Selimut
Tuhan tak selalu menimpakan sesuatu tanpa perhitungan, tanpa alasan. Tak selamanya sulit tanpa mudah. Tak selamanya dingin tanpa hangat.
Dalam deras
hujan, butut astrea itu membelah keheningan. Suara knalpot berulang kali
melawan rintik. Gigilnya memaksa sepasang insan itu tak berkutik.
“Pakai
saja!” Ucap pengemudi pada penumpang, alih-alih hanya ada satu pasang mantel
hujan yang tersedia dalam kotak jok motor itu.
“Ayah
gimana? Ayah akan basah, akan dingin!”
“Jangan
pikirikan aku! Kamu dan lembar kertas itu lebih penting.”
Ia berpikir
cepat. Hujan dan dinginnya tak bisa ditolelir. Akhirnya, ia pakai juga.
Benar-benar penuh perjuangan bagi seorang guru, juga suami Sang Guru.
Dari jok
belakang, pada spion sebelah kanan, tampak wajah suaminya yang digempur deras
rintik hujan. Dengan menyipitkan mata, berusaha tetap tegar pada fokus jalan di
depan. Wajahnya membeku, rambutnya lepek teracak-acak, pakaian serta sarungnya
kuyup. Suaminya begitu tegar, mantel hujan menjadi saksi akan hangat air mata
yang ikut terintik pada baju dinasnya itu.
Sesampainya
di rumah, segera ia ambil handuk dan air hangat untuk suaminya yang mulai
bergetar gigil. Setelah lepas mantel dan bersiap untuk segala sesuatu yang
lebih, Sang Suami menahan.
“Tak usah.
Kamu capek, sebaiknya kamu istirahat.”
Ia lepas
batang sapu yang sepenuhnya tertenggam di tangan kanannya, mengurungkan untuk
semrawut rumahnya, untuk senang suaminya.
Bergantian,
ia menatap wajah suaminya. Memeluk lemah. Terdengar sengguk yang tak tertahan.
“Sudah, tak
apa. Lepaskan semua. Menangislah!”
Sengguk itu semakin
terdengar.
“Bangganya
aku punya seorang istri yang hebat. