Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2024

Stoik

Maghrib, atau setidaknya petang, adalah waktu krusial. Semenjak setengah enam sampai tepatnya, banyak kegiatan di waktu yang sedikit: piket kamar, makan sore, pulang sorogan, dan tentunya ngantri mandi yang panjanganya sepanjang harapan bangsa ini akan keadilan sosial! Nggak tau kenapa hal itu selalu diulang, orang-orang begitu suka dan istiqomah untuk mandi mepet maghrib. Padahalkan, tentu, dapat giliran mandi jadi lama karena ngantri dan durasi mandi jadi cepat karena orang ngantri, digedor-gedor pemandi lain. Nggak tau, mungkin ada sensasi lain. Atau mungkin, ada ada fadilah yang gua nggak tau: mandi selalu mepet maghrib. Tapi ini bukan soal mandi! Sehabis bercapek-capek bolak-balik dalam kayuh gerak gerah onthel balap sedari ashar sampai selesainya urusan, gua pulang di waktu petang dan bukan berarti tanda istirahat: badan dan pikir. Masih ada beberapa hal yang harus diurus saat itu dan harus selesai saat itu juga. Seperti checking kesiapan acara dan kebutuhan moderator, cont

Kacau

Suatu hari, penulis kehilang pena-nya. Tentu ia tidak baik-baik saja: tulisan di buku itu belum selesai. Mungkin bisa ia pada pena lain untuk lanjut tulisannya. Tetapi, tidak mungkin untuk lanjut tulisan buku itu. Karena memang, tinta pena lain warnanya berbeda. Pena-nya hilang. Tulisannya terbengkalai. Karya-nya hancur. Menjadi penulis dan menulis itu butuh konsistensi dan prinsip. Belum lagi soal mood dan keterbukaan. Entah kapan ia akan kembali, melanjut menulis. Apakah penulis harus mengkhianati menulis?

Pecel

Akhir-akhir ini, entah, gua jadi susah tidur malam. Mungkin karena selalu ada hal yang dilakukan sampai jam malam dan membuat siklus tidur berpindah, hingga harus menemukan diri dan menerima bahwa gua harus terbiasa dengan malam. Membuat malam, tampak biasa: teman. Setiap malam jadi nggak ada ngantuk-ngantuknya. Meski gua tau, waktu malam adalah waktu istirahat. Gua rasa, semua orang setuju. Di sisi lain, semua orang pun setuju bahwa waktu malam selalu memberikan rasa tenang dan tentram. Gua nyaman dan mencoba cari sisi baiknya aja dalam aktivitas di waktu malam. Mungkin bisa jadi solusi bagi orang yang nggak begitu suka keramaian, seenggaknya untuk di suatu tempat bernama pondok pesantren. Selain menjadikan huruf-huruf sebagai bagian diri, hal itu sudah menjadi konsekuensi dengan kenyataan bahwa teman yang lain sudah tertidur dan yang segelintir tersisa, sibuk dengan kerjaan perduniawiannya yang menuntut dikerjakan cepat dan selesai. Hingga, bukan hanya soal kata, jari jemari, d

Gerimis

Nggak ada kata gagal dari usaha hujan dalam membahagiakan: rintik, basah, segar, kenang, dan senang-senang. Nyatanya, hari itu, sore, hanya gerimis. “Lu udah mandi, Peng?” Tanya gua pada Apeng yang handukan, sedang ngosrak-ngasrik kotakan sabun di rak. “Belum, Bang. Ini mau mandi.” “Hujan-hujanan, yok?!” Ia nggak langsung menjawab. Hanya sedikit rekah senyum, hingga akhirnya mengiyakan. Rekah senyum gua, menyusul kala itu. Nggak ada maksud apa-apa, akhir-akhir ini hujan nggak menentu. Banyak yang salah tebak, apa saja yang diperkirakan: terutama mereka, Sang Pemerhati jemuran. Ditambah gua belum mandi dan ada teman buat mandi hujan, gua nggak memperdulikan status diri dan tanggapan orang lain. Satu yang perlu lu tau: gua hanya suka hujan. Di sore yang semakin gelap karena geser waktu dan kemendung awan, gua sama Apeng membulatkan niat dan omongan untuk mandi hujan di latar keran, tempat biasa orang nyuci, samping kamar mandi, berteman pohon kelengkeng, langsung beratap an

Pintu

Bagi s ebagian orang, malam minggu memiliki kesannya tersendiri. Penuh dramatis. Hingga, begitunya dengan malam minggu kali ini. Sering termaknai secara mutlak, malam minggu pasti bernuansa ngeri . N geri-ngeri sedap. Bagi santri, terutama santri pondok ini : f ull mustahiq untuk permadrasah diniyahan dan tamrin. Siswa nggak boleh gentar! Apalagi untuk resolusi sukses nyewu seangkatan, membuat orang-orang ini menjadi korban dari pelampiasan macam-macam strategi sistem pembelajaran: termasuk konsekuensi dan hukuman. Pikiran, lalaran, dan hafalan-hafalan. Nggak boleh kendor! Setelah lihat hasil dan kembali bongkar pasang, sampainya pada strategi sistem pembelajaran yang kesekian dengan diperkelompokkan dan harus hadap setoran 1002 bait itu. Meski tetap disimak diloncat diacak, nah itu! Hingga, dari 7 orang yang namanya sekitaran abjad A, diputuskan masuk kel o mpok satu dan kebagian jadwal setoran di malam minggu, malam ini. Siap nggak siap, langsung hadap! Karena tentu harus

1 th!

Alhamdulillah, penuh syukur tiada tara atas rahmat dan nikmat, masih diberikan kesempatan untuk hanya sekedar membaca dan menulis, senang membaca dan menulis. Juga berprinsip dan konsisten: semoga. Bukan apa-apa, terasa begitu senang, blog ini sudah menginjak satu tahun kelahiran. Meski satu tahun itu terdapat 365 hari, dengan sudah mencapai kata ratus dari tulisan yang mengisi dan menetap di blog ini aja sudah syukur. Ya, meskipun belum berniat untuk kata bermanfaat dan punya andil besar terhadap dunia literasi. Tapi, usaha memantaskan diri tetap kami niati dan usahakan. Sudah barang tentu untuk senang, merasa bodoh dan bersalah itu tiba-tiba hinggap di kala penggarapan tambah tulisan ke-163, melihat jam dan tanggal di pojok kanan bawah laptop yang kurang berkenan untuk menyebutkan merek dengan segala keluh kesahnya: merasa terlewat untuk anniversary pertama blog yang kayaknya di bulan Januari.  Lihat daftar postingan, nge-scroll ke bawah, sampai dasar, ditulisan pertama tertera 04 Ja

Ember

Dalam segala hal, sudah sepatutnya kita berusaha, berikhtiar. Karena memang seperti itu konsep dan alurnya hidup: ikhtiar, do’a, dan tawakal. Kita terlepas dari 3 hal itu. Harus lengkap, dan lengkap nggak boleh adanya berkurang salah satu darinya. Kali ini, gua pengen ngebahas ikhtiar usaha itu sendiri. Betapa penting dan perlu diperhatikannya usaha dalam setiap tuju gerak kita. Betapa serius, mungkin perlunya gua menyatir dalil lain biar lu percaya: bahwa usaha itu penting. وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ “Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh apa pun selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm ayat 39). Udah satu aja. Sisanya cari sendiri: usaha! Betapa pentingnya usaha dan gerak ini, karena memang menjadi step awal dari 3 susunan step yang ada. Sebelum ke do’a dan tawakal, kita harus berikhtiar terlebih dahulu. Dan betapa seringnya, kita begitu lemah di step awal ini. Malah lemah sedari step awal ini. Seringnya kita untuk menyicip kegagala