Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2023

Tebu

Banyak hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Dibanding dengan negara lain, Indonesia tetap nggak ada lawan. Sumber daya dan keberagaman, siapa yang bisa menandingi? Intinya Indonesia gacor no debat. Jika kita lihat pembangunan, Indonesia juga tetap menunjukkan insight yang baik. Teknologi dan pertumbuhan sosial diarasa stabil. Meski hutang dan korupsi tetap hadir, jangan dibikin pusing. Hal itu wajar dalam sebuah negara, katanya. Juga acara-acara go internasional G20 dan R20 semakin menunjukkan eksistensi negara seluas 1, 905 juta km2 ini. Bilang apa sama Pak Jokowi? Tapi sayangnya, di era yang semakin berkemajuan ini, mata terlalu silau akan hal-hal yang kilau dari sudut dunia ini. Buat apa bersudi-sudi dan rela menginjak tanah lembab dan gelap itu? Terlalu jauh untuk para pemimpin bangsa yang terelu-elu, para pengendara motor saja enggan untuk sekedar mengurangi kecepatan atau sekedar menengok saling sapa! Senang, sambil menunggu balas chat ayang, mending rebahan sambal scr

Upil

Manusia begitu mudah meremehkan hal kecil. Setiap hal. Hanya karena dinilai kecil, ringan, mudah. Merasa besar dan kuat adalah subversive atas karunia otak yang diberikan. Katanya, ‘Allahu akbar?’, katanya, ‘la haula wa la quwwata?’ ah, kamu bohong. Merasa besar adalah kecil itu sendiri dan kecil akan besar itu sendiri. Bukankah kita tau, bahwa besar gajah indukan itu berasal dari kecil anakan gajah? Tak akan ada banyak bermilyar-milyar, kalau tak ada sedikit angka satu. Jelas sudah kenapa Indonesia stagnan, ‘halah, rakyat kecil ini!’ Kita semua pasti tau, ceritanya seorang Ulama yang masuk surga hanya karena membiarkan lalat meminum cair tinta tulisnya, atau kisah pelacur yang masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing. Tak dipungkiri juga akan kisah lubang batu dan tetes-tetes air. Ada hal kecil di sana. Remeh. Berakibat besar. Maka dari itu kita selalu dianjurkan untuk berbuat baik, walau dengan hal sekecil apapun. Karena kita semua tak tau dengan sebab apa kita masuk surg

Kepompong

Pesantren memiliki banyak hal yang tidak bisa dimengerti. Karena banyaknya segala indah perasaan yang takan bisa dijelaskan tanpa kesederhanaan. Kita hidup dengan segala perbedaan. Saling mengisi kekurangan dengan berbagi kelebihan. Tak perlu ditanya tentang guru dan belajar, teman adalah aspek penting dalam pengembaraan ini. Mulai dari kita yang bukan siapa-siapa yang dipaksa hidup di ruang yang tak lebih besar dari kebun tebu itu, perasaan yang harus ditinggal orang tua pulang ke rumah. “Betah-betah, ya nak, di pondok!” Kehidupan baru dimulai. Dengan perasaan dan pikiran yang masih berpendar, tergantung, tersangkut, akan bayang rumah dan segala hangatnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa inilah yang terjadi. Kita harus kembali adaptasi, berkenalan, dan sering ludah-ludah yang tertelan. Tentu banyak hal yang tak sesuai, jauh dengan kepribadian dan keinginan kita. Hingga kita benar-benar lelah. Benar-benar tak betah. Tak terasa, pipi membasah. Berjalannya waktu, dari hal

Perkedel

Apakah nggak boleh sedikitpun lelaki untuk cengeng?   Walau meski hanya sebentar? Sulit rasanya menerima kenyataan, teman seperjuangan harus ‘terpaksa’ pulang. Boyong. Takan pernah kembali. Hampir 5 tahun disatukan dalam ruang lingkup yang sama, pantas sudah kita adalah saudara satu bagi saudara lainnya. Dalam bisik pasrahnya, ia ucap nggak mampu menatap. Tentu kita kaget, tentu kita bertanya-tanya, juga berusaha menahan-nahan. Semua perjuangan ini, apa yang sudah dilalui dan apa yang telah terucap untuk harap ke depannya, semua letup bagai buih. Kita berusaha tegar menguatkan, meskipun kenyataannya kita sama sekali nggak ada daya upaya untuk sedih ini. Menatap wajahnya yang penuh resah, belum siap menghadapi beratnya berpisah. Dipaksa terbit senyum itu. Gua tau perasaan lu. Gua tau impian lu. Tentu lu sedih. Tentu lu juga ingin kita tamat bareng dan melanjut banyak hal seperti yang biasa kita bicarakan di setiap malam. Tapi bagaimana lagi? Gua tau, lu anak yang berbakti. “Gu

Lampu

Dengan segala hal tumpuk-tumpuk hidup, gua rasa setiap orang harus pikir keras untuk tenang hidupnya.   Ia harus benar-benar cerdas, bagaimana caranya ia menciptakan tenang. Mungkin kita bisa meraihnya dalam jalur satu ini; menjadi pribadi positif. Orang-orang seperti ini, menurut gua enak aja cara pandang hidupnya. Ada beberapa yang udah gua temui. Tentram hidupnya, bisa menjalar jadi tentram hidup kita. Mereka, orang-orang yang mengedepankan hidup orang lain. Berusaha sebermanfaat mungkin untuk hidup orang lain. Siapa sih yang nggak kagum? Siapa sih yang nggak bertanya-tanya bagaimana resepnya? Bukan hanya membatu tanpa usaha, gua udah cari tau tentang hal itu pada beberapa dari mereka. Banyak jawabnya. Bervariasi dan penuh dorongan. Gua menyimpulkan, menjadi pribadi positif itu bisa dirasakan ketika semua schedule kegiatan kita berjalan sebagaimana mestinya. Bisa mengontrol arah pembicaraan di setiap lapis umur dan ambil hal baik dari setiap yang kita lihat juga termasuk dari

Kayu

               “Ayah…Ayah…Lihat Ayah!” Seorang gadis kecil berlarian memasuki rumah, memeluk ayahnya.             “Ada apa, Nak? Kenapa lari-lari?”             “Ini Ayah, nilai matematika aku dapat 10!”             “Oh, iya?”             “Iya, Ayah. Coba lihat ini!” Gadis kecil itu dengan antusiasnya menunjukkan lembaran kertasnya pada Sang Ayah. Kembang senyum tidak bisa disembunyikan dari wajah Sang Ayah yang berteman akrab kehidupan.             “Pintarnya anak ayah.” Sang Ayah membalas pelukan itu. Semakin erat, mencium gadis kecilnya.   ***               “Ayah…Ayah…Lihat Ayah!” Tapak langkah gadis itu terdengar nyaring memasuki rumah, memeluk ayahnya.             “Iya, Nak. Kenapa lari-lari?”             “Ini Ayah, aku dapat peringkat 1 di kelas!”             “Oh, iya?”             “Iya, Ayah.”             “Bu…Bu…Lihat, Bu. Anak kita dapat peringkat 1.” Sang Ibu muncul dari dapur, lengkap dengan sptula di tangan.             “Ada apa, Yah?”

Matahari

Benar, lingkungan itu berpengaruh. Titik letak kita hidup itulah yang menentukan karakter hidup kita sendiri. Acap kali kita mendengar sampai bosen, ”berteman dengan tukang minyak wangi akan terbawa wangi dan sebaliknya, berteman dengan penjual ayam akan terbawa bau ayam.” Sosial tentu sangat menentukan. ”Berarti kita harus pilih-pilih?” Ya, terserah. Yang tau lu, cuma lu. Kalau lu yakin nggak akan terpengaruh jika duduk bergaul dengan orang yang nggak sesuai dengan prinsip lu, ya nggak   apa-apa. Toh, bukan berarti orang buruk tanpa hal baik. Tetap aja, kita tetap harus mengambil hal baik di manapun, kapanpun, dan pada siapapun. Dengan begitu akan selaras dengan ungkapan, ”lihatlah apa yang dikatakan, janganlah melihat siapa yang berkata.” Kadang ada banyak hal baik yang begitu kita impikan. Walau sesederhana untuk kata mengenal. Kita ingin menjadi baik dengan mengenal orang baik. Namun, banyak hal yang membatasi ruang raih mimpi itu. Jadi, penuh syukur, hanya bisa mengenal mere

Jarum

Setiap hal yang terlewati, banyak hal-hal baru dan luas. Hidup merendah mengalir, memang sewajarnya manjadi hal yang melekat. Kita lihat banyak hal. Lalu, kita jadi beranggapan banyak hal pula. Beragam pendapat. Semua penuh pandangan. Otak yang sengaja diberikan Tuhan, memilih kita untuk berpikir bebas tentang apapun. Kita pilah-pilih untuk hal yang sekiranya perlu. Untuk diri kita. Yang tidak? Bodohnya malah dianggap bodoh! Tentu berbedanya orang, berbeda pula pandangannya. Berbeda apa yang dilihat, ditemui, dilakukan, dan apa yang diterima menjadi sebab. Maka dari itu, perlu diskusi-diskusi dan sepakat. Perbedaan bukan untuk kehancuran. Tapi, bagaimana caranya untuk kata persatuan. Makanya, satu yang perlu diingat; berdiskusi bukan untuk menjatuhkan lawan, tapi untuk sepakat dan sekiranya relevan. Bahkan untuk hal yang pasti sekalipun. Gua contohin gini, Gajah. Banyak pendapat mengenai hal se-pasti gajah. Ada yang mengatakan, ‘gajah itu hewan besar!’, ‘gajah itu hewan berbunt

Abcd

Setiap hal yang kita miliki dan lakukan akan dipertanggung jawabkan. Dan lisan menjadi hal yang sensitif. Salamatul insan fi hizhil lisan . Selamatnya manusia tergantung pada bijak menjaga lisannya. Pentingnya lisan, kerap kali kita bersosial dan berkomunikasi kurang hati-hati dalam menggunakan lisan. Jangan sampai kita melukai perasaan seseorang. Luka tangan, masih bisa diobati. Luka kaki, masih bisa diobati. Luka hati? Susah jika luka telah menggores perasaan. Betul juga ungkapan, ‘mulutmu harimaumu!’ Buas. Bahkan, dalam mengucapkan hal baik sekalipun jika di saat yang tidak tepat, jadinya tidak baik juga. Seperti, ‘untungnya api tak sampai ke rumahku,’ ucapnya pada orang yang rumahnya kebakaran. Atau, ‘semoga anakku sehat selalu,’ di hadapan orang yang keguguran. Hal ini benar-benar harus diperhatikan. Serius, percaya atau nggak, gua alami sendiri. Mudahnya, seperti di pembagian nilai hasil ujian ushul fiqh. Soal yang keluar tentu tidak bisa kita tebak. Kita belajar materi yan