Nektar

Di suatu sore yang tersambut senja kemerahan. Terasa begitu sepi sunyi, hanya ada alun ilalang dan kepak kicau parau burung untuk sesaat kembali pulang.

Tapi entah dengan lalat itu, berusaha untuk tak menyerah di ujung hari, di detik yang kesekian. Sayapnya perlahan merebah untuk sesekali loncat, dari satu tempat ke tempat yang lain: tersambut, menjanjikan tenang dan senang.

Ia terlihat begitu gusar tak nyaman. Seakan kantung dunia bergetar, jatuh, tumpah, dan mengisi kepalanya yang tak seberapa. Dipaksa muat di sana.

Kenapa juga ia harus gusar dan tak nyaman? Bukankah teras meneduhkan? Bisa saja ia pada kolong bangku, rak sepatu, kardus koran bekas, plastik belanjaan, atau vas-vas terhias. Jangan tanyakan untuk bunga dengan kelopak yang merekah bermekar. Seakan menjadi pelangi yang menawarkan terang, lembut, dan manis-manis.

Ia malah memilih tong sampah untuk tempat kembali, di akhir loncat, saat sayapnya benar-benar tak mampu tak daya.

Lalat tau, bunga lebih indah dari tong sampah. Tapi lalat sadar, bahwa yang ditunggu bunga adalah kupu-kupu.

“Semoga harimu menyenangkan, Bunga!”

Senja melarut, cahayanya semakin surut.

“Teruslah merekah!” Ucapnya sebelum akhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar