Kepompong
Pesantren memiliki banyak hal yang tidak bisa dimengerti. Karena banyaknya segala indah perasaan yang takan bisa dijelaskan tanpa kesederhanaan. Kita hidup dengan segala perbedaan. Saling mengisi kekurangan dengan berbagi kelebihan. Tak perlu ditanya tentang guru dan belajar, teman adalah aspek penting dalam pengembaraan ini.
Mulai dari kita
yang bukan siapa-siapa yang dipaksa hidup di ruang yang tak lebih besar dari
kebun tebu itu, perasaan yang harus ditinggal orang tua pulang ke rumah.
“Betah-betah, ya nak, di pondok!”
Kehidupan baru dimulai. Dengan
perasaan dan pikiran yang masih berpendar, tergantung, tersangkut, akan bayang
rumah dan segala hangatnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa inilah yang
terjadi. Kita harus kembali adaptasi, berkenalan, dan sering ludah-ludah yang
tertelan.
Tentu banyak hal yang tak sesuai,
jauh dengan kepribadian dan keinginan kita. Hingga kita benar-benar lelah.
Benar-benar tak betah. Tak terasa, pipi membasah.
Berjalannya waktu, dari hal yang
terbiasa, hingga akhirnya semua kita anggap biasa. Kita mulai merasa sebagai manusia normal kembali.
Kita mulai bisa menikmati hidup. Dan di sini, teman adalah sisi lain dari kita.
Bagaimana kita susah, senang, belajar, cerita, bercanda, jail, lapar, capek,
hingga per-asmaraan sekalipun. Kita begitu menikmatinya, hingga sempat berpikir
tak ada kata teman dalam kamus kehidupan. Kita semua saudara.
Kita banyak
belajar dari mereka. Belajar senyum dari murung kita, belajar sederhana dari
angkuh kita, belajar rajin dari malas kita, belajar dewasa dari kekanak-kanakan
kita. Apapun. Hingga kita mengira, bahwa kita hilang nafas tanpa arti teman.
Kalian yang berbangga dan menyombong akan pertemanan luar, gua jawab dengan
tegas, ‘Pesantren nggak pernah bisa lu bandingin!’ coba datang ke pesantren,
singgahlah beberapa saat, maka akan terbukti keomong kosongan lu akan
pertemanan yang lu bangga-banggakan itu. -bukannya berlebihan.
Kita apa tanpa
teman?
Tapi, pada
suatu waktu, masa itu datang tanpa pernah sekalipun kita harap. Meskipun kadang
kita berontak akan kenyataan yang terjadi. Semua itu sulit untuk dipahami.
Teman kita gugur di tengah jalan. Di tengah perjuangan. Teman kita harus
pulang. Tentu tak mudah. Membiarkan cerita menggantung tak usai. Penokohannya
terbengkalai.
Sedih tak
memandang siapapun. Kita dipaksa terima keadaan bahwa saudara kita harus tempuh
jalan lain untuk tujuan yang sama. Kalau gua boleh egois, pertemanan lelaki tak
bisa dibandingkan dengan cara beteman anak perempuan. Cerita-cerita yang tak
hanya sekedar kata.
Dan yang lebih
menyakitkan lagi selain perpisahan itu, adalah hal yang menyebabkan pisah itu
sendiri. Finansial atau apapun yang menyangkut orang tersayang, kita tak bisa
apa-apa. Tak bisa berbuat banyak. Seberapa kuat keinginan bertahan,
bagaimanapun perut butuh makan. Tak semua orang mampu tahan lapar. Bakti pada
orang tua juga termasuk hal wajib itu.
Yang tak mudah
melepaskan, bukan hanya saat melepaskan detik akhir kebersaman, tapi sudah
dimulai saat kita baru mengingat namanya saja, bagai film, seluruh
bayang-bayang kenang bersama kembali terngiang. Kadang kita tak mampu soal itu.
Benar-benar tak mampu.
Gua tau, setiap
pertemuan pasti ada perpisahan. Meski entah kapan datangnya, perpisahan itu
nyata. Mengintai dan membayangi setiap gerak-gerik kita, juga kenang yang
terlewati.
Tak perlu juga berlarut-larut dalam
sedih. Meski hal itu
juga termasuk tanda kita berperasaan sekalipun. Teriring do’a, di manapun dan
bagaimanapun kalian, kita adalah cerita yang takan pernah usai. Jangan biarkan
usai. Semua hanya tentang latar dan alur.
Semoga sukses,
teman!
Terima kasih.
Sampai jumpa.
🤍
BalasHapus