Tongkat

Hidup ini sebuah perjalanan.

Banyak orang yang berkata seperti itu. Dan gua percaya-percaya aja. Setuju juga. Kesadaran kecil seperti itu udah bagus menurut gua, cuma yang disayangkan mereka atau bahkan kita sekalipun nggak tau pasti tujuan dari perjalanan ini. Semua berbeda. Banyak yang salah arah.

Selain itu, dari hal yang kurang disadari itu, hidup ini sebuah perjuangan. Tentu kita berjuang. Lelah-lelah, jauh-jauh, lama-lama ini, apa? Tapi, karena dan untuk apa perjuangan itu, entah.

Banyak omong kosong yang mengatakan memanusiakan manusia. Padahal dirinya pun sama sekali tanpa hancur lebur untuk menjadi manusia yang manusia. Bodohnya, kita senang aja. Makin gede, makin ke sini, senang aja.

"Ah, umurku masih panjang!"

"Ah, mereka semua orangku!"

Bodoh!

Entah kenapa gua mau ngomong lebih kasar dari sekedar kata bodoh. Tapi, kalau ini aja udah malah membuat lu tersinggung, gua minta maaf.

Apakah kita nggak sadar? Semakin ke sini, semakin bertambahnya umur, semakin bertambah pula beban itu. Gua nggak lagi ngebahas keluh-keluh. Ini lebih besar, tapi kita malah buta

Pelan-pelan gua jelasin. Mungkin ada yang berbangga jadi anak orang besar, mungkin ada merasa hebat jadi anak konglomerat. Bisa kuliah di universitas keren, bisa mondok di pesantren keren. Bisa inilah, bisa itulah. Sampai saat ini, sampai bertemu dengan hal-hal baru dan orang banyak. Itulah bebannya.

Kita semua menanggung beban itu di pundak kita. Kita menanggung beban sebagai anak dari kedua orang tua kita. Menanggung beban sebagai seorang yang pernah belajar di TK A, SD B, SMP C, SMA D, hingga kampus E. Kita menanggung beban sebagai kakak dari adik, adik dari kakak. Menanggung beban murid dari seorang guru yang luar biasa. Kita menanggung beban dari organisasi yang kita bernafas di dalamnya. Juga beban sebagai orang kampung, beserta teman dan orang-orang di dalamnya.

Semua nama itu ada di pundak kita. Nama yang ikut terseret dan larut dengan semua tindakan laku lampah kita. Bagaimana tidak berat langkah ini? Bagaimana bisa sempit pikir ini? Bagaimana nggak serba salah gerak ini? Tertuntut? Pasti! Kita semua pasti tertuntut akan hal itu. Tertuntut untuk menjadi baik, tertuntut menjadi hebat dari nama-nama yang hebat pula. Kita tentu nggak mau menjadi rumput di taman bunga. Seenggaknya kalau belum bisa mengharumkan, jangan malah mencorengnya dengan bau. Kalau belum bisa menambah, jangan biarkan malah berkurang.

Layukalifullahu nafsan illa wus'aha.

La haula wa la quwwata illa billah.

Kami lemah, Tuhan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar