Debu

Di atas balai bambu berpayung langit bermega jingga, 2 santri itu rehat sejenak dari huruf-huruf tanpa harokat.

Udah kebiasaan, gua suka aja sama suasana itu. Melepas semua beban pikir dan rasa pada angkasa. Terbawa angin, tercabik kepak sayap-sayap burung. Nggak ada niatan ganggu sore dan sibuk santri lain, kebetulan saat itu malah ditemani Kang El, santri senior yang ramah, cerdas, punya banyak buku, senang nulis, dan jago main futsal. Ia salah satu orang yang gua jadiin kaca. Suhu.

Setelah sesekali tanya dan bahas-bahas pelajaran, gua rehat. Kang El sesekali menyeruput kopinya. Lalu, tiba-tiba ngomong, “Bang, kadang orang nggak pede untuk sukses.” Ucapnya dengan lidah-lidah nasi pecel yang kental. Meski ia yang lebih tua, gua malah dipanggil bang. Tanda mengimbangi lawan bicara. Tanda orang yang memakai ilmunya.

            “Alasannya karena ia rendah, dari kaum bawah. Kalau menurutku yo Bang, orang sukses justru banyak yang terlahir dari orang bawah. Karena mereka lebih mengerti dan menghargai hidup. Mereka yang berproses dari bawah, sebagaimana benih yang akan tumbuh. Sedangkan mereka yang memulainya dari atas, nggak sedikit yang runtuh. Sebagiamana konsep gravitasi.”

            “Mereka yang memulainya dari atas, hidupnya selalu senang, selalu aman lancar. Saat cobaan itu datang yang membuatnya jatuh, ia akan bingung. Ia pasti bingung. Bagaimana ia kembali ke atas, sedangkan ia nggak pernah kenal tumbuh? Nggak pernah kenal proses! Kuat hanya karena finansial, tapi mental?”

            “Jangan pernah minder, Bang. Allah melihat semua usaha dan do’a kita.”

            “Terus yo Bang, kala dirasa cobaanmu semakin berat, bukan tanda kamu lemah! Itu tanda kamu memang benar-benar kuat. Bukankah semakin tinggi pohon, semakin besar angin menerpa?”

            “Begini, Bang. Saat kita belajar Jurumiah, kalam itu terdiri dari 4 komponen, lafaz-murokab-mufid-wad’i. lalu, naik ke Imrithi menjadi 3, lafaz-mufid-musnad. Berbeda lagi jika sampai Alfiyah yang kalam itu hanya cukup dengan lafad dan mufid, hanya ada 2 komponen. Maksudnya bagaimana? Semakin kita ke tahap atas, semakin ada kelonggaran. Ada kesenangan. Tapi, bukan berarti nggak ada ujian dan kesulitan. Sebagaimana nahwu. Sekilas Jurumiah lebih ribet dengan 4 komponen kalam, sedangkan Alfiyah lebih mudah dengan 2 komponen. Tapi, apa nyatanya Alfiyah lebih mudah dibanding Jurumiah? Tidak. Begitulah hidup, hitam-putih. Plus-minus. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.”

            “Terus Kang, tentang omong orang lain yang kadang tetap ada meski kita udah berlaku baik?” Gua angkat bicara juga, setelah nyimak penuh dalam.

            “Haha. Hidup nggak hanya sebatas monyong mulut orang, Bang. Nggak usah didengarin, nggak usah dipikirin. Mereka berhak berbicara apapun dengan mulutnya dan kita juga berhak untuk nggak mendengar apapun dengan telinga kita. Jika itu benar, jalan aja terus. Sekelas Nabi aja ada hatersnya, apalagi kita? Paham ya, Bang?”

            “Iya, Kang.”

Gua mengangguk dan mencerna setiap kata demi kata. Sangat bermanfaat.

            “Terus, ‘Tuan Putri’ gimana kelanjutannya?” Tanya-nya setengah tawa.

Pembahasan tiba-tiba berganti. Lebih luas dan mendalam. Berbau masa depan.

            “Hehe, jadi gini, Kang…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar