Lampu

Dengan segala hal tumpuk-tumpuk hidup, gua rasa setiap orang harus pikir keras untuk tenang hidupnya.  Ia harus benar-benar cerdas, bagaimana caranya ia menciptakan tenang. Mungkin kita bisa meraihnya dalam jalur satu ini; menjadi pribadi positif.

Orang-orang seperti ini, menurut gua enak aja cara pandang hidupnya. Ada beberapa yang udah gua temui. Tentram hidupnya, bisa menjalar jadi tentram hidup kita. Mereka, orang-orang yang mengedepankan hidup orang lain. Berusaha sebermanfaat mungkin untuk hidup orang lain.

Siapa sih yang nggak kagum? Siapa sih yang nggak bertanya-tanya bagaimana resepnya? Bukan hanya membatu tanpa usaha, gua udah cari tau tentang hal itu pada beberapa dari mereka. Banyak jawabnya. Bervariasi dan penuh dorongan.

Gua menyimpulkan, menjadi pribadi positif itu bisa dirasakan ketika semua schedule kegiatan kita berjalan sebagaimana mestinya. Bisa mengontrol arah pembicaraan di setiap lapis umur dan ambil hal baik dari setiap yang kita lihat juga termasuk dari tenang sebagai konsekuensi pribadi positif. Tentu usaha ini akan banyak merubah pola gerak kita dan sudut pandang orang lain. Dan pastinya, itu terjal.

Kita yang tiba-tiba nggak biasa. Tiba-tiba diam penuh tanya, membelot dari sikap sehari-hari, tentu membuat pikiran lain. Ya, memang seperti itu. Baik, kita lanjut saja. Nggak perlu berlarut dari segala tanggapan miring orang-orang. Toh, cara pandang seseorang itu terbentuk dari bagaimana ia berperilaku. Semakin tinggi pohon, semakin besar angin menerpa. Sudahlah!

Seperti ini, nggak ada maksud lain. Hanya jalan kaki jama'ah di masjid. Dengan segala hal susah payah untuk jadi pribadi positif, bukan untuk berbangga diri, gua jatuhnya jadi syukur aja. Syukur dari tukang bengkel yang masih saja mengurus oprek motor dan hitam kotor. Syukur dari tukang nasi goreng yang masih sibuk akan panas wajan penuh nasi. Syukur dari para pemotor yang masih klayaban di atas gas stirnya. Syukur dari mereka yang selonjor di teras warung berhadap kopi dengan tangan yang melekat pada hp itu. Nggak ada sama sekali berbangga diri dan anggap lebih baik dari mereka. Sekali lagi, gua merasa syukur aja masih diberi kesempatan waktu untuk bisa berjama'ah maghrib di masjid.

Benar, tenang itu hadir. Kita ambil hal baik di setiap kejadian. Sesekali jawab tegur sapa orang di tengah langkah jalan kita menuju rumah. Menenteng sejadah dengan segar wajah, ucap salam, kita mendorong pintu rumah. Cium tangan orang tua, lalu rapal do'a-do'a dari mereka.

Ya Salam!

Allahu latifun biibadihi yarzuku man yasya wa huwal lathiful khobir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar