Badut

Sebagai makhluk hidup, kita berperan untuk menjaga hidup. Antara makhluk satu dengan makhluk lain dan stabil. Selain senang, kita perlu menciptakan hidup dengan tenang.

Tentu, mau nggak mau kita harus bersosial dan cerdas. Agar nggak ada kesenjangan dan kerenggangan. Ya, dengan cerdas memposisikan diri terhadap lingkungan dan subjek yang menempatinya. Nggak hanya tekstual, perlu juga kontekstual. Kita harus mengimbangi lawan bicara demi keberlangsungan hidup. Agar nggak ada kesalahpahaman. Agar timbul rasa nyaman.

Tapi, nyatanya, saat kita menuntut diri sendiri untuk orang lain. Untuk mengimbangi dan kabul harap ingin orang-orang, kita malah makin asing dengan diri sendiri. Terlalu banyak peran dan watak yang menindih dan mengubur peran dan watak alami kita. Lalu, ketegasan bersikap dan bersifat kita dipertanyakan. Harga diri terombang-ambing.

Ada yang perlu lu ingat dan catat; Lu nggak bisa bahagiain semua orang! Lihat aja diri lu dalam-dalam. Ada sepotong bahagia nggak di sana? Gua tau lu pengen ngeluh. Lu capek. Lu lemah. Kita semua capek, kita semua lemah. Ingin berontak dari segala kepura-puraan dan tuntut ingin orang-orang. Tapi, kita khawatir, tenang hidup yang dipertaruhkan? Iya, kan?

Sosial, tenang, senang memang saling ikat mengikat. Tapi, kita juga punya ego. Kita punya ruang pribadi dan energi. Sayangnya semua itu naik turun.

Jadi, kita nggak perlu capek-capek buat hidup orang lain. Hidup kita aja berserakan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar