Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2023

Marhaban

Kepada para pembaca yang Budiman, dari pada kurang kerjaan dan buang-buang waktu dengan membaca tulisan-tulisan kusam ini, lebih baik baca Al-Qur’an!   Lumayan dapat pahala. Selamat berpuasa.                                      

Hadeuh

               “Bang, pulang kapan sih, Bang?” Seusai sedikit bahas idhgom dan banyak cerita-cerita, menyempatkan untuk kata dan udara malam di jam 22.00 Wib. Bocil-bocil itu malah nggak mau ke kamar.             “Kenapa emang? Pertengahan tahun kok udah nanyain pulang?”             “Aku nggak betah, Bang!” Jawabnya lugu dengan ekspresi yang mengiba.             “Kok nggak betah? Di sini kan enak banyak temannya.”             “Iya sih, Bang. Enak banyak teman. Bisa main. Tapi, aku kepikiran rumah terus. Kepikiran Umi, kepikiran Abi. Hafalan juga aku nggak hafal-hafal. Aku dikatain terus sama Si Aldi, soalnya dia udah hafal banyak. Aku malu. Aku nggak betah, mau pulang aja.” Wajahnya makin mengiba. Matanya berkaca-kaca. Air mata itu hampir turun.             “Eh, jangan nangis, dong.”             “Kayaknya juga Umi dan Abi nggak sayang aku. Buang aku di sini.” Lanjutnya hingga air mata itu benar-benar jatuh. Deras. Teman yang lain, yang masih main, datang kebingungan.

Cemen

Setiap hembus nafas ini, kita selalu berteman banyak orang. Kita duduk, bersosial. Dan bicara adalah bentuk dari pertukaran olah jiwa itu sendiri. Ya, benar. Dalam hidup, seseorang memiliki 2 ruang. Satu, ruang bersosial. Dua, ruang pribadinya. Ruang yang hanya ia selami sendiri tanpa apapun yang mengikat. Tentu, sosial hanya tentang hubungan dan kepura-puraan. Ruang tampil dari pribadi kita yang lain. Berteman dengan tukang minyak wangi akan terbawa wangi, katanya. Kita harus menjadi manusia yang positif. Kita bisa menjadi baik dengan membaur bersama orang baik. Meskipun tak menjustifikasi orang buruk tanpa hal baik. Dari hal itu, kita bisa memilih mana orang yang baik untuk kita dan mana yang sewajarnya. Siapa yang tak ingin cerdas? Gua rasa, cerdas adalah bentuk syukur secara maksimal atas akal yang telah diberikan. Dari setiap orang yang plural dan general dalam lingkup pesantren, ada hal yang baru gua ketahui; mereka yang cerdas karena terdidik buku-buku tak pernah sebanding

Sapu

Ada kejadian unik. Suatu sore, gua nyapu. Menjelang maghrib, entah kata apa yang tepat untuk menyebut ‘kamar atau kandang’, biasanya emang bersih-bersih jam segitu. Dan, apa yang harus dipermasalahkan soal lelaki dan menyapu? Bukannya Annazhofatu minal iman? Semua yang sekiranya sampah, kotor, ya gua sapu. Gosrek sana, gosrek sini. Sapu, sapu, sapu sampai depan pintu, lalu ke tong sampah. Tapi, anehnya setiap ada kertas bertulisan pasti gua pinggirin. Dipisah. Nggak dibuang. Bentuk penghargaan pada pegiat literasi. Beberapa kertas dan buku terkumpul di atas rak buku. Sapu selesai. Istirahat, menunggu maghrib. Kertas-kertas serta buku lusuh itu gua ambil. Lihat. Baca-baca. Siapa tau ada yang penting. Kertas-kertas itu macam-macam. Mulai kertas tugas pelajaran, jadwal piket, daftar utang, gambar-menggambar, undangan, dan lainnya. Begitu juga buku-buku. Gua baca semua. Iseng aja, nunggu maghrib. Dari kesemuanya, ada satu tulisan yang menurut gua menarik. Pada buku sidu bergambar beruang d

Semut

  Tiba-tiba seorang lelaki datang tergesa-gesa. Seraya menutup mata kanannya, langkahnya tak tentu arah.              “Dok, tolong saya. Mata saya!”              “Tenang, tenang. Ini ada apa?”              “Mata saya, Dok!”              “Coba saya lihat.” Tutup mata kanan itu dibuka dari telapak tangannya. Diperiksa. Disenter-senter.              “Maaf, Mas. Saya tak menemukan gejala apapun. Jadi, apa keluhannya?”              “Mata saya hilang pandangan.”              “Sebelumnya, kamu ngapain aja?”              “Saya nggak aneh-aneh, Dok. Ngampus, belajar, pulang-ngampus, belajar, pulang. Udah gitu aja.”              “Kok, bisa mata kamu ada keluhan? Coba jelaskan    lebih spesifik lagi keluhannya?”              “Jadi gini, Dok. Setiap saya ke kampus, setiap saya belajar di kampus, mata saya, pandangan saya menjadi nggak tentu arah. Setiap saya lihat buku, wajahnya yang tampak. Setiap saya lihat papan tulis, wajahnya yang tampak. Setiap saya lihat makalah, wajahnya yang tampak. Bahka

Debu

Di atas balai bambu berpayung langit bermega jingga, 2 santri itu rehat sejenak dari huruf-huruf tanpa harokat. Udah kebiasaan, gua suka aja sama suasana itu. Melepas semua beban pikir dan rasa pada angkasa. Terbawa angin, tercabik kepak sayap-sayap burung. Nggak ada niatan ganggu sore dan sibuk santri lain, kebetulan saat itu malah ditemani Kang El, santri senior yang ramah, cerdas, punya banyak buku, senang nulis, dan jago main futsal. Ia salah satu orang yang gua jadiin kaca. Suhu. Setelah sesekali tanya dan bahas-bahas pelajaran, gua rehat. Kang El sesekali menyeruput kopinya. Lalu, tiba-tiba ngomong, “Bang, kadang orang nggak pede untuk sukses.” Ucapnya dengan lidah-lidah nasi pecel yang kental. Meski ia yang lebih tua, gua malah dipanggil bang. Tanda mengimbangi lawan bicara. Tanda orang yang memakai ilmunya.             “Alasannya karena ia rendah, dari kaum bawah. Kalau menurutku yo Bang, orang sukses justru banyak yang terlahir dari orang bawah. Karena mereka lebih menge

Badut

Sebagai makhluk hidup, kita berperan untuk menjaga hidup. Antara makhluk satu dengan makhluk lain dan stabil. Selain senang, kita perlu menciptakan hidup dengan tenang. Tentu, mau nggak mau kita harus bersosial dan cerdas. Agar nggak ada kesenjangan dan kerenggangan. Ya, dengan cerdas memposisikan diri terhadap lingkungan dan subjek yang menempatinya. Nggak hanya tekstual, perlu juga kontekstual. Kita harus mengimbangi lawan bicara demi keberlangsungan hidup. Agar nggak ada kesalahpahaman. Agar timbul rasa nyaman. Tapi, nyatanya, saat kita menuntut diri sendiri untuk orang lain. Untuk mengimbangi dan kabul harap ingin orang-orang, kita malah makin asing dengan diri sendiri. Terlalu banyak peran dan watak yang menindih dan mengubur peran dan watak alami kita. Lalu, ketegasan bersikap dan bersifat kita dipertanyakan. Harga diri terombang-ambing. Ada yang perlu lu ingat dan catat; Lu nggak bisa bahagiain semua orang! Lihat aja diri lu dalam-dalam. Ada sepotong bahagia nggak di sana?

Temaram

Berulang kali nafas itu dilepas. Suara jangkrik seolah berbisik, ‘ada apa gerangan?’ Cahaya rembulan jatuh di wajahnya. Bintang gemintang menemani malam-malam panjang. Wajah itu bersahaja. Meski keriput cukup jelas sebagai tanda dipeluk waktu. Rambut lelaki berbelit rapih kain sarung itu pun perlahan memutih. Bagaimana pun tulang punggung pantang untuk merintih.             “Abi, rupanya di sini!” Perempuan rimbun dengan mukena lusuh yang masih melekat, datang penuh senyum. Datang dengan sepiring singkong, ubi, dan pisang tanduk rebus. Lalu, duduk di samping suaminya. Sang Suami hanya tersenyum.             “Setelah jam’ah isya’ tadi, Umi kira Abi ke mana. Ternyata sedang di teras.”             “Ini Umi bawakan singkong, ubi, dan pisang tanduk rebus. Alhamdulillah, hasil kebun kita sedang melimpah, Bi. Umi juga udah bagikan beberapa untuk tetangga kita.”             “Oh iya, Bi. Kemarin Ali telpon Umi, dia bilang katanya dia sudah ditempatkan di bidang administrasi. Setid

Embun

Entah kenapa akhir-akhir ini udara dingin banget. Sering turun hujan. Jemuran nggak kering-kering. Pohon tebu malah bersorak-sorai. Dan jadinya kabut selalu menyelimuti pagi-pagi. Seperti detik ini, nggak ada maksud apa-apa. Cuma mau beli sarapan. Benerin sarung, ambil baju, ambil duit, pakai kopeah, pakai sendal. Nggak tau, pagi-pagi bawaannya pengen yang hangat-hangat aja. Nasi pecel enak kayaknya. Jalan, ke pondok induk. Melewati basah jalan, kerikil, dan pondok-pondok unit. Orang-orang dengan kegiatan yang beragam. Sesuka hati mereka. Seperti pondok di kanan jalan itu. Ramai. Berisik. Ramai dan berisik oleh lantunan bacaan Al-Qur’an. Pondok Putri pengahafal Qur’an itu kayaknya lagi lalaran. Meski nggak pakai pengeras suara, lantang semangat dan banyaknya khusyu’ itu menyeruak dari celah-celah aula pondok. Gua malah diam. Bawaannya jadi adem. Akhirnya malah belok ke tukang susu peternakan sapi yang kebetulan dimiliki pondok itu. Beli splastik. Suara lantunan ayat-ayat itu teru