Pecel
Akhir-akhir ini, entah, gua jadi susah tidur malam. Mungkin karena selalu ada hal yang dilakukan sampai jam malam dan membuat siklus tidur berpindah, hingga harus menemukan diri dan menerima bahwa gua harus terbiasa dengan malam. Membuat malam, tampak biasa: teman. Setiap malam jadi nggak ada ngantuk-ngantuknya.
Meski gua tau,
waktu malam adalah waktu istirahat. Gua rasa, semua orang setuju. Di sisi lain,
semua orang pun setuju bahwa waktu malam selalu memberikan rasa tenang dan
tentram. Gua nyaman dan mencoba cari sisi baiknya aja dalam aktivitas di waktu
malam. Mungkin bisa jadi solusi bagi orang yang nggak begitu suka keramaian,
seenggaknya untuk di suatu tempat bernama pondok pesantren.
Selain
menjadikan huruf-huruf sebagai bagian diri, hal itu sudah menjadi konsekuensi
dengan kenyataan bahwa teman yang lain sudah tertidur dan yang segelintir
tersisa, sibuk dengan kerjaan perduniawiannya yang menuntut dikerjakan cepat
dan selesai.
Hingga, bukan
hanya soal kata, jari jemari, dan indra penglihat yang mengakomodir waktu
malam, nggak menutup kemungkinan juga ada celah kesempatan dan sekelibat
dorongan agar lidah pengecap juga ambil andil dan berperan dalam menghidupi
malam: sarapan.
Sejujurnya, gua
bukan tipe orang yang suka dan terbiasa makan di pagi hari. Mau dikatakan
malam, jam 03.00 sudah terlalu larut, di sisi lain terlalu dini untuk dikatakan
pagi. Tapi nyatanya, nggak begitu dipermasalahkan. Dorongan sarapan yang
mengambil waktu netral itu jelas-jelas sebuah bentuk penawaran alam sadar dan
sesekali gua turuti.
Dan terbukti
dengan tidurnya seluruh penghuni kamar dan datangnya dorongan itu, akhirnya gua
berjalan arah kanan-kanan-kiri-lurus-kanan-sampai. Nggak begitu capek, hanya
cukup berjalan kaki. Kabut, temaram lampu, dan udara dingin malam itu mampu untuk
memberikan pilihan berat meski hanya sekedar terbesit melek, hingga tibanya di warung
nasi pinggir jalan timur pondok yang masih cukup sepi. Meski tetap terlihat
beberapa orang yang telah lebih dulu singgah dan kunyah: segelintir.
Gua pesan, lalu
memilih tempat duduk yang sekiranya nyaman untuk makan dan sendiri. Saat
seperti itu, tentu banyak yang bisa diambil untuk bahan ajar bersikap: soal
komposisi bumbu, emak warung, cara berpakaian santri lain, dan tentunya untuk
cara mereka beretorika dan berdialektika.
Buat hal
obrolan, sama sekali, nggak ada kepedulian atau sekedar ingin nguping
obrolan-obrolan mereka yang biasanya datang makan dengan gerombolan
masing-masing. Sangat jarang kiranya mereka yang memilih datang makan
sendirian, kecuali gua. Seperti gerombolan orang samping kanan, meja sebelah.
Gua yang tetap fokus makan dengan sesekali lihat jalan, nggak bisa dipungkiri
akan obrolan yang menyeruak dan telinga gua yang terbuka: spontan, mau nggak
mau terdengar. Masa iya gua makan sambil tutup telinga? Segitunya?
Meski udah gua
coba alihkan fokus ke hal lain, tapi tinggi rendah intonasi obrolan kadang bisa
mempengaruhi tinggi rendah fokus. Salah satu dari satu-satunya obrolan mereka
yang jelas ketangkap fokus gua adalah, “di pondokku dulu begitu. Kalau ada guru
pasti nunduk. Aslinya, awal-awal aku bingung kenapa harus nunduk. Ternyata aku
tau di kemudian, bahwa beliau-beliau itu bisa tau diri dalam kita hanya lewat
tatapan mata. Makanya kita menunduk, menghindari kontak mata, untuk tujuan
menutupi keburukan diri dan besit beliau.” Ucap seseorang pada seseorang
lainnya yang udah gua translate dari bahasa jawa yang kira-kira artinya begitu.
Ucapan yang
sudah terlanjur kena fokus dan masuk ke telinga, nggak semerta-merta gua tolak
dan nafikan. Ucapan itu coba gua cerna dan beropini meski hanya gua simpan
sendiri.
“Gua setuju.
Nggak ada yang salah, apa lagi pondok yang dimaksud adalah pondok-pondok salaf
daerah Jawa Timur yang kulturnya seperti itu dan sangat berbeda dengan
pondok-pondok Jawa Barat yang malah berkultur salaman dengan guru. Dua-duanya
punya tendensi, dua-duanya punya sisi baik ta’zhim. Tentu segala hal harus
dilihat maslahat mursalah yang justru jika harus dipaksakan seperti bersalaman
dengan dalih barokah di pondok yang santrinya puluhan ribu ini bukannya malah
mengganggu beliau? Menimbulkan ketidak kondusifan dan kisruh yang jatuhnya
malah jadi mudhorot? Kan repot!” Celetuk otak gua beropini, di tengah suapan
dan kunyahan entah yang keberapa.
Di saat
membiarkan pikiran mengalir, malah menjangkau ke mana-mana. Tiba-tiba aja gua
jadi ingat Habib Abdullah bin Shihab, Ainu Tarim. Berangkat dari hadits
Nabi Saw:
إتقوا فراسة المؤمن
فأنه ينظر بنورالله
“Waspadailah firasat
seorang mu’min karena ia dapat melihat dengan cahaya Allah.”
Dikisahkan, dulu ada seorang pemuda hendak bertamu ke rumah Amirul
Mu’minin Sayyidina Utsman bin Affan RA. di tengah jalan ia bertemu dengan
seorang gadis cantik. Karena kagum dengan kecantikannya, ia tatap gadis itu
lama-lama.
Sesampainya di rumah Sayyidina Utsman, beliau mengatakan pada pemuda
itu, “Aku melihat ada bekas-bekas zina di matamu!”
Sontak pemuda itu kaget, ia ingat bahwa ia baru saja menikmati keindahan
wajah seorang gadis. Ia bertanya, “ Wahai Amirul Mu’minin, masih adakah wahyu
setelah wafatnya Rasulullah Saw?”
“Tidak ada, tapi ini adalah sebuah firasat yang benar.”
“Waspadailah firasat seorang mu’min,” sabda Rasul Saw. “Karena ia dapat
melihat dengan cahaya Allah.”
**
Maka sesekali kita pernah menemui seseorang yang tatapan matanya berarti
lain, atau setidaknya seolah tatapan mata itu menembus mata kita dan menggali
semua hal tentang diri kita. Seperti yang kita tau bahwasanya ada dari golongan
ulama yang memiliki kemampuan mukasyafah atau dibukakan segala hal yang
tertutup.
Dan gua mempunyai pengalaman soal ini!
Dari sekian hal yang pernah dialami, rasanya gua pengen cerita satu aja:
yang satu ini!
Sewaktu masa putih abu, dari sekian kelas-kelas jurusan Agama kelas 11,
kelas gua diakui dan distatuskan sebagai kelas unggulan, dibanding kelas lain,
dengan beberapa aspek penilaian yang nggak bisa dijelaskan.
Konsekuensi menjadi siswa yang hidup dan bagian dari kelas unggulan,
tentu ada beberapa hal yang membedakan. Selain soal mata pelajaran dan sistem
pengajaran, yang menjadi poin penting adalah perihal ketenaga kerjaan pengajar.
Kelas unggulan membuka kesempatan besar untuk diisi dan diajar oleh guru yang
berkompeten, nggak menutup kemungkinan juga akan diisi dan diajar oleh beliau,
para dzuriyyah.
Tanpa disangka, di kelas XI Agama 3, untuk mata pelajaran Ilmu Tafsir
akan diisi dan diajar oleh Habib Muhammad bin Abu Bakar Al-Habsyi: suami dari
Ning Ochi, dzuriyyah pondok ini dan tentunya dzuriyyah Nabi Saw. Waaah!
Dalam hal ini, jujur, tetap enak nggak enak. Enaknya, pasti akan
mendapat sensasi belajar yang lain dari hal yang diajar oleh beliau dengan
tanpa diragukan lagi keilmuannya. Beliau, lulusan Al-Ahgaff, Yaman. Dan tafsir
adalah makanan sehari-hari bagi beliau.
Untuk tidak enaknya, belajar sedikit sulit untuk menemukan rileks dan
santai seperti biasanya. Terkesan lebih kaku dan segala hal sekat yang meliputi
dalam status santri dan dzuriyyah. Setidaknya, hal itu yang kami rasakan.
Seperti biasa, di pelajaran beliau, terlebih dahulu dianjurkan berwudhu
bagi yang nggak punya wudhu dan mereka yang mengantuk. Baru pelajaran bisa
dimulai. Gua waktu itu masih ingat banget, bagaimana beliau menjelaskan
mengenai tentang hadits shohih, hasan, dan dhoif. Semua diruntut dan penuh
jelas. Hal itu terlihat, bukan hanya dari gua pribadi, yang lain pun kiranya mengangguk
penuh paham.
Saat selesai menjelaskan mengenai hadits shohih, beliau membuka
pertanyaan. Tentu dari kami semua senyap. Mungkin ada yang sudah paham, mungkin
juga ada yang belum paham tapi malu bertanya, atau ada juga yang rasanya sudah
lapar plus ngantuk plus pengen buru-buru pulang.
Sejujurnya, ada suatu hal yang begitu mengganjal di benak, begitu
bingungnya gua akan suatu pembahasan mengenai hadits dhoif. Gua pengen
bertanya, tapi sungguh, benar-benar malu dan sungkan. Akhirnya gua hanya bisa
menunduk, menghadap buku tulis di meja: tanpa sekali memandang wajah beliau di
sesi pertanyaan seperti itu.
Tiba-tiba, “Kamu, siapa itu? Mau tanya apa?”
Sontak semua orang pun terbangun dan terambil perhatiannya, ingin tau
siapa orang yang beliau maksud. Begitu pun gua, akhirnya wajah gua angkat.
Betapa kagetnya, bahwa ternyata yang beliau maksud adalah gua, lengkap
dengan tunjuk jari dan tatapan langsung ke gua: wajah yang menanti.
Sontak gua kaget, “kok beliau bisa tau? Padahal sedari tadi gua hanya
nunduk aja, nggak berani mengangkat wajah, apalagi menatap.” Akhirnya, mau
nggak mau gua mengakui dalam diri bahwa gua ingin bertanya.
Dengan penuh kikuk, terbata-bata, pertanyaan mengganjal mengenai hadits
dhoif itu gua tanyakan. Semua mata tertuju ke gua.
Beliau malah tersenyum.
Gua malah ketar-ketir.
“Hadits dhoif? Hei, sabarlah! Kan kita baru membahas hadits shohih.”
Ucap beliau dengan nada Sulawesi yang khas.
Selepas itu, kelas dipenuhi oleh senyum. Meski juga ada beberapa gelak,
meski juga hanya tertahan di hati.
Waaah! Antara malu dan senang, jadi bingung jelasinnya!
**
Tapi, sebetulnya ada kejadian yang lebih ‘wah’ lagi.
Tepatnya, saat beliau baru masuk kelas banget, berjalan menuju meja
guru, tepat di tengah kelas, langkah beliau berhenti.
“Kok kelasnya panas, ya? Sepertinya ada yang jarang sholat. Diperhatikan
sholatnya, ya?!”
Jederrr!
Terbukti, betapa mengerikannya firasat seorang mukmin. Terutama mukmin
yang sholeh, ahli ilmu, menantu kiai, dan ahlu bait Nabi Saw.
Al-Habib Muhammad bin Abu Bakar Al-Habsyi, Alfatihah...
Komentar
Posting Komentar