Pesantren memiliki banyak hal yang tidak bisa dimengerti. Karena banyaknya segala indah perasaan yang takan bisa dijelaskan tanpa kesederhanaan. Kita hidup dengan segala perbedaan. Saling mengisi kekurangan dengan berbagi kelebihan. Tak perlu ditanya tentang guru dan belajar, teman adalah aspek penting dalam pengembaraan ini. Mulai dari kita yang bukan siapa-siapa yang dipaksa hidup di ruang yang tak lebih besar dari kebun tebu itu, perasaan yang harus ditinggal orang tua pulang ke rumah. “Betah-betah, ya nak, di pondok!” Kehidupan baru dimulai. Dengan perasaan dan pikiran yang masih berpendar, tergantung, tersangkut, akan bayang rumah dan segala hangatnya, kita harus menghadapi kenyataan bahwa inilah yang terjadi. Kita harus kembali adaptasi, berkenalan, dan sering ludah-ludah yang tertelan. Tentu banyak hal yang tak sesuai, jauh dengan kepribadian dan keinginan kita. Hingga kita benar-benar lelah. Benar-benar tak betah. Tak terasa, pipi membasah. Berjalannya waktu, dari hal
Setelah seikat puisi yang penuh rekah dan harum itu digenggamnya, tiba-tiba senyum menjadikan melayu, berubah menjadi risau dan khawatir. Apa boleh buat? Perempuan itu adalah perempuannya. Tak ada lagi aku ataupun kamu, kita ini milik bersama. “Bagi orang yang belum mengenal, kejujuran kerap kali diartikan dengan kesombongan yang berdampak pada lahirnya iri dan dengki. Tapi, bagi mereka yang sudah saling mengenal dan dekat, bahayanya, kejujuran bisa saja diartikan dengan kebohongan. Begitu kontradiksi dan paradoks. Dan kamu pun tau kan dampak dari hal ini?” Perempuan mengerjap, meskipun setuju akan harum yang semerbak itu. “Dinamakan gombal tidaknya sebuah kejujuran, dapat dibedakan dari sebuah pembuktian atau hanya sebuah omongan.” “Seharusnya kamu yang sebagai makhluk perasa, bisa merasakan itu. Dan aku tidak sedikit pun melarangmu untuk mencoba memikirkannya.” Kalimat itu masih milik lelaki, perempuan itu masih terdiam: merasa atau juga berpikir. “Aku tak mau bertengkar,
“Kamu masih menyimpannya? Merawatnya? Bermekar? Waktu itu dan selama ini?” Bingung lelaki itu, perihal sekuntum bunga tulip merah, saat lalu, hingganya bermekar. Mungkin terkesima, atau malah kagum. Perempuan itu hanya tersenyum. “Bagaimana kamu menyiramnya? Bukannya musim tengah kemarau?” Lagi. Sedari kelopak, harum itu menjuntai. “Lalu, apa? Bukannya air mata tak kenal musim?” Katup.
Komentar
Posting Komentar