Kayu

            “Ayah…Ayah…Lihat Ayah!”

Seorang gadis kecil berlarian memasuki rumah, memeluk ayahnya.

            “Ada apa, Nak? Kenapa lari-lari?”

            “Ini Ayah, nilai matematika aku dapat 10!”

            “Oh, iya?”

            “Iya, Ayah. Coba lihat ini!”

Gadis kecil itu dengan antusiasnya menunjukkan lembaran kertasnya pada Sang Ayah. Kembang senyum tidak bisa disembunyikan dari wajah Sang Ayah yang berteman akrab kehidupan.

            “Pintarnya anak ayah.”

Sang Ayah membalas pelukan itu. Semakin erat, mencium gadis kecilnya.

 

***

 

            “Ayah…Ayah…Lihat Ayah!”

Tapak langkah gadis itu terdengar nyaring memasuki rumah, memeluk ayahnya.

            “Iya, Nak. Kenapa lari-lari?”

            “Ini Ayah, aku dapat peringkat 1 di kelas!”

            “Oh, iya?”

            “Iya, Ayah.”

            “Bu…Bu…Lihat, Bu. Anak kita dapat peringkat 1.”

Sang Ibu muncul dari dapur, lengkap dengan sptula di tangan.

            “Ada apa, Yah?”

            “Ini anak kita dapat peringkat 1 di kelas.”

            “Wah, pintarnya anak ibu.” Seraya ikut memeluk. Begitu hangatnya di antara peluk senang dan bangga ayah dan ibu.

            “Ini pintar pasti ketularan Ayahnya.” Ucap sang Ayah bangga.

            “Eh, enak aja. Ini ketularan ibunya.” Sergah Sang Ibu.

            “Ayah, Ibu. Aku kan anak ayah ibu. Aku pintar ketularan dari ayah ibu.”

            “Haha. Iya sayang.”

            “Karena hari ini anak Ayah peringkat 1, maka Ayah akan traktir jalan-jalan!”

            “Yeeeh! Sekalian beli es krim ya, Yah?”

            “Iya, sayang.”

            “Yeeh! Makasih Ayah.”

Hangat itu kembali.

 

***

 

            “Ayah…Ayah…Lihat Ayah!”

Seorang gadis kecil berlarian memasuki rumah.

            “Ayah lihat! Aku dapat piala lomba menggambar!”

            “Yah?”

Ia menyusuri rumah. Tidak ia temukan ayahnya.

            “Ibu? Ayah di mana?”

            “Ibu kenapa menangis?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar