Embun

Entah kenapa akhir-akhir ini udara dingin banget. Sering turun hujan. Jemuran nggak kering-kering. Pohon tebu malah bersorak-sorai. Dan jadinya kabut selalu menyelimuti pagi-pagi. Seperti detik ini, nggak ada maksud apa-apa. Cuma mau beli sarapan.

Benerin sarung, ambil baju, ambil duit, pakai kopeah, pakai sendal. Nggak tau, pagi-pagi bawaannya pengen yang hangat-hangat aja. Nasi pecel enak kayaknya. Jalan, ke pondok induk. Melewati basah jalan, kerikil, dan pondok-pondok unit. Orang-orang dengan kegiatan yang beragam. Sesuka hati mereka.

Seperti pondok di kanan jalan itu. Ramai. Berisik. Ramai dan berisik oleh lantunan bacaan Al-Qur’an. Pondok Putri pengahafal Qur’an itu kayaknya lagi lalaran. Meski nggak pakai pengeras suara, lantang semangat dan banyaknya khusyu’ itu menyeruak dari celah-celah aula pondok.

Gua malah diam. Bawaannya jadi adem. Akhirnya malah belok ke tukang susu peternakan sapi yang kebetulan dimiliki pondok itu. Beli splastik. Suara lantunan ayat-ayat itu terus aja mengalir di telinga, ke hati, merata. Menetap.

Kok bisa gitu, perempuan-perempuan embun. Siklusnya tenang; di pondok- ngaji, belajar, hafalan, impian, terus-terus memperbaiki diri -ke lokal keluar pondok- nunduk aja sepanjang jalan, bawa kitab, ke lokal, ngaji -ke pondok keluar lokal- bawa kitab, nunduk lagi sepanjang jalan, ngaji, belajar, hafalan, impian, dan terus-terus memperbaiki diri. Mencoba menjadi seperempuan-perempuannya perempuan.

Kayaknya, di titipin satu aja dari pemilik lantun ayat-ayat itu, adem kali ya rumah? tentram setiap hari.

Gimana? Tinggal berapa juz lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar