Nggak ada kata enak saat sakit. Nggak bisa apa-apa. Cuma rebahan selimutan, lihat orang-orang yang mondar-mandir dengan sibuknya masing-masing . Apapun jadi nggak berguna saat itu. Jangankan uang, sehebat apapun chef , tetap aja di lidah rasa masakan nya tetap pahit. Hanya ingin sehat. Sebelum seambruk ini, justru gua merasa tertampar waktu ngaji adabu ad-dunya wa ad-diin , ba’da jum’at yang diisi Gus Reza. Beliau bilang, “Biasanya saat sakit, orang itu jadi mudah ingat Allah. Ingat dosa. Ingat mati. Menyesali segala hal buruk yang sudah dilakukan, hal-hal yang waktu sehat kadang dilupakan.” Emang benar, hal itu gua rasakan. Kadang hikmahnya ngaji tuh kayak gini; terjawab persoalan diri. Dengan begitu, bukannya Allah butuh diingat hambanya. Allah nggak butuh itu. Hanya saja, gua anggap, Allah masih sayang dengan mengingatkan gua sebagai makhluk dan dosa-dosa yang dilakukan . Terus gua malah jadi ingat suatu keterangan di kitab Ushfuriyah karangan Syekh Muhammad bin Abu Bakar A...
Tiba-tiba seorang lelaki datang tergesa-gesa. Seraya menutup mata kanannya, langkahnya tak tentu arah. “Dok, tolong saya. Mata saya!” “Tenang, tenang. Ini ada apa?” “Mata saya, Dok!” “Coba saya lihat.” Tutup mata kanan itu dibuka dari telapak tangannya. Diperiksa. Disenter-senter. “Maaf, Mas. Saya tak menemukan gejala apapun. Jadi, apa keluhannya?” “Mata saya hilang pandangan.” “Sebelumnya, kamu ngapain aja?” ...
Pesantren memiliki banyak hal yang tidak bisa dimengerti. Karena banyaknya segala indah perasaan yang takan bisa dijelaskan tanpa kesederhanaan. Kita hidup dengan segala perbedaan. Saling mengisi kekurangan dengan berbagi kelebihan. Tak perlu ditanya tentang guru dan belajar, teman adalah aspek penting dalam pengembaraan ini. Mulai dari kita yang bukan siapa-siapa yang dipaksa hidup di ruang yang tak lebih besar dari kebun tebu itu, perasaan yang harus ditinggal orang tua pulang ke rumah. “Betah-betah, ya nak, di pondok!” Kehidupan baru dimulai. Dengan perasaan dan pikiran yang masih berpendar, tergantung, tersangkut, akan bayang rumah dan segala hangatnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa inilah yang terjadi. Kita harus kembali adaptasi, berkenalan, dan sering ludah-ludah yang tertelan. Tentu banyak hal yang tak sesuai, jauh dengan kepribadian dan keinginan kita. Hingga kita benar-benar lelah. Benar-benar tak betah. Tak terasa, pipi membasah. Berjalannya waktu, dari hal...
Komentar
Posting Komentar