Temaram

Berulang kali nafas itu dilepas. Suara jangkrik seolah berbisik, ‘ada apa gerangan?’ Cahaya rembulan jatuh di wajahnya. Bintang gemintang menemani malam-malam panjang.

Wajah itu bersahaja. Meski keriput cukup jelas sebagai tanda dipeluk waktu. Rambut lelaki berbelit rapih kain sarung itu pun perlahan memutih. Bagaimana pun tulang punggung pantang untuk merintih.

            “Abi, rupanya di sini!”

Perempuan rimbun dengan mukena lusuh yang masih melekat, datang penuh senyum. Datang dengan sepiring singkong, ubi, dan pisang tanduk rebus. Lalu, duduk di samping suaminya.

Sang Suami hanya tersenyum.

            “Setelah jam’ah isya’ tadi, Umi kira Abi ke mana. Ternyata sedang di teras.”

            “Ini Umi bawakan singkong, ubi, dan pisang tanduk rebus. Alhamdulillah, hasil kebun kita sedang melimpah, Bi. Umi juga udah bagikan beberapa untuk tetangga kita.”

            “Oh iya, Bi. Kemarin Ali telpon Umi, dia bilang katanya dia sudah ditempatkan di bidang administrasi. Setidaknya itu lebih baik dibanding bidang produksi.”

Sang Istri masih antusias akan semangat ucapnya. Sang Suami menyentuh sepotong singkong yang mulai menghangat. Tak kalah hangat dari mereka.

“Bi, Shila dan Abim kok belum main ke sini lagi, ya? Umi kangen banget sama cucu-cucu Umi. Ini sudah hampir 2 bulan loh Umi nggak ketemu mereka!”

Lelaki itu masih saja mengunyah dikit demi sedikit singkong di tangan kanannya. Pandangannya masih kosong ke depan.

            “Tapi, kata Ustadz Muhsin di Majelis Ta’lim tadi, bagaimana pun kita harus tetap sabar terhadap apa yang Allah coba terhadap kita. Walaupun rasa rindu sekalipun. Bukankah begitu, Bi?

            “Bi? Abi?” Sang Istri menatap ke arah suaminya dalam-dalam. Menanti jawaban dari pertanyaan yang menambah risaunya.

Singkong setengah kunyah itu diletakan kembali di piring. Lelaki baya itu mulai mengarahkan wajahnya pada wajah istrinya yang penuh tanya dan risau.

            “Mi?”

Tatapannya dalam. Suaranya memberat penuh tulus.

            “Iya, Bi?”

Tangan itu diraih.

            “Makasih udah bertahan, makasih masih mau nemenin sampai sejauh ini. Makasih, Mi.”

            Kecup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar