Bintang

“Kepalanya kenapa? Kok pada botak?”

Malam itu terasa berbeda. Entah karena momen hari santri atau mungkin karena sorogan terpaksa diliburkan, 4 anak itu malah lebih terasa berbeda. Terlihat lain.

”Habis digundul guyur, Bang!”

”Masa?”

Mulut bocil-bocil itu langsung ramai. Mereka bercerita tentang 4 temannya yang mentuyul itu karena ketahuan keluar pondok tanpa izin, berniat ke Mak Tam.

Gua ketawa-ketawa aja buat antusias pencerita dan ekspresi tokoh cerita.

Terus kalau udah begini, apa lagi?

”Bang cerita, dong!”

Udah bisa ditebak.

Memang sih, di saat kayak gini, sorogan harus ditunjang dengan hal-hal pembangkit dan pendukung pembelajaran: strategi dan media pembelajaran. Gua memilih cerita untuk hal itu.

Selain cerita mampu menarik antusias dan menanamkan nilai dari alur dan penokohan, cerita ini juga mampu menjadi alasan mereka untuk bisa semangat dan rajin berangkat sorogan tanpa harus memilih bolos untuk tidur di jam yang memang waktunya tidur. Mereka malah lebih memilih berangkat sorogan dan memforsir jam tidurnya, yang entah mana yang lebih besar antara berangkat karena sorogan atau hanya ingin mendengar cerita. Allah nggak sekaku itu untuk memberi rahmat dan ganjaran.

Memang, cerita apa lagi yang menarik untuk didengar di jam hampir 12 malam begini selain cerita horror? Gua mencoba menuruti permintaan mereka, hanya dengan bungkus yang berbeda. Bungkus yang harus berbeda antara saat masuk sorogan dan sedang libur.

Gua tau, di balik sayup wajah-wajah bocil yang begitu penasaran itu, tersirat gurat ketakutan. Haha, mereka saling mendekat dan menggerombol. Halaqoh horor resmi dibuka!

“Tadi lu berarti nggak pada upacara?” Ucap gua membuka.

”Nggak, Bang. Kan yang wajib cuma kelas 12 dan 9 doang.” Jawab bocil yang bersandar tiang itu mewakili.

(Sebelum gua lanjut, nggak usaha kaget soal lu-gua, gua coba jujur dan terbuka akan keautentikan kultur santri-santri daerah Jabodetabek: kami-kami ini.)

“Tapi, lu pada tau nggak sih, kenapa hari santri tuh harus tanggal 22?”

Nah, mulai nih. Bungkus diawali dengan menekan pikir. Cerita berawal dari pertanyaan dan kebingungan. Hingga, mereka benar-benar bingung.

“Lah, masa nggak tau? Terus kalau semisal lu ditanya sama teman lu yang nggak mondok, ’eh, lu kan santri, kenapa sih hari santri harus di tanggal 22 oktober? Kenapa nggak tanggal 23 atau 24?’ Sebagai santri, gimana coba?”

Gua lihat, mereka sempat berpikir. Mencoba mencari jawaban yang sebenarnya mereka ngggak yakin akan ketemu. Begitu tersadarkan, oh iya, kenapa, ya?

Meski mereka nggak secara terbuka mengaku menyerah, dari awal gua tau mereka udah menyerah. Akhirnya gua ceritain tentang resolusi jihad yang difatwakan KH. Hasyim Asy’ari yang dimulai dari imprealisme dan kolonialisme dari masa ke masa: Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris, Jepang.

“Oh yang kiai jarinya dipukul itu ya, Bang?” Celetuk seorang bocah yang lagi mengunyah cemilan.

Mungkin maksudnya tentang KH. Hasyim Asy’ari yang sewaktu ditangkap jepang karena  tidak mau melakukan sekerei atau penghormatan pada dewa dengan membungkuk pada matahari yang ia lihat di film “Sang Kiai”.

Akhirnya gua bercerita tentang latar belakang adanya fatwa resolusi jihad. Tentang menyerahnya Jepang karena di bomnya kota Hirosima dan Nagasaki di tanggal 6 dan 9 Agustus, hingga agresi militer belanda sampai ke Inggris dan matinya Aubertin Walter Sothern Mallaby. Dan tentu peristiwa Bandung Lautan Api dan pertempuran 10 November di Surabaya.

“Lu pada tau nggak, kalau Yai Mahrus tuh juga ikut perang waktu itu?”

”Masa iya, Bang?”

Gua cerita, selepas ditinggal wafat KH. Abdul Karim, pondok ini diasuh oleh KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly. Untuk hal ini, Yai Marzuqi lebih terfokus untuk urusan dalam pondok dan Yai Mahrus untuk urusan luar pondok. Oleh karena itu, kenapa Yai Mahrus begitu dekat dengan para aparatur dan aktif di pemerintahan. Untuk hal perang dan pertempuran, siapa sangka, bahwa beliau adalah pahlawan nasional dan orang yang mengembrioi kodam V Brawijaya. Cerita ini berlanjut bagaimana Yai Mahrus ikut berjuang bersama Yai Abbas, Pondok Pesantren Buntet, dengan cerita yang terkenal menjatuhkan pesawat dengan isyarat tongkat.

Asal mau tau, kiai kita bukan cuma alim lewat ngaji doang, tapi juga ada jasa perjuangan. Makanya kita yang jadi penerus cuma tinggal belajar aja yang benar.” Ucap gua bijak. Hal  ini mungkin juga bisa disebut pesan tersurat.

“Berarti hal itu yang bikin pondok ini keramat ya, Bang?” Bocil botak nomer 3 angkat bicara.

“Iya, malah dari dahulu pondok ini udah keramat.”

Dari zaman Mbah Yai Karim?”  Ucap yang lainnya.

Bahkan dari beliau belum tinggal di sini. Emang nggak pada tau, dulu pondok ini tuh seram. Masih hutan-hutan, masih rawa. Jadi sarangnya jin.”

Setelah menyelipkan nilai sejarah dan wawasan kebangsaan, horor ini dimulai!

Wajah-wajah bocil itu menegang. Tulang leher mereka seketika menegak, seperti kobra yang bersiap akan sesuatu yang terjadi. Mereka menerka di mana dan kapan horror itu datang.

Gua cerita bagaimana perjuangan Yai Karim dalam awal mendirikan dan merintis pondok. Dari rumah yang sederhana, beliau harus hidup di lingkungan para penyamun dan brengsek. Hingga sering kali beliau selalu kehilangan barang dan bahan pangan. Itu baru makhluk yang tampak, belum yang nggak tampak.

Jika telah membicarakan soal horror dan pondok, kisah dempul menjadi andalan.

“Gua pernah bang ke dempul!” Aku salah satu dari mereka, menimbulkan angkat suara  lain di detik kemudian. Ternyata mereka pernah dan berani ke sana.

Jangan! Siapa yang ngajarin ke sana? Kan lu tau, santri tuh dilarang ke sana.”

Wajah mereka menegang. Serasa bersalah, mungkin karena gua yang menampilkan ekspresi wajah yang serius. Tapi, gua emang serius. Meskipun nggak niat akan seperti ini.

Lu tau nggak dempul tuh apa?”

Nggak ada jawaban. Mungkin masih terbawa suasana.

Ada yang bilang, dempul tuh berarti tambal. Karena katanya dulu ada perahu bocor dan ditambal di daerah situ. Terus juga ada yang bilang, dempul tuh dengkul. Karena memang dempul itu kuburan-kuburan yang dalamnya hanya sedengkul.”

Jadi setiap ada mayat yang nggak ada identitasnya, dari mana aja, pasti dibawa ke dempul buat dikuburin. Makanya kalau lu coba gali aja, pasti udah bisa nemu tulang belulang. Katanya. Gua sih nggak pernah, lah lu pada berani-beraninya ke sana!”

Emang kenapa sih bang, santri dilarang ke sana?” Tanya mereka hati-hati.

Dempul tuh gambaran pondok ini dulu: hutan-hutan, semrawut. Jadi dempul tuh istananya jin. Pusatnya jin. Dan dulu, jin-jinnya tuh pada ganggu manusia, santri. Hingga suatu waktu, akhirnya dilawan sama Gus Maksum. Ada yang bilang sampai 3 hari 3 malam dan kalah tuh rajanya jin. Akhirnya dari pertarungan itu dibuat perjanjian, jin nggak boleh masuk wilayah santri dan santri nggak boleh masuk daerah mereka. Daerah mereka ya dempul itu. Kalau sampai ada yang melanggar dari kedua belah pihak, pasti akan dapat imbasnya. Jadi lu jangan sekali-kali ke sana!”

”Iya, Bang.” Jawab mereka rada lesu. Gua jadi nggak enak sendiri.

“Tapi, lu tau nggak? Kalau dempul tuh ada bukunya. Judulnya ’Misteri Jin Dempul’, gua sempat punya tapi sekarang di rumah. Penulisnya tuh Mbah Jon, sekarang jadi satpam Ngampel. Beliau itu dulu, jadi kuncen dempul.”

”Masa ada, Bang? Beli di mana?”

Antusias itu hidup kembali. Karena punya dan pernah khatam baca tuh buku, jadi gua cerita aja dari apa yang gua baca: suasana dan cerita horor santri yang sehabis ke sana.

Mereka begitu menikmati, meskipun penasaran dan takut nggak jauh beda.

Namanya kehidupan dan sejarah tidak bisa dipisahkan. Mereka sama-sama melahirkan: kehidupan melahirkan sejarah dan sejarah melahirkan kehidupan. Oleh karena itu, putaran waktu selalu menghadirkan 2 hal itu. Berbagai kejadian dan peristiwa mengalun.

Lu tau, bahkan waktu pada masa PKI, pondok ini juga kena imbasnya.”

Mata itu kembali kemerlap. Dapat sub pembahasan dari cerita-cerita yang baru, cerita-cerita yang bikin penasaran. Dimulai apa itu PKI, kenapa berontak dan beronar, kejadian Madiun 1948, kejadian lubang buaya, dan kejadian berdarah lainnya.

Pondok ini dulu juga ikut ngelawan, Bang? Sama kayak waktu sebelum kemerdekaan?”

Iya, selain lewat dzikir dan istighosah, Gus Maksum ikut terjun. PKI setelah dapat nama target, maka dia bikin sumur seukuran banyak korban yang siap dibantai. Bahkan, terkenalnya, PKI itu udah sempat bikin sumur buat kiai dan santri pondok ini. Ada yang bilang, di belakang As-salam.”

Sumur yang banyak jagung-jagung itu, Bang?”

“Iya. Pas pertigaan. Tapi, rencana itu gagal. PKI udah lebih dulu dibasmi.”

“Gua punya buku tentang PKI, judulnya ’Banjir Darah’. Bagusnya itu buku berkisah dari sudut pandang korban, keluarga, saksi, dan orang-orang yang pernah hidup di zaman itu.”

“Gua pinjam dong bang bukunya.” Belum selesai ngomong, bocil botak nomer 1 udah nyeletuk duluan.

“Yah, bukunya di rumah.”

“Isinya seram-seram dah.” Lanjut gua. Mendengar kata seram aja udah cukup membangkitkan antusias mereka, mampu mengalahkan kantong mata yang berkata, “ini udah malam loh, aku udah ngantuk!”

“Meski emang ada cerita tentang penyiksaan kayak disilet, digorok leher, dimutilasi, dibakar hidup-hidup, tapi menurut gua ini yang paling seram.”

“Gimana tuh bang, gimana tuh bang!”

Jadi, ada suatu ustadz kampung yang emang udah jadi target penangkapan. Setelah didatangi rumahnya, Si Ustadz berani kabur. Akhirnya yang jadi korban malah istrinya. Lu tau diapain?”

Gua sempat lihat wajah-wajah mereka yang menegang. Matanya melotot. Tanpa menjawab.

Tuh istri, dibawa ke luar rumah. Rambutnya diikat tali, dan ujung satunya lagi diikat di belakang motor. Istri itu diseret motor dengan muka yang langsung bersentuhan dengan aspal. Mungkin nggak terlalu seram, tapi ngilunya itu.”

