Aphrodite

Siang hari, penuh terik. Selain karena memang ada sesuatu, biar makin laki; gua main ke bengkel.

Tanya ini, tanya itu, mengutarakan keluhan. Onthel gua diotak-atik dengan penuh mekanik. Setelah dikit ikut menghitam-hitam tangan, rehat duduk menunggu di bangku beratap rerimbunan pohon. Di samping seorang wanita paruh baya.

Sebagai santri yang menganut, ‘al-adab fauqol ilmi,’ harus benar-benar akan persoonlijkheid. Berniat meminjam koran, “permisi korannya, Bu?” untuk koran tergeletak yang tak dibaca. Dengan lembar koran lainnya yang terpegang, “monggo!” Aman. Gua ambil. Mulai membaca dunia luas.

Asik-asiknya baca dan terperangah pada suatu kata dari rubrik itu, Sang Wanita yang sangat pantas dipanggil ibu itu nyeletuk, ‘Mas, iki loh enek kecelakaan mobil,’ gua yang belum genap akan terperangah, mendengar itu, tambah-tambah. Dengan Bahasa jawa ala kadar, gua jawab mengimbangi, ‘mosok iyo, Mak?’, ‘iyo, iki pebulu tangkis melasi, bar tanding mobile nabrak neng tol. Bapak’e sing nyopiri koyok’e ngantuk’.

Gua yang planga-plongo mencoba paham. Ia bercerita tentang kecelakaan seorang pebulu tangkis muda Indonesia yang meninggal tabrakan sehabis pulang berlaga di Korea. Dalam kecelakaan yang disebabkan ngantuk itu, juga mengantarkan ibu dan adiknya pada maut. Sang Ayah yang menjadi sopir itu, malah hanya luka-luka.

Pembahasan berlanjut, masih tentang kecelakaan, bergeser ke daerah Kediri.

“Karo pisan, neng cedek palang rel, enek mobil ditabrak kereto. De’e mobile mogok pas tengah rel. bengi-bengi ra keto, teko kereto langsung mak diarrr. Ninggal tah wong.”

“Lah, opo rak enek palang keretone, Mak?”

“Rak enek. Mergo kuwi jalan tembusan. Pas de’e lewat neng rel, tiba-tiba mogok. Mergo kuwi yo tepaan bengi, kereto lewat yo rak keto. Bar kuwi ditubruk.”

Pada awalnya gua hanya sekedar menanggapi, tapi setelah melihat wanita paruh baya itu bercerita dengan penuh semangat, jelas, dan rinci, akhirnya menimbulkan decak kagum yang lebih.

“Mak, jenengan update koran?”

“Yo koran, yo radio. Kadang tv barang.”

“Mosok iyo, Mak?”

“Iyo, aku loh ra duwe hp.”

Jelas sudah. Meski sama sekali tak terjangkau hp, emak itu tetap melek berita dengan segala penangkapan pemahaman yang sangat baik. Itu yang membuat kagum. Ternyata masih ada wong biyen model gitu!

Lalu pembahasan meluas; Pendidikan, tulis-menulis, baca-membaca, hingga ke politik. Sungguh hebat emak-emak itu. Emak siapa, nih?

“Makin rene, Indonesia makin mundur. Lek sampean weruh yo Mas, Indonesia senajan negara gawedi koyok ngene, tapi minat baca tulis’e masih rendah. Memperihatinkan.”

Kepekaannya pada nasib bangsa ini juga rasanya perlu diapresiasi. Andai semua orang sepertinya. Tak hanya sibuk diri sendiri.

Usut punya usut, ternyata emak-emak dengan wajah kusam debu dan celana pendeknya ini adalah lulusan salah satu Universitas ternama di Kediri. Hal itu terbukti saat obrolan menyasar pada anak tunggalnya yang lahir tahun 96 yang berbeda dengan anak kebanyakan; malas.

Tak hanya itu, pembahasan juga akhirnya sampai pada suaminya. Tentang keluarga, pekerjaan, anak. Entah baik atau tidak, tiba-tiba terlintas di pikiran untuk mengulik kisah percintaan mereka. Hehe. Biar gampang, gua translate. Capek gua ngetik Bahasa Jawa.

Dengan malu-malu ia menjawab, “awal saya kenal suami, itu gara-gara teman saya. Waktu itu saya sedang menemani teman saya mengantarkan barang titipan untuk kakaknya yang sedang KKN, nah suami saya itu kebetulan temannya kakaknya teman saya. Ia yang bagian berjaga.” Matanya seperti menerawang jauh. Mencoba menggali timbunan kisah itu. Gua jadi nggak enak. Meskipun malah tambah penasaran.

“Lah, kok bisa akhirnya kenal, bisa akrab, Mak?”

“Pas teman saya menemui kakaknya, saya ditinggal di pos yang kebetulan dijaga suami saya. Saya berduaan. Dari sana, saya kenalan dan akrab. Makin sering, sering, dan suka (tak delok-delok kok seneng -jawa, red). Ucapnya lalu disusul ketawa kami.

“Untungnya dia juga suka.” Lanjutnya. Lanjut pula gelak kami.

“Emak pacaran?”

“Ya, iya. Dia dulu sering ke rumah buat jemput.”

“Tanggapan orang tua?”

“Ya, nggak apa-apa. Selama dia izin ke bapak dan jelas tujuannya. Boleh-boleh aja.”

“Hal yang membuat emak suka sama suami, apa, Mak?”

Ia hanya senyum-senyum. Pipinya memerah. -Bagian ini disensor.

“Kunci hubungan itu yang penting apa sih, Mak?”

“Nih emak kasih tau, dalam hubungan itu yang terpenting adalah saling percaya dan apa adanya. Kalau ada apa-apa, bilang. Bukan hilang. Supaya nggak ada kerenggangan dan kesenjangan dalam hubungan. Dan emak udah buktiin.”

“Buat berasmara, nggak harus pacaran. Kalau kamu suka sama seseorang, bilang aja. Gentle. Apa adanya. Diterima nggaknya, gampang. Yang penting dia tau perasaan kamu. Syukur kalau diterima. Kamu hanya perlu bersiap dan memantaskan diri untuk hubungan yang lebih serius.” Lanjutnya juga serius.

Gua terdiam, mencoba mencerna semua ucapannya. Merasa ada yang terjawab.

“Yaudah deh, emak pulang dulu. Mau masak buat suami!”

“Iya, Mak. Makasih.” 

Gua mengangguk kepala saat ia beranjak.

“Mak!”

Beberapa jarak ia menjauh, lalu berhenti. Nengok.

“Doa’in!”

“Haha, siap!”


Sekali lagi, makasih tutornya Mak iin!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepompong

Klausa

Mekar