Hadeuh
“Bang, pulang kapan sih, Bang?”
Seusai sedikit bahas idhgom dan banyak cerita-cerita,
menyempatkan untuk kata dan udara malam di jam 22.00 Wib. Bocil-bocil itu malah
nggak mau ke kamar.
“Kenapa
emang? Pertengahan tahun kok udah nanyain pulang?”
“Aku
nggak betah, Bang!” Jawabnya lugu dengan ekspresi yang mengiba.
“Kok
nggak betah? Di sini kan enak banyak temannya.”
“Iya
sih, Bang. Enak banyak teman. Bisa main. Tapi, aku kepikiran rumah terus.
Kepikiran Umi, kepikiran Abi. Hafalan juga aku nggak hafal-hafal. Aku dikatain
terus sama Si Aldi, soalnya dia udah hafal banyak. Aku malu. Aku nggak betah,
mau pulang aja.” Wajahnya makin mengiba. Matanya berkaca-kaca. Air mata itu
hampir turun.
“Eh,
jangan nangis, dong.”
“Kayaknya
juga Umi dan Abi nggak sayang aku. Buang aku di sini.” Lanjutnya hingga air
mata itu benar-benar jatuh. Deras.
Teman yang lain, yang
masih main, datang kebingungan.
“Jangan
nangis dong, Li.” Ucap salah satu dari mereka.
“Iya,
jangan nangis.”
Kuusap.
“Kepikiran
rumah dan Umi Abi itu biasa. Semua santri pasti pernah ngerasain, Li.”
“Termasuk
abang?” Tanya-nya dengan sesenggukan yang tersisa.
“Iya,
termasuk abang. Malah dulu abang lebih cengeng. Abang dulu, waktu tsanawi kaya
kamu, lebih susah. Harus tinggal di daerah sunda yang semua orangnya ngomongnya
bahasa sunda dan abang belum bisa dan nggak paham apa-apa waktu itu.”
“Berarti
abang nggak ngomong?” Sempat-sempatnya ia bertanya seperti itu. Mau ketawa. Ini
anak siapa?
“Ya,
ngomong. Bahasa Indonesia dan sekalian belajar Bahasa sunda sampai akhirnya
bisa. Dulu juga makannya nggak enak. Kangkung, tempe, tahu – kangkung, tempe,
tahu. Kamu mah enak di pondok sini banyak tukang makanan. Coba kamu tadi makan
apa?”
“Ayam
geprek, heee.” Ia akhirnya nyengir.
“Sama
es teh, Bang. Dua.” Temannya menyahuti antusias.
“Kan
kamu juga minta.” Ia tak mau kalah.
“Yaelah
dikit doang.”
Lah?
Jadi berantem.
“Sudah.
Ali, dengerin. Kamu, abang, dan kita semua dipondokkan itu bukan tandanya orang
tua nggak sayang. Justru mereka sayang sama kita. Mereka ingin kita paham dan
cerdas agama. Coba kamu bayangin, kamu nggak mondok, sekolah di luar dengan
teman-teman dan pergaulan yang bebas. Ngegame, ngerokok, lupa sholat, diam-diam
nggak puasa yang menandakan ia nggak paham agama. Terus masuk neraka. Masih
mending mana?”
“Masih
mending mondok, Bang.”
“Berarti
Umi Abi sayang sama kamu. Pengen kita masuk surga.”
“Bang,
emang kalua di surga bisa main PS?” Celetuk temannya.
“Boleh,
kamu mau main PS berapa? Mau main PS 10 jam juga nggak apa-apa!”
“10
jam? Emang nggak sholat dulu, Bang?” Tambah yang lain.
“Bayar nggak, Bang?”
Tambah yang lain-lainnya.
“Ya,
nggak bayarlah. Emang di rental. Di surga, sholat udah libur. Aku mau main
PS 3 bulan, ah!”
“Terserah.”
Ada-ada
aja.
“Ali,
untuk hafalanmu, ya hafalkan jangan menyerah kalau kamu dikataian hanya
gara-gara hafalannya lebih sedikit dari Aldi, jangan putus asa. Jadiin itu
semangat buat kamu. Tunjukkan bahwa kamu
bisa lebih dari dia. Balas ucapannya dengan banyak hafalan kamu. Semangat.
Jangan nangis lagi!”
“Iya,
Bang. Aku akan balas Aldi dengan prestasiku.”
Aku
tersenyum.
Sementara
itu, suara sesenggukan malah terdengar dari belakang.
“Aldi?”
“Abang
jahat!” Ucapnya seraya menangis, beranjak.
“Di!”
Hadeuh.
Komentar
Posting Komentar