Diogenes

Sungguh aneh orang itu, bergumam seseorang di hari yang banyak dan sering. Mungkin juga penat. Berusaha untuk tetap menaruh akal sehat dan prasangka baik di setiap sisi sudut tubuh orang itu.

Entah benar atau tidak, di saat benar-benar tak kuat, berdongenglah ia pada suatu khalayak subjek yang objeknya belum sepenuhnya imajinatif. Tapi bagaimana, orientasi-komplikasi-resolusi-koda sudah mengalir dengan begitu nyata dan berani. Mulutnya berapi, ucapnya panas atau mungkin pedas. Menagih.

“Apa yang kau paham?” Ucapnya menawarkan bumbu.

“Menurutku ia adalah siluman bisu. Sebisu angka-angka jam, bangku taman, dan buku yang tergenggam. Mungkin juga ia adalah jelmaan lembar halaman terkhir dari buku itu.”

“Oh, tidak.” Yang lain, untuk beberapa tabur. “Dalam pandanganku ia adalah penyair rombeng. Begitu aneh, berdiri, lalu menari dengan berisik, ‘jangan berduka. Apapun yang hilang darimu akan kembali lagi dalam bentuk lain.’ ‘aku selamat melintasi semua lautan. Tapi aku tenggelam di kedua matamu.’, ‘Jika engkau mencintai sesuatu, bebaskan. Jika ia kembali padamu, ia milikmu selamanya. Jika tidak, maka sejak awal ia  bukanlah milikmu.’ Kurasa ia kerasukan arwah pena, bergerak tak tentu arah.”

Mereka tersulut pendapat sesaat, lalu terbahak kemudian.

Orang itu sadar, dalam segala kata yang tersemat datang padanya, tetap pada huruf dan diamnya. Dalam bahasa angin, ia layangkan, “Bukannya aku gila. Hanya saja kepalaku berbeda dengan kepalamu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar