Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2024

Maknun

Hingga akhirnya, takdirlah yang menentukan. Mungkin kaidah “usaha nggak akan mengkhianati hasil,” nggak berlaku saat itu. Bukan maksud sia-sia. Kadang kala, kita juga perlu tau dan sadar akan poin tuju usaha kita. Sebatas mana poin tuju usaha itu. Sebatas mana usaha kita untuk mencapai poin tuju itu. Perihal nadzom, di antara serangkaian, dimulai muhafadzoh mini satu, dua, hingga muhafadzoh akbar. Dari nadzom hampir sempurna 300 itu, di muhafadzoh pertama aja udah dimulai dengan target 200 yang padahal, sejatinya, itu sangat pantas untuk target batas muhafadzoh akbar. Hingga bisa ditebak, mayoritas abang-abang ganteng gagah perkasa itu: ya, gagal. Semua hal yang udah dirasa diusahakan penuh dalam agenda setoran harian, nggak ada apa-apanya. Dari hampir keseluruhan seangkatan, hanya 4 orang yang lolos. Itu pun hanya mereka yang berstatus cendekiawan, hanya mereka yang pembesar cendekiawan. Jika sebagian circle cendekiawan aja bisa nggak lolos, apalagi bagi mereka yang pribumi ...

Hipokrit

Terkadang, manusia begitu lucu, kita lucu: suatu hari merasa bermanfaat, tapi di hari yang lain malah merasa dimanfaatkan. Kita bahas sedikit, dalam konteks manusia yang manusia. Nggak perlu berkoar dengan mengumbar kepusing dan kengeluh, hanya cukup terusik pada pendapat seseorang, “nggak apa-apa, dimanfaatin kan tanda bermanfaat!” Gua jadi mikir, sebenarnya konsep bermanfaat itu seperti apa? Bukankah kita sama-sama terganggu dengan kata dimanfaatkan? Kita jangan sampai diinjak oleh hal baik yang kita lakukan. Jangan sampai ditusuk oleh tanduk dari ‘iblis’ yang kita perlakukan baik. Siapa yang mau diperbudak iblis? Menjadi budaknya, dari hal baik yang nyatanya nggak selalu dianggap dan diterima baik?! Mungkin seperti ini jalan keluar pikirnya: Dengan literatur yang berlaku, kita sepakat bahwa kata ‘dimanfaatkan’ itu buruk dan jahat. Gua nggak setuju untuk kata ‘dimanfaatkan’ sebagai jawaban dari ‘bisa bermanfaat’. Bisa bermanfaat dengan cara dimanfaatkan. Tapi gua meng...

Dominasi

Apa yang kau harap tentang jodoh? Terbayang, memiliki pasangan yang sesuai passion, seseorang yang menjadi sisi dan perwakilan diri yang tentu akan terkesan manis dan menggemaskan. Sebagaimana sesama api yang sama-sama membakar dalam panas. At a u mungkin sesama es untuk berpadu dalam dingin dan membeku. Kita saling mendukung dan tumbuh bersama: dalam kesatuan dan keterpaduan . Sangat benar , sebagaimana sebuah ungkapan yang sering kita dengar mengenai, bahwa jodoh adalah gambaran dan cerminan diri yang tentu sesuai jika ditarik dengan konsep serasi dalam passion ini. Tapi terkadang, bahkan nggak sedikit, kita menemukan kemiripan atau bahkan sampai perbedaan dan bertolak belakang; rancu dan kontradiktif. Masih soal api dan es, serasi dan tupoksi tali kasih itu putus: memutus atau diputus, dalam sebuah lomba tentang siapa yang paling otoriter , siapa yang menjadi komoditas dan subordinat. Soal api yang padam karena es, atau malah es yang cair sebab api ?! Padahal, ya...

Suwir

Di suatu hari, makan siang kali itu terasa lebih berselera dan bergizi: pintar sekali tukang masak itu mengolah ayam. Tiba-tiba aja tuh suwiran ayam malah betah di mulut, di antara gigi seri dan graham: entah suwiran ayam itu yang nyaman di gigi, atau gigi yang sulit melepas suwiran ayam. Entahlah, terkadang cinta memang sulit untuk dipahami. Tapi yang terpenting, nggak ada peran lidah selaku orang ketiga dalam hubungan mereka. Makanya hubungan mereka langgeng dan awet. Tanpa sekalipun membenci dan julid terhadap hubungan percintaan suwir ayam dan gigi yang harmonis itu, gua malah jadi risih dan menyiksa. Nyelip dan selilitan itu jadi membuat gua berbeda dalam memandang dunia. Ciah! Tapi serius, nyelip dan selilitan itu benar-benar risih dan menyiksa. Anehnya, pikiran liar ini berpendar: ternyata kita, manusia, bisa selemah itu. Kita sama sekali nggak berdaya di hadapan suatu ‘sosok’ yang diterka pakai lidah ada wujudnya, tapi pada saat dikorek-korek pakai jari malah nggak ...

