Kafilah
Serius, pengetahuan itu ada di mana-mana. Bisa didapat di mana-mana. Berserak. Dari kaku kata atau gerak, dari buku-buku atau pengalaman, semua mengandung pelajaran. Aslinya kita sadar, tetapi: mau atau nggak?
Entah kenapa, gua yang anak nulis, bisa-bisanya malah dikasih job
marketing. Dipaksa gabung cyrcle anak ekonomi, tukang dagang.
“Gua kan literasi!” Batin gua kala itu.
Tapi, nggak lama.
“Lu kan paling bisa kalau ngomong, Bang! Cocok jadi sales.” Olehnya.
Terjawab sendiri.
Ya apa salahnya juga? Selama nggak ganggu nulis-nulis dan literasi, boleh
lah sekali-kali explore marketing dan ekonomi. Anggap aja pengalaman, ambil
pelajaran!
Setelah persiapan dan perhitungan, briefing dan atur strategi, 5 orang
berpeci bersarung bertumpuk-tumpuk kardus meluncur dengan mobil losbak terbuka.
Nganjuk yang dituju.
Ya, begitulah insting tukang dagang, lihat yang ramai dikit bawaannya
pengen jualan. Acara haul pondok itu sepertinya menguntungkan. Bau-bau cuan!
Sampai di waktu dzuhur, benar-benar siap di waktu ashar, hingga selesainya
acara di tengah malam. Buku-buku dan produk kepesantrenan lainnya dirasa cukup
aman dan tanpa saingan yang berarti, yang kebanyakan adalah stand-stand
makanan.
Untung rugi soal biasa dalam marketing. Itu konsekuensi. Tetapi yang bisa
kita ambil, bagaimana persiapannya dan praktek. Tentu butuh perhitungan dan
cara-cara penyesuaian. Kedisiplinan, kerapihan dan kebersihan, tata letak, juga
keramahan pada pembeli atau pada tetangga sebelah, sesama pedagang. Itu
penting.
“Kalau semisal kita nggak dapat untung gimana, Kang?” Tanya gua pada Kang
Iwan, selaku yang dituakan di antara kami.
“Ya, nggak apa-apa. Bukannya itu konsekuensi? Gini bang, sebagaimana anak
kreatif yang ngeluarin biaya untuk pelatihan fotografi atau anak literasi yang
butuh anggaran untuk seminar kepenulisan, anak marketing pun sama. Anggap aja
biaya yang keluar sekarang sebagai mahar buat ilmu. Buat pelajaran dan
pengalaman yang biasa diambil. Yang penting kita udah ikhtiar.”
Sungguh, jawaban yang menenangkan.
Selain dari itu, dari hal semacam ini, juga nggak kalah penting: gua jadi
tau tentang sifat dan sikap pembeli yang berbeda. Tentu harus menghadapinya
dengan cara yang berbeda pula. Ada yang nanya-nanya doang tapi nggak beli. Ada
yang lihat-lihat, pegang-pegang doang tapi tetap nggak beli. Ada yang
kelihatannya pengen beli tapi nggak punya duit. Ada yang kelihatannya punya
duit tapi nggak pengen beli. Meski tetap ada orang-orang yang mau beli, meski
nawarnya setengah mati kayak emak-emak kerudung coklat itu.
Haha, namanya orang dagang, Bang!
Dari sekian pembeli, mungkin ini yang paling berkesan: bagaimana pembeli
lebih pintar dari penjual!
Di jam malam, beberapa saat mau tutup. Ada seorang bapak-bapak dengan badan
cukup gemuk, rada tinggi. Tentu sebagaimana pembeli, seharusnya memang ada yang
ingin ia beli. Ia mencari dan menanyakan buku tentang falakiyah.
Nggak lama, menjadi lama.
Tanpa diduga-duga, ia justru membahas tentang falakiyah, astronomi. Ya, di
saat injury time dagang seperti itu! Kantung mata yang sudah layu dipaksa,
ditarik kernyit dahi untuk menangkap kalimat-kalimat deras penuh teori.
Bagaimana ia menjelaskan astronomi dengan menyatir dalil-dalil Al-Qur’an
lengkap dengan tafsirnya. Dalil, teori, fenomena, dan hitung-hitungan itu ia
paparkan dengan begitu lancar, cukup cepat, yang walaupun semisal ia jelaskan
dengan perlahan pun belum tentu kita-kita paham.
Ia bahas spectrum bintang dan hitungan, fenomena ujung kutub yang akan
sholat dzuhur di waktu malam dan sholat tahajud di waktu siang, bentuk bumi
yang dapat berubah dan gunung yang bisa berjalan.
Jujur, bayang-bayang itu masih ada. Kuat. Tapi karena sedikit muatan
tangkap dan memang karena sulitnya tangkap, jadi benar-benar sulit untuk
dijelaskan di sini.
Gua dan yang lain hanya melongo terpukau. Nggak hanya itu, setelah 3 SKS
matkul tafsir astronomi, ia malah bergeser ke sejarah. Bagaimana ia menjelaskan
tentang peran ulama yang saling berkaitan, serta keturunan, dan penglogikaan
dakwahnya. Bagaimana ia menjelaskan tentang KH. Abdul Karim, KH. Hasyim
Asy’ari, Joko Tingkir, hingga Hamengkubuwono. Nggak hanya itu, bisa-bisanya
pembahasan nyangkut sampai ke Renaissance Yunani Kuno. Wah! Entah.
Menemukan orang ‘aneh’ dan kelewat cerdas seperti itu, selain mencoba
menimpali, cerca pertanyaan itu harus. Bahkan untuk hal-hal di luar konteks.
“Jenengan dosen?” Tanya gua kala itu.
“Nggak, cuma pernah jadi pengajar aja.”
Dengan segela husnudzon penuh bahwa beliau itu seorang dosen, entah kenapa
beliau begitu sulit jujur pada hal-hal terkait diri sendiri, pribadinya.
Hingga, gua memberanikan diri, pertanyaan inti.
“Supaya bisa cerdas kayak jenengan gimana, Pak?”
Dia tersenyum, sebelum menjawab, “hanya membaca. Banyak-banyak membaca!”
Lah, di menit kemudian, pembahasan beralih kembali ke hal-hal membaca,
menulis, dan apapun yang bikin gua senang. Seperti mengeluhkan tentang membaca
yang kerap kali sulit dipahami, sekalipun bisa paham, mudahnya untuk hilang di
kemudian. Wah! Nggak bisa berkata-kata gua soal ini.
Penuh syukur, banyak pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini. Hingga
akhirnya, beliau benar-benar pergi.
Di saat malam makin larut, stand menuju tutup, gua yang masih terpukau
terkagum terperangah, bertanya sama orang sebelah: orang yang juga bagian dari
mahasiswa kilat itu.
“Apa pendapat lu tentang bapak tadi?”
Di luar dugaan.
“Halah pintar doang, nggak beli!”
Komentar
Posting Komentar