Tebu
Banyak hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Dibanding dengan negara lain, Indonesia tetap nggak ada lawan. Sumber daya dan keberagaman, siapa yang bisa menandingi? Intinya Indonesia gacor no debat.
Jika kita lihat pembangunan, Indonesia juga tetap
menunjukkan insight yang baik. Teknologi dan pertumbuhan sosial diarasa stabil.
Meski hutang dan korupsi tetap hadir, jangan dibikin pusing. Hal itu wajar
dalam sebuah negara, katanya. Juga acara-acara go internasional G20 dan R20 semakin
menunjukkan eksistensi negara seluas 1, 905 juta km2 ini. Bilang apa sama Pak
Jokowi?
Tapi sayangnya, di era yang semakin berkemajuan ini,
mata terlalu silau akan hal-hal yang kilau dari sudut dunia ini. Buat apa
bersudi-sudi dan rela menginjak tanah lembab dan gelap itu? Terlalu jauh untuk
para pemimpin bangsa yang terelu-elu, para pengendara motor saja enggan untuk
sekedar mengurangi kecepatan atau sekedar menengok saling sapa!
Senang, sambil menunggu balas chat ayang, mending
rebahan sambal scroll-scrol tik-tok sambil dielus sejuk kipas angin.
Capek-capek mikirin orang.
“Mbah, becak!”
Sayup kelopak mata itu perlahan terbuka. Badan
rentanya bergerak dari kaku rebahnya. Rombeng sendal jepitya bergesek.
“Bade teng pundi, Mas?”
Kemilau kemajuan ini membuat tak sedikit orang banyak
termenung dalam ketidakpastian. Kemudahan teknologi transportasi yang
terbanggakan, membuat pihak harus banyak menekan pikir, memeras keringat,
bertemu sabar untuk mengisi perut butuh makan. Menyambung kehidupan. Jawab
bohong apa lagi untuk tanya pinta anak akan sepatunya yang sudah koyak?
Para tukang becak menyisakan keriput dan uban-uban.
Mbah, mana mungkin tersemat panggilan pemuda? Pemuda, mana mau jadi tukang
becak?
Gua sering melihat jejer becak itu di depan pondok.
Menunggu penumpang, menunggu uang, menunggu ketidakpastian yang datang. Mereka
yang seharusnya menikmati masa tua dengan tenang, dengan senang bersama anak
cucu. Lalu, hidup penuh syukur. Namanya roda hidup memang berputar. Tapi, kita
tak pernah peduli untuk hal-hal yang membuatnya berputar.
Tak cukup kata tega pada seorang kakek tua keriput,
uban, jompo, kurus, kecil yang harus menanggung beban besar. Harus tetap
mengkayuh becak, juga beban Si Penumpang. Pegal lebih baik, dari rasa lapar
yang mencekik. Pertanyaannya cuma satu; penumpang?
Islam tak melarang untuk transaksi jasa karena dasar
kasihan. Selagi itu hal baik dan akad. Tapi, sering-sering seperti itu, bingung
juga mau kemana. Roda becak tua itu telah menaklukkan aspal dan tanah-tanah
Kediri.
Tak ada maksud apa, cari angin dan senyum tulus lemah
itu aja udah bikin senang. Sekali lagi, tak bisa sering-sering. Tak hanya naik
becak, mondok?
“Narik becak begini, cukup, Mbah?” Tanya gua di
putaran roda entah yang keberapa.
“Cukup-cukup mawon, Mas. Biasane iku sekatah-katahe
bondo lan perkoro wareg-luwe, ora dadi masalah. Menungso mung kirang syukur!”
Komentar
Posting Komentar