mujair dengan sambal dan sayur bayam jagung. Tentu masih hangat. Tentu mereka suka: itu menu andalan keluarga. Tapi, mereka tak kunjung ketemu, panggilanku tak terjawab. Karena deras hujan, mungkin aku harus mencari mereka sampai di teras. Ke mana gerangan mereka di tengah hujan seperti ini? Mereka biasa di teras. Saat di teras pun ternyata tetap tak kutemukan. Hanya rintik hujan yang menetes, mengakhir, terjun dari atap dengan bebas dan segar. Lagi pula sendal mereka pun masih ada, tetap rapih di rak: menandakan mereka tak keluar rumah. Aku benar-benar bingung. Juga lapar. Tak lama, seseorang memanggilku. Di tengah hujan, pada deras hujan. Hujan-hujanan. “Umiiih!” Ahsan, anakku di sana. Astaga! Anak lelaki yang menginjak TK B itu sedang main hujan-hujanan. Ia terlih

Kelopak

Terbayang indahnya memiliki kekasih seorang penyair. Kata-kata yang mengalun, melandai, menyapa hangat gelora jiwa. Membuat bunga-bunga hati bermekaran dengan cantik, berseri. Penuh rela. Tapi, adakah yang lebih mencekam dan mencengkram dari luka hati? Berdarah-darah, berair-air mata, juga keringat itu nyatanya tak ada daya siram bunga yang melayu. Lebah hinggap, mengharap dan menggarap kelopak pada tangkai. Detak detik tak butuh ngemis tangis, secukupnya histeris. Kamu, Layla.       Dan aku berusaha untuk tidak majnun karenamu!   Entah, bisanya ia memperebutkan pengakuan kekasih dari sederet kata nama Layla. Meski bernama sama, pesonanya tetap beda. Dan ia berani taruh, bahwa cintanya lebih besar dari pada seorang Qais, lelaki lampau yang dielu-elukan percintaannya itu. Apa hebatnya cinta dari seorang yang gila? Begitu tersinggung, cinta harus ternodai atas nama kegilaan! Protesnya pada para pecinta. Mengingat. Ingatan mencumbu sebaris harum Sang Kekasih. Dalam sekejap,

Harokat

Lelucon dan tawa adalah sebuah kebutuhan. Setiap orang dengan kesibukannya yang menuntut, kadang menimbulkan lelah dan sumpeknya masing-masing. Segala hal yang nggak tersampaikan, nggak sesuai harapan, hingga dikecewakan: kita nggak bisa menafikan itu! Dengan segala tumpuk beban pikir dan hati, nggak mengecualikan santri adalah arti beban itu sendiri. Bukan maksud untuk membandingi dan keluh kesah, bukannya setiap orang punya beban dan keluhnya sendiri-sendiri? Bagiamana santri yang harus terpisah jarak, tertahan waktu untuk segala hal yang menjadi bagian diri: keluarga, tanah kelahiran, juga kenang-kenang. Terdampar di suatu tempat asing dengan mencoba membangun dan menanggung niat sungguh-sungguh itu. Dipaksa adaptasi dengan orang-orang baru, diharuskan menerima mereka adalah bagian dari kita. Belum lagi soal ekspetasi harap dan tuntut orang rumah untuk hasil, segala kegiatan yang berketerikatan dengan kata santri dan pondok pesantren, sudah membuat banyak rekonstruksi diri. Be

Meriang

Lihatlah manusia panas dingin itu! Hatinya panas, terbakar cemburu naas. Badannya dingin, tak kunjung tersambut peluk ingin. Kali ini ia dihadapkan kenyataan musim kemarau dan mendung akan turun hujan. Bukannya menepi berteduh, atau sekiranya bergembira sorak sorai menanti rintik. Ia malah meracau. “Jangan hujan dulu, ya Allah! Aku takut dingin. Ini belum nemu lampias hangat.” Tak lama, setelah itu, ia mandi hujan. Hujan-hujanan. Tertawa lepas.

Telpon

Anak itu boros. “Bu, minta uang buat bayaran!” Anak itu bohong. “Iya, nak. Nanti ibu kirim.” Ibu itu bohong. Hal itu disampaikan pada suaminya, selaku kepala keluarga dan orang yang kerja. “Iya, sebentar lagi uang lembur turun.” Suami itu bohong.

Pecah

             “Kamu suka malam, begitu gelap. Kamu berbeda.”             “Sejak kapan kamu mengenalku berbeda? Yang kamu sebut itu juga merupakan bagian dariku.”             “Kenapa?”             “Tak selamanya mutiara selalu pada kemilaunya tanpa sekalipun untuk retak atau goresnya.”             “Aku hanya tak ingin kamu kaget untuk cicip cinta yang panjang, kemudian.” Masih lanjutnya, tak lama.             “Atau kamu memilih menyerah mencintaiku?” Hingga, di kalimat terakhir pun, tetap menjadi milik Si Lelaki.             Bagi mereka yang dangkal, hanya memandang dan menuntut: cinta itu indah. Meski juga tetap ada yang menjunjung sebagai perjuangan, saling mengisi dan memahami, hingga percaya. Nyatanya ego diri masih menjadi pencuci mulut termanis. Ternyata selama ini mereka saling asing. Masih asing. Begitu asing.             “Kamu menyakitiku!” Perempuan itu, lagi-lagi, memenangkan perasaannya.             “Aku sudah lama menyakiti diriku sendiri.”             Naas

Jajan

“Mau jajan?” Ucap seorang lelaki pada seorang perempuan, menawarkan brownies cokelat-nya. ”Iya, makasih.” ”Lu puasa?” Tanpa menjawab, perempuan berkerudung ungu itu hanya tersenyum. Kebetulan memang hari ini adalah hari senin. Sang Lelaki itu langsung paham. “Masya allah, sholehah banget sih. Ajarin dong! Biar gua bisa ngajarin istri gua nanti.” Lelaki itu sedikit tertawa di ujung kalimatnya. Sedangkan, perempuan itu diam sejenak, tak langsung menjawab. “Istri kamu nggak usah diajarin, Bat.” Jawabnya tertunduk. Sang Lelaki bermaksud bercanda. Sang Perempuan menanggapinya serius. Penulis jadi bingung.

Angin

Tatapan mereka ke depan melandai, masih pada jalan lalu lalang kendaraan. Pikiran mereka berpendar, berputar, untuk tenang yang berhasil ciptakan senyum dan hangat. Senyum itu merekah. Hangat itu menetap. Di atas ketinggian, tak banyak yang dibicarakan. Jangankan untuk sekedar kata, mata mereka pun tak sanggup berlama. Hanya sesekali hembus nafas halus. Entah, nggak seperti biasanya. Seperti mereka yang lain. Bercanda pun menganggapnya asing. Lelaki itu mengangkat suara. Mencegah lamunan perempuannya. Menyergah kebisuan mereka. “Terima kasih, karenamu, hidupku berwarna. Menyadar dan merubah, bahwa tak hanya tentang warna hitam yang indah.” Ucapnya tetap dalam tunduk. Perempuannya mengerjap. Kesadaran hilang sekejap.

Letup

Nggak begitu banyak yang kita ketahui tentang hal luas. Kedip, hembus, langkah, atau hanya sekedar kata-kata. Personal, banyak faktor yang mempengaruhi itu. Dan lingkungan adalah hal yang mendominasi.  Selain itu, kebanyakan dari kita, lebih memilih untuk mendekat pada lingkungan dan subjek yang menempatinya, yang cenderung mewakili kita. Lebih nyaman untuk singgah dan interaksi di lingkungan yang mengandung berbagai macam sisi kita. Di luar itu, kita menjauhinya. Atau mungkin menjaga jarak. Dalam macam jenjang strata umur sosial, tentu banyak yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran. “Duduklah dengan orang yang lebih tua, untuk membuka apa yang tertutup!” Gua setuju soal itu: kita duduk, bergaul dengan mereka yang lebih tua dari kita akan memberikan pengetahuan lebih. Pendek gua, karena memang mereka lebih dahulu hidup dan mengenal banyak hal, dibanding kita. Setidaknya itu. Akhir-akhir ini, cukup senang, abang-abang kamar kok pada merapat ke gua tanpa dipinta. Bukan maks

Kerontang

Entah kenapa, akhir-akhir ini bawaannya kesel aja. Dan nggak mungkin juga gua ceritain semuanya. Tapi seenggaknya masalah air galon ini perlu diusut tuntas dan dikritik secara normatif. Air minum itu penting, karena minum itu penting. Jadi segala hal yang berkaitan dengan air dan minum juga terbawa penting. Seharusnya setiap orang bisa mengurus dirinya sendiri, atau paling nggak seminimal paling berjasa, bisa mengurus organisasi struktural meski hanya dalam lingkup kamar. Semua perlu diperhatikan : f asilitas, sumber daya, dan kesejahteraan menjadi faktor dan tugas utama. Jangan malah, sampai ada warganya yang kecekek kerontang karena kehausan. Dan solusinya pun bebas, asal jangan sampai membuat warga kamar lain ikut-ikut kecekek kerontang kehausan juga karena hal ini. Terbawa-bawa memikirkan masalah yang bukan masalahnya. Apa-apaan! Masa setiap hari kamar gua jadi ramai orang-orang bawa botol aqua 1,5 liter. Jangan pernah berprasangka baik pada hadap wajah dan ucap mereka dengan m

Pucuk

Di suatu hari, wajah itu berseri. Menit berikutnya, sendu. “Sekali lagi selamat, ya! Kamu hebat, aku bangga. Tentunya untuk senang. Sangat amat.” Berseri itu tetap. Sendu itu tetap. “Terima kasih. Kamu berlebihan, toh hanya tulisan.” Ucapnya mencoba merendah, tak merubah indah. “Mengalahkan puluhan orang cerdas, masih pantas untuk tak cerdas?” “Tapi, aku tak sedikitpun merasa cerdas, hebat sekalipun. Mencoba untuk syukur.” Mata, tatapan itu. “Apapun yang terucap, setiap orang berhak atas lisannya. Bagiku kamu kaca, pelecut untuk terus hebat.” “Sebelumnya, aku juga mau minta maaf.” Lanjutnya di detik kemudian. “Kenapa?” Rona sejuk tak berubah sama sekali. Mungkin ada sedikit getir. “Nih, buket bunganya. Ya, walau rada telat.” Ia tertawa. “Nggak harus gini juga kali. Dukungan dan do’a dari kamu aja aku udah makasih banget. Udah senang.” “Yaudah deh, makasih.” Lanjutnya ikut-ikut, kemudian. Buket bunga harum itu diraihnya. “Cuma buket sih...” Perempuan it