Singa
Malam jum’at ini, campur aduk perasaannya: sedari info orang rumah, novel senja bucin geli, napak tilas pondok petuk, laga tandang Persija, dan terakhir adalah undangan acara literasi asrama Asy-Syafi’i.
“Kenapa gua? Kan Rohman, Said, lu, kan jebolan Syafi’i?!” Tanya gua protes,
pada nama-nama yang sepatutnya, seharusnya, dan sepantasnya.
“Ya, nggak enaklah, Bang. Kesannya jadi gimana gitu, udah nggak asing.
Lagian anak-anak juga pada mintanya lu kok.”
“Bisa aja lu!”
Cukup bingung dengan alasan itu, gua udah malas ngomong jatuhnya. “Yaudah,
atur aja!”
Teknis acara dijelaskan tepat di saat acara itu digelar nanti malam.
“Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan!” Begitu
ucap Bung Sjahrir.
Kalau nggak karena kata-kata itu, malas juga gua berangkat. Karena memang,
rasanya ini bukan hak dan kewajiban gua. Tapi yah, hitung-hitung nambah
wawasan, pengalaman, dan relasi: tentu upgrade skill dan pencapaian.
Maksud undangan itu adalah pengarahan, gua malah berniat pengenalan.
Mempersiapkan apa yang sekiranya akan disampaikan di sela half time Persija
lawan PSBS Biak, jam 21.30 gua putuskan berangkat dengan lemas tepat di saat
Persija tertinggal 2-1.
Nyeker, ngobok, ke warung, nyeker, ngobok, naik ke lantai 3: asrama itu
riuh ramai semarak meriah. Untungnya ada Kang Oky selaku pembina Asrama
Asy-Syafi’i , gua cukup kenal, meski dirasa kepedean untuk sampai bilang akrab.
“Eh kang, gua disuruh ngapain ini?” Tanya gua ke Kang Oky, dari
tatapan-tatapan asing yang mengintai mengidentifikasi.
“Bebas, hitung-hitung sekalian pengarahan.”
Sesekali makan jajan dan nyebat, jam’iyyahan asrama itu begitu luar biasa
dengan literasi sebagai temanya. Jujur itu horor, jujur ini baru kali pertama
gua untuk dipaksa sok keren. Hitung-hitung gua balajr, hitung-hitung gua
merasakan sensasi lain dari literasi: penampilann puisi berantai, orasi, dan
drama ditampilkan meriah. Hal lain yang mengalasi, literasi itu dibalut topik
serentetan tragedi ‘September Hitam’.
Gua menikmati penampilan-penampilan seru itu.
Hingga akhirnya, giliran itu tiba.
“Dengan kenyataan jiwa Ibnu Sina saya, jiwa elang saya, aslinya cukup
ketar-ketir main ke Syafi’i. Siapa yang nggak ngeri main ke kandang singa?”
Ucap gua membuka obrolan setelah penghormatan-penghormatan muqadimah. Untuk kandang
singa, Asrama Asy-Syafi’i memang berlambang singa.
“Tapi ngomong-ngomong perihal Syafi’i, banyak guru saya yang terlahir di
asrama ini. kalau kalian kenal Kang Hasan Alkafrowi, itu guru saya. Saya
belajar nulis dari beliau, salah ya diomelin, ngawur ya dikatain. Termasuk juga
Kang Oky, itu juga senior saya, guru saya. Harusnya beliau yang lebih pantas
ngomong di sini.”
Terlepas dari itu, maksud pengenalan itu benar-benar gua sampaikan.
“Aslinya teman-teman literasi itu mayoritas jebolan Syafi’i, karena
‘beliau-beliau’ berhalangan dan saya yang kehitung pemula malah yang
ditumbalkan. Jadi maaf juga kalau nanti pembahasannya ecek-ecek. Kita belajar
dikit-dikit, sama-sama.”
Selepas itu pengenalan materi dibuka dengan pengertian lterasi secara
dasar, sejarah literasi menurut buku Prof. Quraisy Syihab, data dan fakta
literasi Indonesia, refleksi literasi pondok, pemusatan sejarah dalam bingkai
september hitam dari buku ‘Banjir Darah’, hingga konsep-konsep puisi berantai,
orasi, dan drama.
“Drama atau lakon atau sandiwara atau opera atau tablo, adalah pertunjukan
yang gampang-gampang susah. Karena selain terfokus pada penguatan naskah
cerita, pegiat drama juga menanggung tugas menyampaikan naskah cerita tersebut
kepada penonton.”
Mereka serius, gua selalu nggak suka ‘sisi hening’ dari serius, dari
lingkup lingkup serius yang interaktif. Terkesan spaneng, atau malah
adikuasa.
“Maka dari itu, dalam konsepnya, drama harus memperhatikan 3 hal.”
Gua membahas perihal tokoh, pemain atau narator yang sama-sama memeiliki
peran penting. Perihal wawancang atau dialog, juga perihal kramagung ayau
perilaku tindak peran.
“Kalau bisa, para pemain itu jangan sekali-kali membelakangi penonton. Itu
akan mengurangi antusias dan mengaburkan alur.”
Dan bla... bla... bla.. tetekbengek lainnya
Gua tutup dengan ungkapan apresiasi penuh atas acara ini, tentu ajakan giat
berkarya, tentu maaf dan terima kasih.
Acara ditutup dengan doorprize. Banyak sekali hadiah doorprze-nya.
Pertanyaan seputar literasi itu begitu ngeri-ngeri dan tetap bisa dijawab.
Contohnya, perihal pertanyaan urutan serial novel buminya Bang Tere Liye yang
disambut antusias angkat tangan penjawab.
“Bang, minta tolong kasih pertanyaan buat doorprize utama.” Ucap panitia,
cukup ramah dan asik, Sauqi namanya.
“Iya.”
Nyatanya dari 3 pertanyaan yang udah gua siapkan untuk jaga-jaga, kalau
nggak bisa dijawab, pertanyaan pertama mengenai kapan peringatan hari literasi
sedunia dilaksanakan itu nyatanya tetap bisa terjawab, meski rada hening, meski
beberapa kali salah.
Foto bersama.
Pamitan di selesainya acara, menancap suatu rasa kekeluargaan yang entah
apa itu: begitu hangat.
Asy-Syafi’i, terima kasih atas momen yang menyenangkan ini!
Komentar
Posting Komentar