Suwir
Di suatu hari, makan siang kali itu terasa lebih berselera dan bergizi: pintar sekali tukang masak itu mengolah ayam.
Tiba-tiba aja
tuh suwiran ayam malah betah di mulut, di antara gigi seri dan graham: entah
suwiran ayam itu yang nyaman di gigi, atau gigi yang sulit melepas suwiran
ayam. Entahlah, terkadang cinta memang sulit untuk dipahami. Tapi yang
terpenting, nggak ada peran lidah selaku orang ketiga dalam hubungan mereka.
Makanya hubungan mereka langgeng dan awet.
Tanpa sekalipun
membenci dan julid terhadap hubungan percintaan suwir ayam dan gigi yang
harmonis itu, gua malah jadi risih dan menyiksa. Nyelip dan selilitan itu jadi
membuat gua berbeda dalam memandang dunia.
Ciah!
Tapi serius,
nyelip dan selilitan itu benar-benar risih dan menyiksa.
Anehnya,
pikiran liar ini berpendar: ternyata kita, manusia, bisa selemah itu.
Kita sama
sekali nggak berdaya di hadapan suatu ‘sosok’ yang diterka pakai lidah ada
wujudnya, tapi pada saat dikorek-korek pakai jari malah nggak ketemu: seperti
sihir, tiba-tiba aja hilang dan nggak terdeteksi.
Semakin diulang
‘ritual’ itu, membuat gua semakin risih dan tersiksa. Membuat gua semakin
merasa lemah nggak berdaya.
Ya Tuhan,
tolonglah hambaaaa!
Komentar
Posting Komentar