Perkedel
Apakah nggak boleh sedikitpun lelaki untuk cengeng? Walau meski hanya sebentar?
Sulit
rasanya menerima kenyataan, teman seperjuangan harus ‘terpaksa’ pulang. Boyong.
Takan pernah kembali. Hampir 5 tahun disatukan dalam ruang lingkup yang sama,
pantas sudah kita adalah saudara satu bagi saudara lainnya.
Dalam bisik
pasrahnya, ia ucap nggak mampu menatap. Tentu kita kaget, tentu kita
bertanya-tanya, juga berusaha menahan-nahan. Semua perjuangan ini, apa yang
sudah dilalui dan apa yang telah terucap untuk harap ke depannya, semua letup
bagai buih.
Kita
berusaha tegar menguatkan, meskipun kenyataannya kita sama sekali nggak ada
daya upaya untuk sedih ini. Menatap wajahnya yang penuh resah, belum siap
menghadapi beratnya berpisah. Dipaksa terbit senyum itu.
Gua tau
perasaan lu. Gua tau impian lu. Tentu lu sedih. Tentu lu juga ingin kita tamat
bareng dan melanjut banyak hal seperti yang biasa kita bicarakan di setiap
malam. Tapi bagaimana lagi? Gua tau, lu anak yang berbakti.
“Gua harus
jaga ibu, Bat!”
Ternyata
kita harus melanjut cerita sebagai tokoh yang nggak pernah kita harap, dengan
alur dan latar yang lain.
“Antara
mondok dan jaga ibu, sama baiknya, Mad. Bakti pada orang tua juga termasuk
kewajiban seorang anak. Bukannya lu mondok buat mereka? Jangan merasa bersalah,
Allah tentu lebih tau mana yang terbaik untuk kita. Perpisahan ini, bukan akhir
dari kita, Mad!”
Nggak banyak
yang bisa diberikan untuk mengeringi perpisahan. Bercandaan rasanya seperti
sampah, omong kosong murahan yang memaksa tawa getir. Sebagai teman, cuma bisa
berterima kasih dan maaf banyak-banyak. Do’a baik untuk segala hal baik.
Malu rasanya
untuk berkata sejujurnya gua emang sedih saat itu.
Berusaha
untuk nggak nangis.
Berusaha
untuk nggak nangis.
Komentar
Posting Komentar