Sungguh biadab!

Gua nggak bisa ngejelasin lebih lanjut ekspresi wajah-wajah bocil itu.

Mungkin agak terlalu ngilu untuk hal ini. Meski mengandung sejarah, tapi cerita seperti ini ada unsur anarkis yang kuat. Gua membelotkan ke hal hal.

Lu percaya sama ninja?”  Gua tanya bocil-bocil itu saat rona penasaran akan PKI mereka mereda.

Ninja apa, bang? Ninja hatori? Apa Kura-kura ninja?”

Ada-ada aja.

Ninja yang jalannya cepat, loh! Sring-sring!” Temannya yang menjawab, agak kesal.

“Iya, maksud gua ninja yang itu. Ninja yang jalannya cepat dan yang biasanya suka pakai kain hitam, kelihatan matanya doang.”

Kenapa emang, Bang?”

Gua menceritakan bahwasanya pondok ini pernah diteror oleh sosok ninja. Tentu hal ini menggemparkan, juga meresahkan.

“Masa iya, Bang? Kapan?”

Sekitaran tahun 98-an, pondok ini pernah diteror dengan sosok ninja ini. Waktu malam menjadi saat yang tepat bagi ninja-ninja itu beraksi. Mungkin entah apa motifnya, tapi hal itu cukup meresahkan dzuriyyah dan para santri.

Kalau lu mau tau, lu bisa baca buku yang sampulnya gerbang lama. Semua ada, udah jelas lu tinggal baca aja.”

Ah elah, Bang. Ceritain aja, gua nggak ada bukunya!” Rengek seseorang, mewakili raut-raut mereka.

Ntar kalau gua ceritain, lu nggak pada jadi baca buku!” Kilah gua.

Kan nggak mungkin juga gua beli buku malam-malam, tokonya tutuplah!”

Haha. Iya, juga.

iya-iya.” Dengan sisa nyengir, gua certain. Gua lanjutin.

“Di salah satu halaman buku itu, Yai Imam sempat cerita tentang ninja ini. Kata beliau, waktu itu orde baru. Ninja-ninja yang misterius itu memburu para kiai. Tapi, ngaji tetap berjalan. Di luar ngaji, para santri melakukan penjagaan di rumah-rumah para kiai. Kata Yai Imam, mungkin niat dia pada selain mencelakain para kiai, juga hanya sekedar pamer kekuatan dan kemampuan. Tapi suatu ketika, ninja itu pernah ketangkap.”

Sampai ketangkap, Bang?”

Iya, sampai ketangkap.”

Terus-terus?” Bocil botak itu terus mencerca, penasaran.

“Ya ntar dulu, et deh. Gua jitak, nih!”

Tau nih!”

Dengerin aja dulu!”

Ah elah!”

Bocil itu malah balik dicerca. Haha. Cerita gua lanjut.

“Ninja yang ketangkap itu, bentukannya, seluruh badan dilapisi karet jadinya tuh dia kalau dipukul nggak kenapa-napa. Bahkan Yai Imam pernah punya karet itu.”

Gua lirik, mata-mata mereka nggak goyah diterpa malam yang semakin gelap  dan udara yang semakin dingin. Nggak terlihat sedikit pun rona-rona ngantuk. Emang, paling senang bocil kalau soal cerita. Apalagi horor.

Tapi, bagaimana pun gua tetap manusiawi. Tetap nggak enak. Malam makin larut, kesehatan jangan sampai  surut. Apalagi mereka harus kembali bangun di jam 3-an untuk istighotsah. Setelah clossing tentang makna hari santri dan ambil pelajaran dari sejarah, halaqoh horor itu resmi ditutup!

Dari apa yang disampaikan panjang lebar di atas, gua yang ikut mewakili para bocil-bocil yang bertumpuk kegiatan, peluk kesederhanaan, harus jauh dari keluarga dan hingar bingar dunia yang terhalang, cuma mau bilang:

”Selamat Hari Santri!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar