Pucuk

Di suatu hari, wajah itu berseri.

Menit berikutnya, sendu.

“Sekali lagi selamat, ya! Kamu hebat, aku bangga. Tentunya untuk senang. Sangat amat.”

Berseri itu tetap.

Sendu itu tetap.

“Terima kasih. Kamu berlebihan, toh hanya tulisan.” Ucapnya mencoba merendah, tak merubah indah.

“Mengalahkan puluhan orang cerdas, masih pantas untuk tak cerdas?”

“Tapi, aku tak sedikitpun merasa cerdas, hebat sekalipun. Mencoba untuk syukur.”

Mata, tatapan itu.

“Apapun yang terucap, setiap orang berhak atas lisannya. Bagiku kamu kaca, pelecut untuk terus hebat.”

“Sebelumnya, aku juga mau minta maaf.” Lanjutnya di detik kemudian.

“Kenapa?” Rona sejuk tak berubah sama sekali. Mungkin ada sedikit getir.

“Nih, buket bunganya. Ya, walau rada telat.”

Ia tertawa.

“Nggak harus gini juga kali. Dukungan dan do’a dari kamu aja aku udah makasih banget. Udah senang.”

“Yaudah deh, makasih.” Lanjutnya ikut-ikut, kemudian. Buket bunga harum itu diraihnya.

“Cuma buket sih...”

Perempuan itu tetap memandang lelaki, penuh tulus.

“Aku tau, meski buket bunga itu bisa kering, bisa rusak. Mungkin juga hanya untuk senang yang sementara. Satu yang harus kamu tau, tetap kuberikan dan tersimpan rapih sesuatu yang tak akan pernah kering, tak akan pernah rusak. Untukmu.” Tulus lelaki, pula.

Hingga, waktu memilih berkemas.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar