Harokat
Lelucon dan tawa adalah sebuah kebutuhan.
Setiap orang dengan kesibukannya yang menuntut, kadang menimbulkan lelah
dan sumpeknya masing-masing. Segala hal yang nggak tersampaikan, nggak sesuai
harapan, hingga dikecewakan: kita nggak bisa menafikan itu!
Dengan segala tumpuk beban pikir dan hati, nggak mengecualikan santri
adalah arti beban itu sendiri. Bukan maksud untuk membandingi dan keluh kesah,
bukannya setiap orang punya beban dan keluhnya sendiri-sendiri?
Bagiamana santri yang harus terpisah jarak, tertahan waktu untuk segala
hal yang menjadi bagian diri: keluarga, tanah kelahiran, juga kenang-kenang.
Terdampar di suatu tempat asing dengan mencoba membangun dan menanggung niat
sungguh-sungguh itu. Dipaksa adaptasi dengan orang-orang baru, diharuskan menerima mereka adalah
bagian dari kita. Belum lagi soal ekspetasi harap dan tuntut orang rumah untuk hasil,
segala kegiatan yang berketerikatan dengan kata santri dan pondok pesantren,
sudah membuat banyak rekonstruksi diri. Berubah, atas segala masukan dan
pengeluaran diri.
Lihat saja deret mata pelajaran itu! Nahwu, shorof, fiqih, tauhid, akhlak,
tasawuf, ushul, balagah, mantiq, sejarah, tajwid, hadits, atau tafsir. Belum lagi soal pelajaran formal yang you know lah. Untuk soal hafalan, ujian, tugas-tugas, dan
hukuman-hukuman?
Bukan maksud ngeluh.
Bukan maksud bangga.
Syukur aja.
Kembali soal lelucon, bercanda, dan
tawa-tawa. Bagi santri, hal itu dengan begitu mudahnya didapat. Segala background perbedaan satu sama lain,
selain menjadi bahan belajar, bisanya diulik sisi lucunya. Entah soal kultur, pengalaman, atau hanya sebatas logat cara
berbicara. Udah lucu aja.
Belum lagi soal sifat, sikap, dan
kemampuan mereka yang memang memiliki basic di bidang komedi ini. Gua belajar
banyak dari mereka: set-up, punchline, hingga improvisasi sekalipun. Soal
komedi yang mind blowing, atau yang kopler sekalipun. Semua punya sisi hibur dan ledak tawanya
masing-masing. Karena itu, hubungan sosial jadi tambah erat, pertemanan jadi
tambah hangat, gua jadi tambah betah mondok dan semangat.
Tapi, nggak mengecualikan mereka, para kaum sarung yang kaku itu. Sulitnya
mereka untuk berbaur atau sekedar ikut tertawa. Entah karena apa, biasanya
mereka yang seperti itu adalah mereka yang terlalu amat akan belajar. Begitu
mencintai ilmu, hingga mereka lupa kalau sedang hidup di dunia dan ada makhluk
lain selain mereka dan tumpuk kitab itu.
Untuk menanggapi ini, gua nggak terlalu berlebihan. Ya, terserah saja.
Mungkin bagus juga untuk soal semangat dan himmah istiqomahnya dalam
belajarnya. Tapi, ya tau batas juga lah. Mana kalanya harus belajar, mana
kalanya di luar belajar. Ingat tempat, waktu, dan suasana. Tentu boleh-boleh
saja untuk memenangkan dan menjadikan belajar sebagai dominasi mayoritas dari
sebagian hidup kita. Tapi, jangan sampai mengecualikan sisi sosial, atau yang
parah sampai menghilangkannya.
Tapi, nggak bisa suudzon juga. Nggak mungkin orang bisa hidup tanpa
bahagia, tanpa tawa. Apalagi untuk soal komedi bercanda. Pasti setiap orang
punya sisi komedinya masing-masing. Ya, termasuk para manusia kaku itu.
Awalnya gua juga penasaran, hal apa sih yang bisa membuat mereka terhibur,
selain dari baca, tulis, dan paham? Selama gua mencoba baur, ternyata mereka
nggak sekaku yang dikira. Meski begitu, nyatanya mereka juga tetap ada tawanya,
juga suka komedi. Cuma ya gitu: beda genre aja.
Orang lahir dan berkembang itu dari tempat ia hidup. Menyesuaikan dengan
apa yang ia ambil dari sekitar, dari sesuatu yang mendapat nyaman. Soal orang
kaku dan komedi, mereka bisa mendapat dari apa yang mereka geluti selama ini.
Huruf-huruf arab tanpa harokat itu bisa cipta. Mereka, orang-orang yang bisa
mengambil sisi komedi dari ngaji.
Tentu gua bingung. Pastinya gua belum bisa masuk dan mengitu alur: dari
mana sisi lucunya? Tapi, kian lama, kian terbiasa. Hingga akhirnya bisa
menemukan dan menikmatinya. Tinggi rendah pemahaman menentukan ritme ledak tawa
itu.
Saat ngaji, membaca redaksi teks kitab itu, dengan usaha mencoba paham dari
penerapan gramatika, kadang malah menemukan teks akan paham yang mengarah pada
suatu kelucuan. Begitu manis. Boleh percaya atau nggak, sama sekali. Terserah.
Seperti akhir-akhir ini, nggak habis pikir akan pengajian jum’at siang itu.
Begitu terkesan dengan Gus Reza dan penjelasan yang beliau sampaikan. Karena
begitu luasnya pemahaman ilmu dari mushonif kitab itu sendiri, terkadang
pembahasannya begitu melebar, menyasar segala sub bab. Hingga, para muta’alimin
ini tersasar di salah satu sub bab yang begitu manis dan epik. Serasa di taman
bunga yang begitu harum, dipenuhi indah cerah sayap kupu-kupu. Bunga-bunga itu
tumbuh lolipop.
Dari sekian itu, gua petik satu dan ditanam di sini.
وسمع عمر بن الخطاب رضي الله عنه امرأة تقول هذا البيت:
إن النساء رياحين خلقن لكم * وكلكم يشتهي شم الرياحين
فقال عمر رضي الله عنه:
إن النساء شياطين خلقن لنا * نعوذ بالله من شر السياطين
Gimana?
Komentar
Posting Komentar