Pintu

Bagi sebagian orang, malam minggu memiliki kesannya tersendiri. Penuh dramatis.

Hingga, begitunya dengan malam minggu kali ini.

Sering termaknai secara mutlak, malam minggu pasti bernuansa ngeri. Ngeri-ngeri sedap. Bagi santri, terutama santri pondok ini: full mustahiq untuk permadrasah diniyahan dan tamrin. Siswa nggak boleh gentar!

Apalagi untuk resolusi sukses nyewu seangkatan, membuat orang-orang ini menjadi korban dari pelampiasan macam-macam strategi sistem pembelajaran: termasuk konsekuensi dan hukuman. Pikiran, lalaran, dan hafalan-hafalan. Nggak boleh kendor!

Setelah lihat hasil dan kembali bongkar pasang, sampainya pada strategi sistem pembelajaran yang kesekian dengan diperkelompokkan dan harus hadap setoran 1002 bait itu. Meski tetap disimak diloncat diacak, nah itu!

Hingga, dari 7 orang yang namanya sekitaran abjad A, diputuskan masuk kelompok satu dan kebagian jadwal setoran di malam minggu, malam ini. Siap nggak siap, langsung hadap!

Karena tentu harus hadap setoran satu-satu dan bergantian bergiliran, gua berniat akhiran dan iseng-iseng ngeroisi bulughul marom yang roisnya perlu dipertanyakan pertanggung jawabannya. Padahal hari ini tamrin!

“Tamrin itu, apa?” Tanya orang, mungkin, awam.

Tamrin itu ulangan.

Bukan apa-apa, maju ngeroisin di depan itu gua niatin sekalian belajar yang emang kebetulan gua belum belajar sama sekali buat tamrin kali ini.

Maju, buka kitab, baca, jelasin, tanya jawab. Beberapa hadits mengenai i’tikaf, menghidupi bulan Ramadhan, dan bab haji dibahas bersama. Hingga, saat otak dan mulut sudah panas karena peroisan, belum selesai untuk panas otak dan mulut selanjutnya. Saat melihat antrian hadap setoran sudah sepi: pertanda yang lain sudah pada setoran dan tinggal gua yang belum.

Pas peroisan gua tutup dan bersiap simpuh hadap setoran, menyerahkan nazhom, menunduk.

“Neng jero, nulise wis mari tah?” Tanya beliau akan soal tamrin yang sudah selesai ditulis atau belum: di papan, oleh katib.

“Sampun, Pak.” Jawab gua, masih pada tunduk.

Belum sampai ada bunyi yang terdengar, menyetorkan satu bait nazhom pun, malahan beliau yang bersiap.

“Yo wes, mlebu sek!”

Setoran nggak jadi, entah ditunda atau libur.

Bawaannya senang nggak senang: bingung.

Meski begitu, tetap gua usahain salam cium tangan beliau di sebelum masuk kelas dan tamrin. Berkah-berkah!

Saat seluruh siswa berpeci dan berbaju putih itu terihat siap pada tempat duduknya masing-masing, tamrin itu nggak dimulai-mulai oleh beliau.

Hingga, jederrr!

Kami semua menunduk nggak berani mengangkat wajah sedikit pun. Penuh sunyi, sepi, hening. Dengan nada yang sedikit ghodob, beliau mengeluhkan tentang kondisi hafalan nazhom yang memprihatinkan dan waktu festival yang tinggal mengitung minggu. Dari sekian orang-orang yang dimaksud beliau dalam keluh prihatinnya, setidaknya mereka yang kelompok pertama: kecuali gua yang emang belum sampai disimak. Bukan karena pd lancar dan aman-aman aja, untungnya ketolong karena belum sempat disimak setoran, kalau semisal jadipun, entah, bisa tambah ghodob beliau jika semisal sampai blentang-blentongnya setoran gua.

Selain itu, beliau juga membahas tentang keaktifan, terutama bagi mereka siswa nduduk. Terakhir, beliau menegaskan terkait pentingnya sowan dan keterbukaan pada guru, termasuk mustahiq.

“Awakmu lek enek opo-opo, ngomongo! Sowano! Mbuh yo iku perkoro elek, koyo masalah ekonomi keluarga. Atau perkoro apik koyok awakmu arep nikah sekalipun, rak popo ngomongo! Sowano! Nggak bakal tak seneni, nggak mungkin tak antemi.”

“Awakmu iki wis gede-gede kabeh. Wis podo dewasa. Mbok yo mikir! Tujuanmu neng kene arep nyapo? Tugas-tugasmu yo ditanggung jawabi. Termasuk nyewu iki. Kudune awakmu isin! Wis gede masih dibiayai, masih jaluk duit karo wong tuwo. Kudune awakmu isin! Saiki masih goblok dibanding kancamu. Mikiro!”

Suasana tetap hening, tapi kini lebih senyap.

Lalu, beliau melanjutkan dengan bercerita bagaimana perjuangan beliau ketika mondok: setelah lulus MA, bingung akan kuliah atau induk, keluarga, sowan dzuriyah, sempat nge-kost, hingga menjadi santri ndalem pernah beliau lewati.

Hingga, nggak heran kalau beliau bisa hebat dengan kenyataannya lulusan madin di pondok ini, lulusan Ma’had Aly Lirboyo, tamat S2, Mustahiq Aliyah, ustadz senior di Madrasah Qiroatil Qur’an. Itu semua nggak mudah! Apalagi juga dengan kenyataannya beliau diambil menantu oleh salah seorang kiai di Palembang sana untuk dijodohkan dengan putrinya: seorang ning yang telah selesai hafalan Qur’an 30 juz-nya. Masya Allah!

Setelah mengeluarkan unek-unek dan nasihat panjang, akhirnya tamrin bisa dimulai.

“Rois tafsir, sopo?” Tanya beliau, kemudian.

“Ahbat, Pak!” Jawab yang lain.

“Artien kabeh soal iki!”

Dengan kenyataan memang gua adalah rois tafsir, tapi ini pelajaran bulughul marom: hadits. Bukan jalalain. Sedangkan rois hadits adalah Farhan dan seharusnya memang rois pelajaran yang mengartikan soal. Mau nggak mau, dengan tanpa berprasangka beliau salah nanya dan hal buruk lainnya, gua nurut aja untuk mengartikan 10 soal tamrin berbahasa arab tekstual kitab di papan putih besar.

Alhamdulillahnya, berkat iseng-iseng maju ngeroisin di depan tadi, soal-soal itu adalah hadits-hadits yang dibahas. Jadi gua cukup lancar dan pd, nggak begitu plongo karena cukup paham. Setidaknya bisa menghindari tambah ghodob beliau semisal gua nggak ngerosin nggak belajar, lalu ha’eu-ha’eu!

Akhirnya, gua jelasin: di hadapan beliau dan orang sekelas.

Tamrin dimulai.

Tulisan ditutup.

Harap tenang sedang ada ujian!

*ulangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar