Hujan
“Bih…? Bih…?”
Rupanya suaraku tak ada tanggapan. Aku yang selesai masak, sedari dapur,
mencari keberadaan mereka: suami dan anakku.
Aku berniat mengajak makan bersama, apalagi hari ini aku memasak ikan
mujair dengan sambal dan sayur bayam jagung. Tentu masih hangat. Tentu mereka
suka: itu menu andalan keluarga.
Tapi, mereka tak kunjung ketemu, panggilanku tak terjawab. Karena deras
hujan, mungkin aku harus mencari mereka sampai di teras. Ke mana gerangan
mereka di tengah hujan seperti ini? Mereka biasa di teras.
Saat di teras pun ternyata tetap tak kutemukan. Hanya rintik hujan yang menetes,
mengakhir, terjun dari atap dengan bebas dan segar. Lagi pula sendal mereka pun
masih ada, tetap rapih di rak: menandakan mereka tak keluar rumah.
Aku benar-benar bingung. Juga lapar.
Tak lama, seseorang memanggilku. Di tengah hujan, pada deras hujan.
Hujan-hujanan.
“Umiiih!”
Ahsan, anakku di sana. Astaga! Anak lelaki yang menginjak TK B itu
sedang main hujan-hujanan. Ia terlihat begitu bahagia. Garis senyum wajahnya
begitu dingin dan segar, hilang dahaga panas dan lelahku.
Ulah siapa untuk anakku yang main hujan? Siapa lagi kalau bukan bapaknya!
Tak lama, bapaknya nongol dengan baju yang pasti kuyup, rambut yang
lepek. Ia berjingkrak-jingkrak di antara deras hujan, lebih senang dari anaknya
sendiri.
“Panggil umihnya, suruh main hujan bareng kita!” Ucap bapak pada anaknya
itu.
“Miiih, umiih, ayo main hujan bareng kita!” Lalu, ucap anak itu lugu,
lucu.
Aku hanya tersenyum, menggelengkan kepala.
“Bih, udah ih! Kasian itu anaknya, dingin!”
Bukannya mendengar ucapanku, mereka malah makin senang menari di dalam hujan, berjingkrak,
tertawa, basah: bersama.
Aku melangkahkan maju di hadap gerbang rumah, wajahku terpercik tetes
hujan. Aku mencoba memanggil mereka untuk menepi, udahan dari dingin, aku sudah
selesai masak!
“Bih, udah dong main hujannya! Adek sini, dingin!”
Mereka, tetap saja.
“Umih udah selesai masak ikan mujair dan sayur bayam jagung!”
Tak butuh tarik suara yang lebih, rupanya panggilanku kali ini cukup memberi
efek. Mereka berhenti, menatapku, lalu saling berbisik. Entah apa yang
dikatakan oleh anak dan bapak yang sepertinya nggak kenal dingin.
“Yuk udah, yuk!” Suamiku rupanya menyudahi main hujan itu. Anak lelaki itu pun berjalan mengikutinya
dari belakang. Akhirnya didengar juga ucapku.
Mereka mendekat, telah dihadapanku.
Belum genap aku berbalik badan, mengambilkan handuk untuk dingin mereka…
“Abiiih!” Teriakku sedikit keras, kaget.
“Ayo, Mad. Tarik umiiih! Kita ajak main hujan bareng.”
Anak lelaki itu hanya tertawa kegirangan, betapa ingin agar umihnya bisa
ikut main hujan.
2 orang lelaki melawan 1 orang perempuan, tentu aku kalah. Atau mungkin
juga mengalah, untuk turut larut dalam bahagia mereka. Coba untuk jadi bahagia
kami.
Aku dibawa mereka ke jalan depan rumah yang tentunya sepi lalu lalang, hanya ada kami dan triliyunan tetes hujan itu.
Dengan celemek masak yang masih kukenakan, ikut menarinya aku bersama mereka. Tertawa, takan habis.
Kami masih dalam hujan untuk waktu yang lama. Tertawa kami terbentuk
dari rintik, basah, menari, juga untuk gendong seorang ayah pada anak
lelakinya. Aku hanya tersenyum, penuh tulus. Bahagianya.
Hingga, aku benar-benar tau kenapa mereka begitu betah dan tanpa dingin?
Ternyata, kekeluargaan lebih hangat dari apapun. Mengalahkan apapun.
Meski begitu, ibu tetaplah seorang ibu. Mereka kulerai dengan hujan.
Kulindung dingin. Berbahagia dengan cara lain. Aku mengajak mereka makan
bersama, dari apa yang telah aku masak.
Kami menepi, berhanduk, bersiap untuk makan bersama.
Rupanya nasi, lauk, dan sayur itu putus asa. Mau tetap panas atau malah
mendingin, hangat kami melindungi. Dengan do’a makan yang dipimpin oleh Ahmad,
sesuap demi sesuap mulai terkunyah perlahan.
Meski apapun yang telah kutau tentang tatakrama makan dan keluarga, kami
tetap berbincang di meja makan. Tetap pada piring dan tambah suap nasi. Ahmad
nambah untuk yang ketiga kalinya. Meski tetap dengan kadar porsinya.
“Umiih adalah chef terhebat!” Ucapnya di reda kunyahnya.
Kami hanya tersenyum.
Kami membahas apapun. Tentang sekolah ahmad, tugas berhitungnya yang
mendapat nilai A, tentang teman barunya di kelas, kesibukan suamiku di kantor
dan tentu hari libur, juga tentang menu masakan apa lagi yang akan kumasak.
Mengalir saja, hingga akhirnya benar-benar surut. Setelah mandi, Ahmad tertidur di kamarnya. Aku masih dengan
piring-piring dan noda di meja. Untuk suamiku?
“Mih, nggak mau cipta hangat lain, gitu?”
Aku menghentikan pekerjaanku, menghadapnya, sedikit tercekat. Ia
memainkan alisnya.
***
Hujan masih turun dengan deras.
Dinginnya pun tak memandang batas.
Apapun, semoga dalam keridhoan-Mu.
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yuni waj'alna lil
muttaqina imama
Komentar
Posting Komentar