Singa

Malam jum’at ini, campur aduk perasaannya: sedari info orang rumah, novel senja bucin geli, napak tilas pondok petuk, laga tandang Persija, dan terakhir adalah undangan acara literasi asrama Asy-Syafi’i. “Kenapa gua? Kan Rohman, Said, lu, kan jebolan Syafi’i?!” Tanya gua protes, pada nama-nama yang sepatutnya, seharusnya, dan sepantasnya. “Ya, nggak enaklah, Bang. Kesannya jadi gimana gitu, udah nggak asing. Lagian anak-anak juga pada mintanya lu kok.” “Bisa aja lu!” Cukup bingung dengan alasan itu, gua udah malas ngomong jatuhnya. “Yaudah, atur aja!” Teknis acara dijelaskan tepat di saat acara itu digelar nanti malam. “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan!” Begitu ucap Bung Sjahrir. Kalau nggak karena kata-kata itu, malas juga gua berangkat. Karena memang, rasanya ini bukan hak dan kewajiban gua. Tapi yah, hitung-hitung nambah wawasan, pengalaman, dan relasi: tentu upgrade skill dan pencapaian. Maksud undangan itu adalah pengarahan, gua malah b...

Kalah

Sejatinya, kita memang sendiri. Kita bahagia dan tertawa, berusaha mencipta dan merasakan buah itu sendiri. Termasuk sedih tangis lemah payah hancur lebur hina dina kacau balau berantakan berkeping-keping dan berserakan: perlahan mengumpulkan serpihan itu, lalu mengunyah-nya dari tangan yang bergetar. Jatuh, kalah. Sejatinya, orang baik adalah orang yang mampu menyadarkan akan kebaikan, orang yang membuat kita untuk menjadi pribadi yang baik dengan senantiasa terdorong melakukan hal-hal baik. Apa yang kita harap dari orang lain? Apa yang kita harap dari orang yang nggak mengharapkan kita? Menumbuhkan cinta seorang pembaca pada tulisan itu mudah. Ia akan tumbuh berkembang dengan sendirinya, sebelum akhirnya berakar kuat dan bermekarkan semerbak bunga yang indah: sedari membaca lalu pada menulis, berawal pembaca hingga akhirnya menjadi penulis yang ingin dibaca. Mungkin cukup aneh untuk ikan yang mencintai sayap burung dan angin: tapi, apa salahnya? Bukan berarti si ika...

Aku

Di ruang sendiri, aku mencintai dan dicintai diri sendiri: aku dan aku, saling mencintai.

Lemari

Suatu hari, seorang pemuda tergugu terduduk di hadapan lemarinya yang semrawut kacau balau. Lantas ia berkata, "Rapihnya 3 hari, berantakannya 2 minggu!" Tapi, ini bukan hanya soal lemari.

Hutan

Sejatinya, sedari hal-hal yang gua perhatikan dan alami, bahwa kebanyakan seorang penulis adalah mereka yang memiliki sisi kepribadian pendiam dan penyendiri. Meskipun hal ini masih bisa kait dengan kaji makna, bagaimanapun yang namanya menulis itu berarti membuka ruang kesendirian dan kesunyian! Di luar itu, dari sebuah statement Bang Tere Liye, perihal seorang penulis harus membuka mata dan melihat dunia luas. Jangan diam saja, bertualanglah! –katanya. Maka dari itu, jangan salahkan gua yang sesekali keluar pondok dan suka, apalagi didukung kesempatan dan kiriman: hey, ini juga bentuk jalan seorang penulis! Hingga keluar pondoknya gua untuk sebuah urusan yang nggak perlu diceritakan, kayuh onthel itu nyatanya mengharuskan mengajak kayuh onthel lain dalam rihlah yang sepertinya masih tersisa kesan sepi sendiri. Panasnya siang, membuat mereka mencari pembelaan dengan teduh dan teguk es dari gelas yang berembun itu: andai onthel menjadikan lonceng sebagai tenggorokannya, pasti l...