Hutan
Sejatinya, sedari hal-hal yang gua perhatikan dan alami, bahwa kebanyakan seorang penulis adalah mereka yang memiliki sisi kepribadian pendiam dan penyendiri. Meskipun hal ini masih bisa kait dengan kaji makna, bagaimanapun yang namanya menulis itu berarti membuka ruang kesendirian dan kesunyian!
Di luar itu, dari
sebuah statement Bang Tere Liye, perihal seorang penulis harus membuka mata dan
melihat dunia luas. Jangan diam saja, bertualanglah! –katanya.
Maka dari itu,
jangan salahkan gua yang sesekali keluar pondok dan suka, apalagi didukung
kesempatan dan kiriman: hey, ini juga bentuk jalan seorang penulis!
Hingga keluar
pondoknya gua untuk sebuah urusan yang nggak perlu diceritakan, kayuh onthel
itu nyatanya mengharuskan mengajak kayuh onthel lain dalam rihlah yang
sepertinya masih tersisa kesan sepi sendiri.
Panasnya siang,
membuat mereka mencari pembelaan dengan teduh dan teguk es dari gelas yang
berembun itu: andai onthel menjadikan lonceng sebagai tenggorokannya, pasti
lonceng akan berdenting kalap. Sayangnya, ia hanya terparkir di tepian, kain
bendera itu dimainkan angin kota.
Di seduduk
rehatnya, di beberapa sruput srosot nutrisari jeruk nipis dari sedotan itu,
bagaimanapun, penulis ya tetap penulis: sengaja atau nggak, kepekaan memiliki
andil atas semuanya. Sedangkan hamba Allah yang satunya, asik-asik aja dia
bersruput srosot ria dengan scrolling.
Tapi serius, mau
dengan dan sebanyak apa pencarian alibi, hal itu benar-benar mengganggu: potret
perempuan luar benar-benar miris sekaligus menyeramkan!
Entah dengan
segala hal yang melekat padanya, semua hal yang nggak pantas itu serasa
benar-benar memberi kesan merinding: saking horor atau jijiknya?!
Secara sadar,
impulsif dan intuitif ini segera mencari udara segar dari pengap hawa sesak
itu. Begitu beruntung bagi perempuan-perempuan yang ditakdirkan untuk hidup dan
bertumbuh di suatu tempat yang bernama pondok pesantren, meski dengan memilih
atau dipilih: sejatinya kalian adalah pilihan!
Dengan segala
kelebihan dan kekurangan masing-masing habitatif-situatif yang setuju atau
nggak, gua malah mikirnya menjadikan sebuah bunga sebagai analogi.
Ibarat, sebuah
bunga di halaman sebuah rumah di perkotaan, tentu akan dipilih tempat yang
paling baik dan menarik mata –entah untuk bunga itu. Ia akan mendapat perawatan
dari macam padat dan cairnya produk paling mutakhir. Penampilan adalah hal
utama. Itu mengapa untuk cerah, mekar, dan harum. Harus indah. Jangankan semak
dan ilalang, rumput halaman rumah itu hampir nggak pernah merasa panjang.
Tapi di sudut lain,
ada sebuah bunga yang hidup di lebat bebat rimba hutan. Ia hidup seadanya dan
sewajarnya. Sedari lembab tanah yang diperuntukan bagi mereka yang berdamai
dengan kesadaran dan kesederhanaan, ia tetap hidup, ia tetap tumbuh: cerah,
mekar, dan harum.
Mereka sama-sama
bunga, mereka sama-sama hidup dan tumbuh. Tapi anehnya, cerah, mekar, dan harum
mereka berbeda. Apa yang membuat mereka berbeda? Ya lingkungan dan perlakuan
itu! bagaimana lingkungan memperlakukan mereka, bagaimana mereka memperlakukan
lingkungan.
Tanpa disadari,
meskipun begitu, bunga halaman rumah harus siap akan sengat panas dan bising,
juga debu dan polusi yang menghampiri, melekat, hingga menjadi bagian dari
diri.
Berbanding
terbalik dengan bunga sederhana rerimbunan hutan yang terkesan kurang feminim,
anggun, dan perikebungaan dari tanah lembab yang nggak menutup kemungkinan
untuk semak belukar, pohon menjulang, hingga hewan-hewan buas.
Dan bisa aja semak
belukar, pohon menjulang, hingga hewan buas itu diartikan sebagai hal-hal sulit
yang hadir dan meliputi kehidupan para santriwati dalam menjalani tumbuh
kembang cerah, mekar, dan harumnya di pondok pesantren. Itu keniscayaan dan
nggak bisa dinafikan.
Tapi ketahuilah,
baik semak belukar, pohon menjulang, hingga hewan-hewan buas, nggak akan sampai
menyakiti dan menghambat tumbuh kembang sang bunga. Seharusnya memang seperti
itu: setiap individu punya alur dan rantai makananya tersendiri.
Itu nggak
berbahaya, dan nggak berarti sama sekali!
Berbeda dengan
bunga halaman rumah perkotaan, untuk panas dan bising, juga debu dan polusi,
itu sebuah keniscayaan yang pasti melekat. Entah dengan kadar banyaknya,
perihal berturut-turut dan selalu: memaksa sang bunga untuk mengambil andil dan
bagian, hanya menunggu waktu untuk layu.
Dengan begitu,
jelas sudah, nggak ada hal yang perlu dibanding-bandingi, nggak ada kesulitan
tanpa kemudahan, nggak ada kebaikan yang sia-sia.
Tetaplah hidup!
Teruslah
bertumbuh!
Cerah, bermekar,
dan harumlah!
Pondok pesantren
begitu asri dan semenyenangkan itu: percayalah dan buktikan!
Komentar
Posting Komentar