Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2023

Aphrodite

Siang hari, penuh terik. Selain karena memang ada sesuatu, biar makin laki; gua main ke bengkel. Tanya ini, tanya itu, mengutarakan keluhan. Onthel gua diotak-atik dengan penuh mekanik. Setelah dikit ikut menghitam-hitam tangan, rehat duduk menunggu di bangku beratap rerimbunan pohon. Di samping seorang wanita paruh baya. Sebagai santri yang menganut, ‘al-adab fauqol ilmi,’ harus benar-benar akan persoonlijkheid. Berniat meminjam koran, “permisi korannya, Bu?” untuk koran tergeletak yang tak dibaca. Dengan lembar koran lainnya yang terpegang, “monggo!” Aman. Gua ambil. Mulai membaca dunia luas. Asik-asiknya baca dan terperangah pada suatu kata dari rubrik itu, Sang Wanita yang sangat pantas dipanggil ibu itu nyeletuk, ‘Mas, iki loh enek kecelakaan mobil,’ gua yang belum genap akan terperangah, mendengar itu, tambah-tambah. Dengan Bahasa jawa ala kadar, gua jawab mengimbangi, ‘mosok iyo, Mak?’, ‘iyo, iki pebulu tangkis melasi, bar tanding mobile nabrak neng tol. Bapak’e sing nyopiri koy

Kangkung

Ngampus adalah bentuk kepedulian pada nasib pendidikan bangsa ini. Entah serius atau tidak, entah banyak tugas atau kosmanya galak, yang penting absen dan bayar spp. Aman-aman. Bagaimanapun Tribakti adalah tempat menggantungkan mimpi. Kuliah dan ngonthel adalah dua hal yang nggak bisa dipisahkan. Sebuluk dan sebobrok apapun, onthel selalu menyimpan hal yang nggak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ciaelah.  Tapi, menurut mereka, mahasiswa garis kiri, menganggap bahwa, “Ngontel adalah bentuk kemalasan. Mending jalan.” Selalu fasisme sekali ucapmu, Bang.  Ya, okelah. Kuliah jalan kaki memang bagus. Sehat. Ngampus jalan kaki pagi-pagi emang bagus, emang sehat. Entah ultraviolet, vit D, zat besi, omega 3, kalsium, kalium, nitrogen, karbon monoksida, dan segala ketektekbengekan teori dokter mata duitan itu. Tetap aja, pulang ngampus siang-siang panas juga, keringetan. Jidat bisa langsung gosong tanpa harus rajin sujud. Mengesampingkan itu, tentu sebagai onthelis yang baik hati, tidak

Selimut

Tuhan tak selalu menimpakan sesuatu tanpa perhitungan, tanpa alasan. Tak selamanya sulit tanpa mudah. Tak selamanya dingin tanpa hangat. Dalam deras hujan, butut astrea itu membelah keheningan. Suara knalpot berulang kali melawan rintik. Gigilnya memaksa sepasang insan itu tak berkutik. “Pakai saja!” Ucap pengemudi pada penumpang, alih-alih hanya ada satu pasang mantel hujan yang tersedia dalam kotak jok motor itu. “Ayah gimana? Ayah akan basah, akan dingin!” “Jangan pikirikan aku! Kamu dan lembar kertas itu lebih penting.” Ia berpikir cepat. Hujan dan dinginnya tak bisa ditolelir. Akhirnya, ia pakai juga. Benar-benar penuh perjuangan bagi seorang guru, juga suami Sang Guru. Dari jok belakang, pada spion sebelah kanan, tampak wajah suaminya yang digempur deras rintik hujan. Dengan menyipitkan mata, berusaha tetap tegar pada fokus jalan di depan. Wajahnya membeku, rambutnya lepek teracak-acak, pakaian serta sarungnya kuyup. Suaminya begitu tegar, mantel hujan menjadi saksi a

Tongkat

Hidup ini sebuah perjalanan. Banyak orang yang berkata seperti itu. Dan gua percaya-percaya aja. Setuju juga. Kesadaran kecil seperti itu udah bagus menurut gua, cuma yang disayangkan mereka atau bahkan kita sekalipun nggak tau pasti tujuan dari perjalanan ini. Semua berbeda. Banyak yang salah arah. Selain itu, dari hal yang kurang disadari itu, hidup ini sebuah perjuangan. Tentu kita berjuang. Lelah-lelah, jauh-jauh, lama-lama ini, apa? Tapi, karena dan untuk apa perjuangan itu, entah. Banyak omong kosong yang mengatakan memanusiakan manusia. Padahal dirinya pun sama sekali tanpa hancur lebur untuk menjadi manusia yang manusia. Bodohnya, kita senang aja. Makin gede, makin ke sini, senang aja. "Ah, umurku masih panjang!" "Ah, mereka semua orangku!" Bodoh! Entah kenapa gua mau ngomong lebih kasar dari sekedar kata bodoh. Tapi, kalau ini aja udah malah membuat lu tersinggung, gua minta maaf. Apakah kita nggak sadar? Semakin ke sini, semakin bertambahny

Serpih

Makin ke sini, rasanya makin malas aja buat ngapa-ngapain. Buat aneh-aneh. Bodo amatlah untuk omong orang lain. Terlalu mikirin orang banget, dia aja belum tentu sudi mikirin kita. Capek-capek. Pengen fokus aja untuk semua harap-harap. Impian dan apapun yang senang. Benar juga ucap orang itu, ‘semakin dewasa, tak banyak yang diharap. Hanya butuh tenang!’ Tapi, lu pernah nggak, sih? Mumet semumet-mumetnya? Sumpek sesumpek-sumpeknya? Sampai lu benar-benar krisis tenang. Kadang juga gelisah yang berkepanjangan bisa sampai menimbulkan resiko gelap mata. Hati? Ada tipe orang yang sumpeknya bisa sembuh karena menemukan tenangnya lewat menyendiri, ada yang lewat makan, ada yang lewat curhat, ada yang lewat nulis-nulis, ada yang lewat marah-marah, atau bahkan lewat ibadah ketuhanan. Tapi, pada suatu titik, sumpek tak karuan itu sudah tak mempan lagi dengan apapun. Sampai kita hanya benar-benar butuh seorang yang benar-benar mengerti. Orang yang benar-benar diinginkan hati. Tapi, kita s

Roti

          “Minta kebab dong, Dek!” Rengek Sang Abang. “Nggak, ah. Beli dong.” Tanpa aba-aba, hap. 3 cm kebab itu tergigit. Terkunyah. Tertelan. “Bi, lihat nih abang. Kebab aku.” “Bang, jangan gitu.” Sergah Abi. “Dikit doang, Bi.” Perjalanan mereka berlanjut, menyusuri jalan setapak menuju makam ampel. Kanan kiri terjajah perpakaian dan permakanan. Mata dan hidung mereka tersapa. Sedang asik-asik melarak-melirik, “Haaaah!” Teriak Rani, sontak mereka kaget dan menghentikan langkah. “Kenapa, Dek.”  “Itu Bang, seram.” Mereka melihat kea rah yang ditunjuk Rani. “Itu kepala buntung!” “Ah, mana?” “Itu Bang!” Suara Rani semakin bergetar tanda ia benar-benar takut. “Haha, itu hanya boneka pedagang. Untuk baju yang dipajang dan dijual.  Di toko-toko memang wajar memakai boneka untuk sample baju yang dipajang di area toko. “Bukan, Bang. Yang kumaksud itu di jendela rumah tua itu. Ia melihat kita!” “Dek?”

Fir’aun

“Dia loh apa? Masuk aja jarang!” “Kerjaannya diam aja di kelas!” “Numpang absen doang!” “Nggak pernah aktif diskusi!” “Jangan ditemanin, dia bodoh!” Kicau seorang mahasiswi berkomentar tentang teman sekelasnya yang laki-laki. Ia berpendapat tentang lelaki dan ngampus adalah kesia-siaan. Ia merasa paling cerdas, paling rajin, paling berkompeten dalam dunia kampus. Dengan kenyataannya, ia yang paling penuh absennya, paling aktif ketika diskusi, paling bangga tentang makalah dan artikel-artikelnya walau nggak ada andil pemikiran otaknya dari 800 words 4 lembar itu. Soal copas bisa diurus nanti, penting bangga aja dulu. “Apa lebihnya orang lain?” Sungutnya. Ia si paling-paling. Menjadi ambisius itu bagus. Mengejar, meraih, menggenggam semua yang menjadi tuju akademis itu bagus. Memang seharusnya, ilmu pengetahuan itu dijunjung tinggi-tinggi. Di atas segalanya. Tapi sayangnya, mungkin karena terlalu banyaknya ilmu di otaknya, pikirannya jadi sempit nggak ada space dengan mem