Letup
Nggak begitu banyak yang kita ketahui tentang hal luas. Kedip, hembus, langkah, atau hanya sekedar kata-kata. Personal, banyak faktor yang mempengaruhi itu. Dan lingkungan adalah hal yang mendominasi.
Selain itu, kebanyakan dari kita,
lebih memilih untuk mendekat pada lingkungan dan subjek yang menempatinya, yang
cenderung mewakili kita. Lebih nyaman untuk singgah dan interaksi di lingkungan
yang mengandung berbagai macam sisi kita. Di luar itu, kita menjauhinya. Atau
mungkin menjaga jarak.
Dalam macam jenjang strata umur
sosial, tentu banyak yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran.
“Duduklah dengan orang yang lebih
tua, untuk membuka apa yang tertutup!”
Gua setuju soal itu: kita duduk,
bergaul dengan mereka yang lebih tua dari kita akan memberikan pengetahuan
lebih. Pendek gua, karena memang mereka lebih dahulu hidup dan mengenal banyak
hal, dibanding kita. Setidaknya itu.
Akhir-akhir ini, cukup senang,
abang-abang kamar kok pada merapat ke gua tanpa dipinta. Bukan maksud apa-apa, tiba-tiba dia pada
ngajak ngobrol. Ya, gua ayo-ayo aja.
Tapi, kalau dilihat dari muka-mukanya, 2 abang kelas itu cukup menyiratkan
gurat sesuatu yang mudah untuk ditebak. Lihat aja cengar-cengir itu!
Sudah diduga, ia menghadirkan pembahasan percintaan.
Entah dengan niat apa: pamer, minta saran, atau bisik-bisik doktrin. Kenapa
harus gua? Please, jangan nodai aku!
Tanpa mau kepedean bahwa setiap pembicaraan harus memandang orang yang
tepat dan pas dengan pembahasan yang dibahas, gua cukup senang dan menyimak alur
alir pembahasan itu. Meskipun nggak keluar dari konsep awal: ambil pelajaran!
Dimulai dari abang yang pertama: di waktu sore, awal-awal ia bahas tentang
pengalaman ppl-nya di KUA dan Pengadilan Agama yang masih berjalan akhir-akhir
ini. Bagaimana suasana di sana, kinerja, orang-orangnya, sampai bertemu dengan
beberapa kasus terkait pernikahan dan perceraian. Nggak lupa tentang rumus dan
teknikal hukum.
Nah ini, entah kenapa ujung-ujungnya tentang seseorang perempuan yang jadi
barengan ppl-nya. Untuk bio Si Perempuan cukup segitu aja. Bilangnya sih teman.
Walaupun aslinya nyaman. Temen kok demen?
”Bang, kenapa ya, sekarang nih jadi susah buat puasa senin kamis? Gimana nggak susah, orang setiap pagi ada yang nanyain ’udah makan,
belum?’” Ucapnya yang entah apa maksudnya. Gua menerka, hanya bercanda. Meskipun juga ada sisi serius bahwa ia memang
terlihat udah jarang puasa senin kamis.
Gua cukup shock aja. Shock atas
joks. Untuk ia puasa
atau nggak, apa urusan gua? Apalagi Si Perempuan itu. Gua ketawa aja, juga
batin ”njir!”
Selanjutnya, ke abang nomer 2. Dikarenakan udah malam waktu itu, tensi
pembicaraan rada meninggi. Rada mendalam. Begitu menusuk.
Malam itu, senang aja duduk menghadap lemari yang terbuka. Melihat barang-barang, memindahkan posisi barang satu ke posisi
barang yang lain. Entah, itu hobi terpendam. Lalu, menarik satu buku di sana dan mulai
berkelana di lembah kata.
Gua merebahkan badan masih di dekat lemari yang kebetulan juga ada
abang-abang ini yang juga lagi rebahan. Rebahan,
samping-sampingan. Beberapa menit awal, masih sibuk dengan fokusnya
masing-masing. Gua baca buku, ia sibuk dengan hp-nya.
Tiba-tiba, di menit berikutnya, ia
menutup hp-nya, menghadap gua.
“Bang, sekarang aku tau, bahwa obat
rindu bukannya dengan bertemu.”
Gua kaget aja tiba-tiba ia ngomong
gitu. Buku gua
turunin, tutup, ikut menghadap.
”Kok?”
“Iya, kebanyakan orang bilang bahwa
obatnya rindu dengan bertemu. Tapi, menurut aku itu kurang tepat.”
Gua tetap menyimak, berusaha untuk
nggak terlewat kata dan maksud dari teori baru tentang percintaan ini. Gua
cukup tertarik untuk sampai maksud, akhir pembicaraan ini.
“Kurang tepat, karena yang namanya
bertemu pasti akan berpisah kembali. Bukannya setiap pertemuan pasti ada
perpisahan? Buat apa mengobat rindu dengan bertemu, lalu berpisah dan kembali
merindu? Makanya mengobati rindu dengan bertemu itu kurang tepat.”
Iya juga.
“Kalau bukan bertemu, lalu apa?” Akhirnya
gua angkat bicara. Benar-benar nggak sabar dan nggak kuat lagi untuk rasa
penasaran dari penglogikaan rumus yang gua setuju dan benarkan ini.
Mukanya tegang, pantas untuk dibilang serius. Juga tetapan mendalam, tajam.
Gua nunggu jawaban dengan sedikit rasa ketar-ketir.
“Obat rindu itu bukan dengan
bertemu…” Ia menggantung. Gua mematung.
“Tapi dengan bersama!” Lanjut senyumnya disertai histeris nada salah
tingkah, lalu buang muka. Gua yang awalnya tertekan, lalu timbul kesan ”wow!”
dan ngakak di detik selanjutnya.
Wah gila, sih!
Jujur, itu statement kesekian dari 1 tahun jalan masa berguru gua pada satu
orang ini. Sifu. Orang dengan rasionalis dan
empiris yang mendukung, seenggaknya untuk hal ini.
Nggak jauh dan keluar dari
bahas-bahas pengaruh lingkungan, 1 bulan osrak-asrik KKN menyebabkan
mereka seperti itu.
Emang KKN seindah itu ya, kating?
Jadi pengen buru-buru KKN, deh!
“Eh, Bat.
Makalah Tafsir Tarbawi udah selesai, belum? Kamis presentasi!” Bisik semester
3.
Komentar
Posting Komentar