Maknun
Hingga akhirnya, takdirlah yang menentukan.
Mungkin kaidah
“usaha nggak akan mengkhianati hasil,” nggak berlaku saat itu. Bukan maksud sia-sia.
Kadang kala, kita juga perlu tau dan sadar akan poin tuju usaha kita. Sebatas
mana poin tuju usaha itu. Sebatas mana usaha kita untuk mencapai poin tuju itu.
Perihal nadzom,
di antara serangkaian, dimulai muhafadzoh mini satu, dua, hingga muhafadzoh
akbar. Dari nadzom hampir sempurna 300 itu, di muhafadzoh pertama aja udah
dimulai dengan target 200 yang padahal, sejatinya, itu sangat pantas untuk
target batas muhafadzoh akbar.
Hingga bisa
ditebak, mayoritas abang-abang ganteng gagah perkasa itu: ya, gagal. Semua hal
yang udah dirasa diusahakan penuh dalam agenda setoran harian, nggak ada
apa-apanya.
Dari hampir
keseluruhan seangkatan, hanya 4 orang yang lolos. Itu pun hanya mereka yang
berstatus cendekiawan, hanya mereka yang pembesar cendekiawan.
Jika sebagian
circle cendekiawan aja bisa nggak lolos, apalagi bagi mereka yang pribumi hamba
sahaya.
“Bagi mereka
yang dinyatakan nggak lolos muhafadzoh mini satu, setiap hari, di setiap
lalaran masuk, lalarannya di luar kelas, di depan kantor madin dan berdiri
sampai kenteng masuk. Kalau mau lalaran di kelas dan duduk, harus setoran 200
bait ke beliau.” Ucap panitia muhafadzoh.
Tapi, apa yang
terjadi? Niat hati membuat membuat jera sebagaimana tujuan dari sebuah hukuman,
ucapan panitia yang mirip kambing itu nyatanya disambut meriah syukur dan sorak
sorai: aneh!
“Yeee, setoran
di luar kelas! Enak, adem.”
Dan benar aja,
di luar kelas emang adem. Angin malam di pondok permai ini memang sesejuk itu.
Belum lagi suasana dan sensasinya. Belum lagi kemeriahan dan keseruannya.
Mungkin akan beda cerita kalau hukuman ini dijalani sendirian.
Lihat
wajah-wajah itu: tanpa penyesalan!
Karena memang
seseru itu.
Percaya deh!
Cobain deh!
Empat pembesar
cendekiawan pun mengakuinya, malah sampai ikut lalaran di luar kelas.
Dari sekian
banyak, bisa gua ceritain satu.
Hari itu,
karena lalaran ini di depan kantor madin dan langsung mengahadap lokal-lokal
panjang kelas madrasah yang sampai lantai 3 itu, pemandangan abakadabra
nggak bisa terelakkan.
Salah satu
mustahiq, dari kelas bawah lantai satu, kelas 6 Ibtida’iyah.
“Lihat-lihat!
Mustahiq kae kemegus banget loh!” Ucap komandan, melihat seorang mustahiq yang
menaruh sandalnya di atas lantai teras yang jelas-jelas suci, yang jelas-jelas
hanya seorang kiai dan gus yang seperti itu: tanda sopan santun, tinggi derajat
seorang alim ulama.
Tapi, mustahiq
bau kencur itu malah kemegus, merasa pengasuh pondok: entah apa jalan pikirnya.
Di saat yang
kesekian, saat kejadian itu kembali terulang, ini saatnya pergerakan. Mustahiq
itu bergerak, komandan pun ikut bergerak. Bedanya, mustahiq itu bergerak
keliling kelas untuk mengontrol lalaran, sang komandan malah bergerak mendekati
sandal, mengambilnya, menurunkan ke bawah paping, bagai Cristiano Ronaldo, ia
menendangnya keras-keras.
Hanya saja,
tanpa siuuu!
Para pribumi
hamba sahaya ataupun cendekiawan tergelak, merasa bahagia atas tegaknya
revolusi mental dan moral negara ini: juga, tentu terhibur.
Besoknya, dari
kejadian itu, sang mustahiq rohimahullah itu nggak mengulangi kejadian amoral
tersebut. Malahnya mengganti sandal di keesokan harinya, sandal jepit swalow
legend: mungkin mengena.
Itu kabar dan
hiburan baru pula.
Di luar
kejadian itu dan lainnya, satu hal yang bisa dipetik: ternyata segala sesuatu,
baik buruknya, jika kita menikmatinya, maka akan terasa nikmat. Jika kita
menjalaninya dengan bahagia, maka akan terasa bahagia.
Semua tergantung
mindset, semua sesuai persepsi.
Komentar
Posting Komentar