Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2023

Ilalang

Untuk segala hal yang sumpek, perlu rasanya menyingkir untuk mencari rehat dan teduh. Memberi waktu untuk diri sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengan diri. Nazhom dengan segala ancaman yang mengintai bagi para penghafal, mereka yang kurang atau bahkan tidak sama sekali untuk bisa membandingi: penuh bayang-bayang. Rasanya madin 2 setengah jam itu seperti pertaruhan hidup. Kalah atau menang. Sengsara atau tenang. Begitu memaksakan dan menekan demi pertemuan hadap dengan mustahiq di setoran lancar 10 bait yang terengah-engah. Gua hanya nggak pengen ngeluh. Cuma mau nyore. Kembali nyore. Semoga bisa tetap nyore. Mencoba menaklukan bait-bait itu di bawah teduh payung pohon jambu batu yang mulai membesar, menghadap hampar sawah. Bawa jajan, es, dan rokok yang sekiranya dapat meredam jerit kerontang bibir. Memberi ruang. Menghirup nafas. Kadang, di waktu-waktu rehat itu, saat mulai menakluk dan mengantongi bait-bait yang melemah, banyak yang didapat. Tadabbur. Mencoba mengenal

Kado

“Selamat ulang tahun!” “Terima kasih.” * Ulang tahun adalah mengulang tahun kelahiran. Dengan begitu, sebisa mungkin atau bahkan harus, ulang tahun harus disertai dengan hal-hal yang membahagiakan. Sebahagia saat menyambut kelahiran itu sendiri. Seperti yang sudah-sudah, kita hanya mengenal ulang tahun sebagai perayaan suka cita, kado, ucap, juga senyum-senyum yang merekah. Kebanyakan, ya memang begitu. Jika sekalipun ada beda, pasti hanya tentang cara bahasa pengucapan, isi kado dan cara pemberian, juga tinggi rendah gelak ramai kebahagiaan. Sebenarnya apa sih esensi terpendam dan terdalam dari ulang tahun? Jika kita sebagai orang yang berada di posisi peraya dari orang yang ulang tahun, tentu sempit: hanya sebatas orang yang berusaha menciptakan dan mengiringi bahagia itu. Entah bahagia untuk orangnya atau juga harinya. Maka adanya ucap, kado, dan bentuk sikap yang berbeda itu hanya sebagai pendukung dan penyokong sisi ‘ikut bahagia’-nya si orang yang ulang tahun. Maka ak

Diogenes

Sungguh aneh orang itu, bergumam seseorang di hari yang banyak dan sering. Mungkin juga penat. Berusaha untuk tetap menaruh akal sehat dan prasangka baik di setiap sisi sudut tubuh orang itu. Entah benar atau tidak, di saat benar-benar tak kuat, berdongenglah ia pada suatu khalayak subjek yang objeknya belum sepenuhnya imajinatif. Tapi bagaimana, orientasi-komplikasi-resolusi-koda sudah mengalir dengan begitu nyata dan berani. Mulutnya berapi, ucapnya panas atau mungkin pedas. Menagih. “Apa yang kau paham?” Ucapnya menawarkan bumbu. “Menurutku ia adalah siluman bisu. Sebisu angka-angka jam, bangku taman, dan buku yang tergenggam. Mungkin juga ia adalah jelmaan lembar halaman terkhir dari buku itu.” “Oh, tidak.” Yang lain, untuk beberapa tabur. “Dalam pandanganku ia adalah penyair rombeng. Begitu aneh, berdiri, lalu menari dengan berisik, ‘jangan berduka. Apapun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam bentuk lain.’ ‘aku selamat melintasi semua lautan. Tapi aku tenggelam di ke

Kafilah

Serius, pengetahuan itu ada di mana-mana. Bisa didapat di mana-mana. Berserak. Dari kaku kata atau gerak, dari buku-buku atau pengalaman, semua mengandung pelajaran. Aslinya kita sadar, tetapi: mau atau nggak? Entah kenapa, gua yang anak nulis, bisa-bisanya malah dikasih job marketing. Dipaksa gabung cyrcle anak ekonomi, tukang dagang. “Gua kan literasi!” Batin gua kala itu. Tapi, nggak lama. “Lu kan paling bisa kalau ngomong, Bang! Cocok jadi sales.” Olehnya. Terjawab sendiri. Ya apa salahnya juga? Selama nggak ganggu nulis-nulis dan literasi, boleh lah sekali-kali explore marketing dan ekonomi. Anggap aja pengalaman, ambil pelajaran! Setelah persiapan dan perhitungan, briefing dan atur strategi, 5 orang berpeci bersarung bertumpuk-tumpuk kardus meluncur dengan mobil losbak terbuka. Nganjuk yang dituju. Ya, begitulah insting tukang dagang, lihat yang ramai dikit bawaannya pengen jualan. Acara haul pondok itu sepertinya menguntungkan. Bau-bau cuan! Sampai di waktu dzu

Boar

Apa yang begitu meresahkan dari tempat yang bernama pesantren? “Hei, rene sek!” Ucap orang berwajah bengis itu. “Kenapa, Pak?” “Pondok, ndi?” “Sampean kemanan tah?” “Lah kok awakmu balik tako?” “Lah emang nggak boleh, sampean aja nanya-nanya saya!” Dia diam. Plongo. “Iyo, aku kemanan! Nyapo?!” “Hm, keamanan mana?” “Awakmu kok ngenta’i?” “Salah saya apa, Pak? Saya cuma nanya! Emang kalau bukan keamanan, nggak boleh nanya?” “Aku keamanan induk.” “Siapa namanya?” “Wis lah! Awakmu ngenta’i aku tenan!” “Lah saya cuma nanya!” “Kok ngotot ngomongnya? Hah! Wani tah?!” “Siapa yang ngotot, Pak? sampean aja dari awal udah ngegas! Nggak nanya baik-baik? Lagian dari tadi apa salah saya?” Dia kembali diam. Planga-plongo. Akhirnya malah dalih spik-spik ngecek. Meriksa apapun. Kantong, gulungan sarung, sampai ke peci. Dan jawabannya sudah bisa dipastikan: nggak ditemukan apa-apa. Lagi capek-capeknya, emosi sudah di ubun-ubun. Tinggal nunggu meledaknya. “Awakm

Nektar

Di suatu sore yang tersambut senja kemerahan. Terasa begitu sepi sunyi, hanya ada alun ilalang dan kepak kicau parau burung untuk sesaat kembali pulang. Tapi entah dengan lalat itu, berusaha untuk tak menyerah di ujung hari, di detik yang kesekian. Sayapnya perlahan merebah untuk sesekali loncat, dari satu tempat ke tempat yang lain: tersambut, menjanjikan tenang dan senang. Ia terlihat begitu gusar tak nyaman. Seakan kantung dunia bergetar, jatuh, tumpah, dan mengisi kepalanya yang tak seberapa. Dipaksa muat di sana. Kenapa juga ia harus gusar dan tak nyaman? Bukankah teras meneduhkan? Bisa saja ia pada kolong bangku, rak sepatu, kardus koran bekas, plastik belanjaan, atau vas-vas terhias. Jangan tanyakan untuk bunga dengan kelopak yang merekah bermekar. Seakan menjadi pelangi yang menawarkan terang, lembut, dan manis-manis. Ia malah memilih tong sampah untuk tempat kembali, di akhir loncat, saat sayapnya benar-benar tak mampu tak daya. Lalat tau, bunga lebih indah dari tong

Bintang

“Kepalanya kenapa? Kok pada botak?” Malam itu terasa berbeda. Entah karena momen hari santri atau mungkin karena sorogan ‘ terpaksa ’ diliburkan, 4 anak itu malah lebih terasa berbeda. Terlihat lain. ”Habis digundul guyur, Bang!” ”Masa?” Mulut bocil-bocil itu langsung ramai. Mereka bercerita tentang 4 temannya yang mentuyul itu karena ketahuan keluar pondok tanpa izin, berniat ke Mak Tam. Gua ketawa-ketawa aja buat antusias pencerita dan ekspresi tokoh cerita. Terus kalau udah begini, apa lagi? ”Bang cerita, dong!” Udah bisa ditebak. Memang sih, di saat kayak gini, sorogan harus ditunjang dengan hal-hal pembangkit dan pendukung pembelajaran: strategi dan media pembelajaran. Gua memilih cerita untuk hal itu. Selain cerita mampu menarik antusias dan menanamkan nilai dari alur dan penokohan, cerita ini juga mampu menjadi alasan mereka untuk bisa semangat dan rajin berangkat sorogan tanpa harus memilih bolos untuk tidur di jam yang memang waktunya tidur. Mereka malah