Ilalang

Untuk segala hal yang sumpek, perlu rasanya menyingkir untuk mencari rehat dan teduh. Memberi waktu untuk diri sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengan diri.

Nazhom dengan segala ancaman yang mengintai bagi para penghafal, mereka yang kurang atau bahkan tidak sama sekali untuk bisa membandingi: penuh bayang-bayang. Rasanya madin 2 setengah jam itu seperti pertaruhan hidup. Kalah atau menang. Sengsara atau tenang. Begitu memaksakan dan menekan demi pertemuan hadap dengan mustahiq di setoran lancar 10 bait yang terengah-engah. Gua hanya nggak pengen ngeluh.

Cuma mau nyore. Kembali nyore. Semoga bisa tetap nyore.

Mencoba menaklukan bait-bait itu di bawah teduh payung pohon jambu batu yang mulai membesar, menghadap hampar sawah. Bawa jajan, es, dan rokok yang sekiranya dapat meredam jerit kerontang bibir. Memberi ruang. Menghirup nafas.

Kadang, di waktu-waktu rehat itu, saat mulai menakluk dan mengantongi bait-bait yang melemah, banyak yang didapat.

Tadabbur.

Mencoba mengenali.

Tentang apa yang tercipta dari apa yang terinteraksi indra. Alam: langit, sawah, tanah, lumpur, alir air, hembus angin; juga makhluk sekalipun: burung, cacing, ilalang, ataupun kang-kang yang lagi ngarit itu.

Dengan jajan, es, rokok, dan apa yang terjadi itu: udah bikin senang. Alhamdulillah.

Emang yang namanya hukum, sebab pasti ada akibat, apalagi dalam konsep nikmat yang akan ditambah apabila ia bersyukur. Gua langsung ngerasain. Soal ini, gua langsung ditambah 2 senang susulan. Dan nggak disangka-sangka.

Pertama, namanya itu pohon jambu di pinggir sawah, juga di pinggir jalan. Penggambarannya, jalan itu diapit oleh sawah di sebelah kirinya dan kebun tebu di sebelah kanannya. Jalan yang cukup untuk lewat satu mobil elf.

Jadi jelas, kalau ada motor atau mobil lewat itu ketahuan, karena memang kedengaran suara mesinnya. Dan gua, nggak semua motor dan mobil yang lewat gua perhatiin. Nggak ada kerjaan banget. Lagian gua cuma mau hafalan. Lah tapi, di waktu rehat itu, gua sesekali nengok ke jalan saat ada suara motor lewat. Aslinya nggak ada maksud, cuma nggak sengaja nengok.  Dan lu tau siapa itu? Siapa yang naik motor? Beliau! Bapak mustahiiiiq rohimahullah ta’ala!

Dan kerennya lagi, pas gua nengok, beliau juga nengok. Gua sempat beradu pandang di sepersekian detik. Meskipun di detik berikutnya gua harus nunduk tanda ta’zhim murid pada gurunya. Seenggaknya memang seperti itu sepantasnya.

Gua nunduk, meskipun tetap senang, senyum, merasa uwuw, dan ngebayangin beliau ngebatin “Masya Allah murid gue, rajin banget!” (Bekasi, -red).

Untuk senang yang kedua, nggak lama selepas itu, setelah waktu rehat diperpanjang karena merasa cukup dan pd untuk setoran, terlihat 2 bocil laki-laki mendekat. Dari kejauhan, sisi jalan, mendekat ke gua dan belok ke sawah. Terjun, turun, 2 bocil itu turun ke sawah yang sudah mengering bekas dipanen. Mereka berhambur senang, merecoki kang-kang ngarit di sana. Gua cukup kenal mereka, meski nggak kenal nama: mereka putra Yai An’im. Bukan maksud nggak sopan atau apa karena sampai nggak kenal nama gus-nya. For your information, pondok sini tuh banyak unitnya dan setiap unit ada susunan dzuriyyah yang nggak kalah banyak, dari yang sepuh sampai yang masih anak-anak. Beliau-beliau itu tentu sangat minim interaksi dengan para santri. Apalagi santri antar unit lain. Tapi, minimal gua tau beliau, 2 cak-cak kecil itu, putranya Yai An’im.

Nggak tau kenapa cak-cak junior itu bisa sampai ke sini dan turun ke sawah. Kang-kang ndalem yang biasanya jaga juga nggak kelihatan. Akhirnya gua cuma bisa lihat dari bawah pohon jambu, tingkah lucu dan gemes cak-cak itu yang kayaknya begitu excited dengan sawah, sesuatu yang sangat jarang ditemui atau bisa sekedar lihat dan main di sana.

Dan kang-kang ngarit pun kayaknya juga ikut kaget kenapa tuh cak-cak bisa sampai ke situ. Akhirnya diikutin aja tuh cak-cak mau main mutar-mutar sawah, maunya apa.

Hingga, suara bentor terdengar mendekat. Benar diduga itu adalah bentor ndalem, tanda kang-kang bodyguard itu datang. Entah bagaimana ceritanya antara kang-kang ndalem dan cak-cak yang bisa sampai di sawah itu, akhirnya cak-cak itu dijemput pulang. Terlihat rona belum terpuaskan dari main di sawah, cak-cak itu malah lari menghindar. Malah jadi main kucing-kucingan.

Hebatnya, kang-kang punya cara lain. Susah mungkin untuk menangkap keduanya yang berlari menghindar menjauh. Kang-kang itu menangkap salah satu dan dibilang ”ayo kita naik, kita tinggal dia!” Seraya naik ke bentor. Melihat itu, sontak cak satunya yang awalnya sudah merasa aman karena berhasil bebas dari cengkraman, malah panik takut ditinggal. Berbalik, malah ia yang mengejar, berusaha nggak ditinggal. Gua nyengir aja.

Dengan itu, malah lapar.

Terus pulang.

Makasih.

Senang.

Alhamdulillah, alhamdulillah.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar