Stoik
Maghrib, atau setidaknya petang, adalah waktu krusial. Semenjak setengah enam sampai tepatnya, banyak kegiatan di waktu yang sedikit: piket kamar, makan sore, pulang sorogan, dan tentunya ngantri mandi yang panjanganya sepanjang harapan bangsa ini akan keadilan sosial!
Nggak tau
kenapa hal itu selalu diulang, orang-orang begitu suka dan istiqomah untuk
mandi mepet maghrib. Padahalkan, tentu, dapat giliran mandi jadi lama karena
ngantri dan durasi mandi jadi cepat karena orang ngantri, digedor-gedor pemandi
lain. Nggak tau, mungkin ada sensasi lain. Atau mungkin, ada ada fadilah yang
gua nggak tau: mandi selalu mepet maghrib.
Tapi ini bukan
soal mandi!
Sehabis
bercapek-capek bolak-balik dalam kayuh gerak gerah onthel balap sedari ashar
sampai selesainya urusan, gua pulang di waktu petang dan bukan berarti tanda
istirahat: badan dan pikir. Masih ada beberapa hal yang harus diurus saat itu
dan harus selesai saat itu juga. Seperti checking kesiapan acara dan kebutuhan
moderator, contohnya. Tentu butuh beberapa batang rokok dan segelas kopi. Tentu
kopi susu!
Di tengah hal
yang gua malas buat ngejelasin lebih, tiba-tiba datanglah seorang pemuda tegap
di ruang lemari-lemari pojok ujung teras: bestcamp kami.
“Ngapain,
Bang?”
Sekedar dan
cukup untuk menimpali pertanyaannya itu, “ngopi?!” tawar gua tanpa sempat
memandang mukanya, masih fokus pada sesuatu yang disibukkan. Gua menawari kopi
pada gelas yang masih menguap asap. Meskipun rokok menguap berasap, tapi nggak
untuk itu. Selain rokok gua minim, juga karena ia yang bukan perokok. Atau
mungkin belum.
Lalu ia membuka
buku filsafat islam selepas kebisuan yang berkepanjangan, atas kesibukkan yang
nggak bisa gua alihkan.
Dan,
Jederrrr!
Udah gua tebak,
pasti tiba-tiba ia akan nyambung dan nyerocos akan bacaannya, terutama mengenai
buku dan bahas filsafat yang ia ada antusias. Bukan apa-apa, pasti gua yang
terseret dan kena dampak akan hal ini: tanya-tanya, entah ngetes atau memang
mencari pemantapan dari yang ia paham.
Tapi jujur,
mood gua aman-aman aja saat itu. Ya, saat itu: tumben. Cuma, pengennya gua
untuk sekedar ngelurusin pegal kaki dan menyelesaikan tanggungan kepanitiaan
ini, lalu cepat-cepat untuk ngerokok dan ngopi. Untungnya ia nyerocos pada saat
yang tepat: pada saat sesi ngerokok dan ngopi. Tepat, dengan faktanya bahwa
laki-laki sulit multi talent dan memiliki daya fokus bercabang yang 30% lebih
rendah dibanding perempuan: bahasa ilmiahnya gua lupa.
Bagaimana gua dilempar,
diserang, dan ditindih bertubi-tubi oleh pemikiran konsep rumus filsafat yang
ia pahami ala kadar, sesampai otaknya. Entah, cukup lucu aja lihat dan dengar
filsafatnya maba yang masih terobsesi ospek. Bukan maksud merendahkan dan gua
merasa lebih, cuma, lihat pd dan ngototnya ia, udah cukup bikn kesan lucu.
Meski tetap gua apresiasi untuk semangat belajarnya.
Modelan orang
seperti ini bisa mudah dikenali dengan terbiasanya ia menggunakan kosa kata
rasionalisme, idealisme, empirisme, kapitalisme, komunisme, dan isme-isme
lainnya. Itu-itu aja.
Di tengah
pemaparan teori filsafat yang ia refleksikan dengan pemahamannya, terpaksa, gua
memotong ucapannya.
“Menurut lu,
filsafat itu apa?”
Lagi-lagi,
dengan terpaksa yang lain, gua harus menimpali membahas filsafat di waktu
hampir maghrib. Ya, filsafat dan hampir maghrib! Jangan tanya soal mandi.
Terlihat, ia
sedikit terdiam. Bola matanya berputar yang menandakan bahwa ia berpikir keras
dan mencoba merangkai kata untuk mewakili pemahamannya. Nggak jauh beda, ia
memahami filsafat dengan ilmu berpikir.
“Terus, apakah
filsafat beda dengan ilmu yang lainnya?” Tanya gua, lagi, di saat pertanyaan
pertama belum selesai dibahas.
“Sama lah!”
“Samanya?”
“Karena semua
ilmu itu diliputi filsafat. Semua ilmu itu butuh mikir.”
“Lah, kalau
filsafat itu ilmu pikiran dan semua ilmu pasti mikir, berarti semua ilmu itu
adalah filsafat. Tapi kan kenyataannya tetap dibedakan. Ada pengklasifikasian.
Terus adanya matkul filsafat, matematika, ipa, ilmu hadits, supervisi,
psikologi, kan masing-masing dibedakan dengan nama yang beda. Berarti
seharusnya filsafat dan ilmu lain itu beda?!”
Ia terdiam.
Mencari jawaban atau mungkin sangkalan. Meski sepertinya ia setuju.
“Dan kalau
emang filsafat dan ilmu lainnya itu disamakan, seharusnya ilmu lain menjadi
bagian dari filsafat. Ilmu lain seharusnya dijadikan sub ilmu dari filsafat.
Seperti psikologi, ada yang namanya psikologi kognitif, psikologi perkembangan,
psikologi pendidikan, psikologi sosial. Sedangkan filsafat? Seharusnya ada
filsafat matematika, filsafat ipa, filsafat ilmu hadits, dan lainnya.”
Ia kembali terdiam.
“Jadi antara
filsafat dan ilmu lain itu sama atau beda? Kalau sama, filsafat yang mencakup
ilmu lain atau ilmu lain yang mencakup filsafat?”
Udah
dipastikan, ia masih diam. Meskipun di menit selanjutnya ia berontak dengan
argumen yang nggak memahamkan dan menandakan ia memang belum benar-benar paham:
atas apa yang ia pikirkan, berdampak pada yang ia ucapkan.
Akhirnya,
“Emang menurut
sampean, filsafat itu apa, Bang?”
Haha.
Sejujurnya, gua
nggak begitu kenal filsafat. Sejujurnya, ya sama aja: berawal dari ospek.
Meskipun bisa bilang kenal dan pd itu pada semester 3 yang emang dijadikan
matkul, baru di semester 3. Di luar itu, gua hanya sesekali nonton vidionya Gus
Ulil dan Dr. Fahruddin Faiz di youtube. Juga tentang buku retorika Aristoteles,
satu-satunya buku yang gua punya dan belum selesai gua baca. Entah nanti: punya
dan baca. Tentu untuk paham yang teringinkan.
Dengan ia
bertanya seperti itu, gua jawab sepaham gua.
“Menurut gua,
filsafat itu sub ilmu yang mempelajari tentang kerangka berpikir. Dengan
kenyataannya semua ilmu itu membutuhkan pikiran dan mikir, menurut gua filsafat
dan ilmu lainnya itu berbeda.”
Ia terlihat
menyimak.
“Bedanya tuh di
sini. Ketika ada seorang awam, pelajar itu belum mempelajari ilmu, diartikan ia
berada di tingkat satu. Lalu ia membutuhkan filsafat di tingkat dua. Itu kenapa
filsafat kata-katanya adalah kerangka berpikir. Jadi, kita baru membuat
kerangka, proses, dan menyusun pikiran yang baik dan benar di filsafat. Tentu
dengan step dan porsinya. Ketika proses menyusun kerangka pikiran itu udah
jadi, maka pikiran itu kita bawa ke tingkat tiga yang diisi ilmu-ilmu yang
lain. Kita bisa dengan benar dan siap untuk memahami ilmu-ilmu dengan pikiran
yang udah baik dan benar, yang udah kita susun dengan filsafat saat di tingkat
dua.”
“Terus, apa
filsafat nggak lebih penting dibanding ilmu yang lain hanya karena filsafat
diletakan di tingkat kedua dan ilmu lain di tingkat ketiga? Lah terus, balik
lagi, filsafat kan ilmu pikir dan ilmu lain kan juga butuh pikiran dan mikir,
berarti filsafat dan ilmu lain sama?” Lanjut gua di ujung pembahasan.
Ia sepertinya
lebih memilih diam, untuk kali ini. Atau sedang mencari celah untuk bisa
menyangkal.
“Seperti yang
kita tau di kampus, filsafat itu induk seluruh ilmu. Tapi di sisi lain, as-shorfu
ummul ulumi wa nahwu abuha, shorof itu ibunya ilmu dan nahwu bapaknya,
dengan Nabi pun yang malah di awal dakwahnya lebih mendahulukan teologi sebagai
bahan ajarnya. Berarti mana yang lebih penting? Semua penting di perannya
masing-masing! Tentu semua ilmu itu penting. Bukan hanya sesempit filsafat
diletakan tingkat dua malah menjadikannya rendah dan diartikan kalah penting
dari yang lain. Malah filsafat itu terlihat sisi pentingnya karena berada di
step awal. Sebagaimana SD dan SMP atau SMA. Bukan hanya karena SD di tingkat
dasar menandakan nggak lebih penting dari SMP atau SMA. Malah SD terlihat lebih
penting karena menjadi titik utama yang mempelajari baca, tulis, dan hitung
yang berkembang lalu menjadi bekal untuk jenjang berikutnya. Filsafat pun
begitu, mengolah dan membentuk pikiran kita agar siap dijadikan bekal
menghadapi dan memahami ilmu-ilmu yang lain.”
“Untuk
penjelasan filsafat dan ilmu lain yang kelihatan sama karena memiliki korelasi
pikir, di filsafat itu proses dan hasil proses itu dibawa untuk ilmu lain. Dan
perlu lu tau, bahwa pikir dan ilmu itu berbeda. Ilmu itu ibarat bahan masakan,
filsafat itu mesin. Jika dalam proses bahan dan mesin itu menghasilkan roti,
maka bisa dengan mudah untuk kemasan plastik, kotakan, atau apapun dalam
penyelesaian marketing untuk peran yang lebih luas. Bedain sub ilmu dan
pikiran. Sub ilmu itu mesin, pikiran adalah olahan: bahan untuk produk.”
“Gimana?” Akhir
gua di gelap langit yang kesekian.
Malahnya
kelihatan begitu bingung. Entah bingung karena nggak nangkap omongan gua atau
ia nangkap tapi nggak ada serangan balik atau setidaknya pembelaan. Padahal gua
juga nggak ada apa-apa soal ini. Dan ketika menyadari bahwasanya obrolan 2
orang awam tanpa adanya pakar, jadi terkesan omong kosong dan sia-sia. Meskipun
gua tau, nggak ada kesia-siaan dalam kebaikan. Apalagi dalam usaha belajar
dengan berdiskusi. Walau nggak ada yang berhak memutuskan dan memastikan, apa
salahnya kita memiliki dan berpandangan?
“Ntar dulu, gua
masih belum terima, Bang!”
Kalau udah
begini, fix, berarti nih orang belum tau etika diskusi. Dalam berdiskusi atau
dengan bahasa debat untuk bertukar gagasan, sikap saling menghargai harus
diutamakan dibanding statement gagasan pribadi. Diskusi dan debat itu bukan
untuk menang dan menjatuhkan, tapi untuk penyelesaian dan sepakat. Bukankah hal
itu udah tergambar jelas dari Abu Hanifah, Sang Argumentator logisme dan
anaknya dalam cerita yang mahsyur dalam pijakan etika diskusi?
Baca sendiri
dan gua nggak mau cerita soal itu!
Langit semakin
gelap.
Badan semakin
gerah.
Ngantri mandi
semakin panjang.
Gua semakin
senang menulis.
“Ini jadi mandi
atau gimana?”
Komentar
Posting Komentar