Fir’aun
“Dia loh apa? Masuk aja jarang!”
“Kerjaannya
diam aja di kelas!”
“Numpang
absen doang!”
“Nggak
pernah aktif diskusi!”
“Jangan
ditemanin, dia bodoh!”
Kicau
seorang mahasiswi berkomentar tentang teman sekelasnya yang laki-laki. Ia berpendapat
tentang lelaki dan ngampus adalah kesia-siaan. Ia merasa paling cerdas, paling
rajin, paling berkompeten dalam dunia kampus. Dengan kenyataannya, ia yang
paling penuh absennya, paling aktif ketika diskusi, paling bangga tentang
makalah dan artikel-artikelnya walau nggak ada andil pemikiran otaknya dari 800
words 4 lembar itu. Soal copas bisa diurus nanti, penting bangga aja dulu.
“Apa
lebihnya orang lain?” Sungutnya.
Ia si
paling-paling.
Menjadi
ambisius itu bagus. Mengejar, meraih, menggenggam semua yang menjadi tuju
akademis itu bagus. Memang seharusnya, ilmu pengetahuan itu dijunjung
tinggi-tinggi. Di atas segalanya. Tapi sayangnya, mungkin karena terlalu
banyaknya ilmu di otaknya, pikirannya jadi sempit nggak ada space dengan
memandang rendah orang lain. Orang-orang yang sekiranya nggak termasuk kriteria
kognitif sebagai mana lazimnya ngampus, ia anggap sebagai orang bodoh nggak
sadar diri. Nggak tau arti belajar.
Jangankan
ucap, lihat saja tatapan matanya saat memandang pada mahasiswa lelaki yang bisa
dihitung jari itu. Bagai bangkai, mereka menjijikkan.
Sebelum gua
bahas tentang subtansi dan esensi belajar itu sendiri, nggak senang aja ada
orang yang merasa beda dengan bayaran spp yang sama. Merasa cucu rektor.
Kalau
setidaknya nggak tau, tanya. Atau kalau malu dan nggak peduli sekalipun,
mendingan lu diam. Bukan malah nge-judge. Walau setiap orang punya sibuknya
masing-masing, tapi menurut gua arti kata kuat lebih tersemat pada lelaki. Itu
mengapa pondok pesantren dalam menyerahkan urusan sampah se-pondok, mengamankan
mengawasi ribuan santri pagi sampai malam, berlari-lari mengembala mengurus
ternak, memanen hektare kebun di terik panas, dan angkat-angkat berkotor-kotor
dalam hal pembangunan itu diserahkan pada lelaki.
Apa tau ia dari semua itu? Kuliah pulang pergi naik elf aja merasa paling berkeringat!
Apa bisa
belajar tidaknya seseorang hanya dinilai dari duduknya di kelas dengan absen
yang penuh? Ilmu hanya sebatas pada lembar-lembar makalah itu? Apa yang harus
dibanggakan dari kuliah? Malah harusnya nggak lebih beruntung dari hanya
sekedar belajar di SD dengan buku paket dan LKS-LKS yang lebih konkrit dari
pada makalah-makalah omong kosong lu!
Ilmu itu nggak sesempit otak lu.
Bisa saja
kita mendapat ilmu sistem mengajar dari bisu kaku bangku kelas dengan menyimak
urai dosen yang mungkin sulit sampai pada paham pelajaran. Bisa saja kita
mendapat ilmu semangat, sungguh-sungguh, ta’awun dari balik jendela dengan
melihat kuli yang bekerja. Bisa saja kita mendapat ilmu saling menghargai dan
bertukar opini dari teras kelas dengan obrolan ringan teman. Bisa saja kita
mendapat ilmu bersabar dari kantin dengan menghadapi barisan antri bayar jajan.
Bisa saja kita mendapat ilmu giat literasi dari perpustakaan dengan hanya
numpang ngadem di sana. Bisa saja kita mendapat ilmu disiplin dari masjid
dengan nggak sengaja bertemu mereka yang sedang melalar Al-Qur’an. Atau bisa
saja kita mendapat ilmu apapun, meski dari hal buruk sekalipun, meski dari dua
sejoli yang pacaran senang-senang di pojok kelas itu. Bisa kita mengambil ilmu
apapun darinya, jadikan pelajaran agar dihindari, agar nggak sampai kita
lakukan. Itu baru di kampus. Belum lainnya.
Maka dengan
itu, akan selaras dengan ucapan mereka yang mendapat stigma berandal: bahwa
jalanan adalah sekolah. Apa yang bisa menjamin bahwa lu lebih berilmu dari
mereka? Hanya karena secuil ilmu kampus dari sekian banyak sub-ilmu lainnya?
Yakin akan lebih sukses di kemudian hari? Yakin akan manfaat, barokah, ridho
dari ngampus yang persentase ‘belajar’ buka makalah, presentasi ‘baca’ makalah
dan scroll tiktok lebih banyak scroll tiktoknya?
Asal mau
tau, ilmu Allah itu berserak di mana-mana, Nona!
Nona
Fir’aun.
Komentar
Posting Komentar