Gerimis

Nggak ada kata gagal dari usaha hujan dalam membahagiakan: rintik, basah, segar, kenang, dan senang-senang.

Nyatanya, hari itu, sore, hanya gerimis.

“Lu udah mandi, Peng?” Tanya gua pada Apeng yang handukan, sedang ngosrak-ngasrik kotakan sabun di rak.

“Belum, Bang. Ini mau mandi.”

“Hujan-hujanan, yok?!”

Ia nggak langsung menjawab. Hanya sedikit rekah senyum, hingga akhirnya mengiyakan. Rekah senyum gua, menyusul kala itu.

Nggak ada maksud apa-apa, akhir-akhir ini hujan nggak menentu. Banyak yang salah tebak, apa saja yang diperkirakan: terutama mereka, Sang Pemerhati jemuran. Ditambah gua belum mandi dan ada teman buat mandi hujan, gua nggak memperdulikan status diri dan tanggapan orang lain. Satu yang perlu lu tau: gua hanya suka hujan.

Di sore yang semakin gelap karena geser waktu dan kemendung awan, gua sama Apeng membulatkan niat dan omongan untuk mandi hujan di latar keran, tempat biasa orang nyuci, samping kamar mandi, berteman pohon kelengkeng, langsung beratap angkasa. Meski sama-sama koloran, gua memilih tetap kaosan. Dan Apeng, ya begitulah.

“Hujannya kurang deras, Bang!”

“Iya, nih. Ntar dulu, coba gua panggil. ‘Ya Allah, hujannya kurang gede, kurang badai. Kasih deras Ya Allah, biar main hujan-hujanannya seru!’” Ucap gua cukup keras di antara suara rintik gerimis yang menghantam apapun, dengan bernada bercanda.

Nggak lama,

“Gluduk!”

Tiba-tiba langitnya bunyi, pasti petir. Dan di menit kemudian, hujan makin deras dengan ditandai suara rintik yang semakin nyaring terdengar, semakin keras menghantam apapun. Meski awalnya gua shock nggak percaya, kayak di sinetron, tapi emang itu kenyataannya.

“Wah, dikabulin, Peng! Manjur juga, haha.”   

“Iya, Bang. Bisa nih buat pelarian akhir bulan minta do’a lancar rezeki.” Timpal Apeng yang disambut tawa kami.

Meski begitu, 2 orang yang katanya dan mengaku sudah mahasiswa itu, nyatanya nggak ubah seperti anak kecil yang dibelikan es krim: begitu girang. Nggak ada sedikit rasa malu sedikitpun pada orang yang sengaja melihat ataupun yang nggak sengaja, seperti mereka yang berniat ke kamar mandi. Ada yang bingung, ada yang ketawa sambil geleng-geleng. Gua dan Apeng fokus shampoan sabunan, membusa di tengah hujan dan rintik.

Meski Apeng begitu, nggak kenal dingin, malah berniat sekalian nyuci. Gua iya-iya aja, melanjut  rintik hujan, ke keran air, ataupun pada klocoran air terjun dari deras pipa paralon berdiameter 5 cm. Apeng malah ambil buntelan baju dan sepatu, lalu bergosrak-gosrak menyikat.

Dalam keadaan seperti itu, nggak ada sesuatu yang berarti. Bagaimana lagi, nggak ada yang namanya cobaan bagi orang yang jatuh cinta: adanya perjuangan. Begitupun perihal hujan, nggak ada yang namanya dingin, adanya segar. Jadi jangan heran jikalau kebal dingin. Apalagi untuk sesekali jingkrak-jingkrak kelewat excited senang. Sekali lagi, namanya juga orang senang, orang jatuh cinta. Apapun diperbolehkan dalam peluapan pengkespresian cintanya. Dan jalan pikir logis, kadang nggak berperan soal ini.

Hingga akhirnya, ingatan gua tertarik akan bayang di 5 tahun belakang: perihal hal indah, manis, dan romantis. Cukup bikin iri dan nggak akan terlupakan. Tentu, masih tentang hujan.

**

Entah kenapa, sudah menjadi tanggungan asrama bawah sebagai korban pemerataan, untuk jadi petugas konsumsi kamar: mengantar dan mengambil. Tentu yang jadi subjek adalah santri kasta terendah, sebagai orang baru dan bahan tumpah pelampiasan omongan “kita dulu juga begini, jangan manja”-nya senior. Yah, dijalanin aja. Coba dinikmatin. Coba memaksa dinikmatin. Namanya juga orang mondok!

Selain jum’at, rabu adalah jadwal gua sebagai petugas: gua dan Raden. Meski nggak sendirian, tapi khusus jum’at dan rabu udah punya standar operasional prosedurnya tersendiri: kalau gua antar, berarti Raden yang ngambil. Atau sebaliknya. Kebetulan karena waktu itu Raden yang antar, berarti gua yang ambil.

Yang jadi persoalan bukan hanya harus mengambil, mengangkat, dan membawa 1 bak nasi dan 1 bak lauk besar dari dapur ke kamar. Tapi, perihal waktu itu hujan turun dengan begitu deras. Tentu nggak ada yang dipermasalahkan antara hujan dan petugas, tapi bagaimana nasib perkulineran duniawi anak sekamar, nasi dan lauk, jika harus basah terguyur hujan? Tentu petugas yang disalahkan, bukan hujan!

Akhirnya Sang Petugas harus memutar otak untuk mencari strategi dan solusi atas persoalan itu. Mulai melangkah dari kamar, berjalan pada sempit teduh sisa-sisa teras bangunan, sedikit berpercik-percik hujan. Lalu, sampai juga di dapur yang telah dipenuhi orang-orang, petugas dari kamar lain.

Gua ambil 2 bak besar yang peran andilnya jauh lebih besar untuk umat, dengan penuh susah payah. Untuk strategi dan solusi, kardus menjawab tantangan itu, tantangan hujan. Bak-bak itu gua tutupi kardus yang terlembar.

Di setengah perjalanan dan sepenuhnya pegal tangan, gua berhenti tepat di saat orang-orang pun berhenti. Lalu mereka pada menunduk dan pasti ada sesuatu: beliau.

Dengan mata kepala sendiri dan penuh kejujuran, gua menyaksikan dan menceritakan dalam tulisan ini: bagaimana Habib Muhammad, Ning Ochi, dan putri kecilnya, sedang bermain hujan membelah jalan, tetap dengan rekah senyum di wajah beliau-beliau. Selain karena beliau itu dzuriyyah dengan segala sikap ketertutupan, beliau main hujan dengan tanpa alas kaki. Bagaimana Habib Muhammad menggendong putrinya di pundak, lalu Ning Ochi yang mengikuti dari belakang dengan berlari kecil. Rona-rona bahagia itu, hangat dalam dingin, nggak bisa dijelaskan dengan berpanjang kata. Gua mencuri pandang dalam tunduk, berusaha jadi saksi atas momen dan barokah-barokah yang terharap. Masya Allah untuk keluarga kecil dengan berkah yang besar itu!

**

Hal indah dan sangat berkesan itu mencoba kembali gua ingat dan memulai menulisnya di sini, saat ini!

“Bang, kalau dingin mah udahan aja, nggak apa-apa. Jangan malah bengong, ntar kesambet kan repot!”

“Apaan sih lu, Peng!”

Haha.

Now, for later.

In the frame.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar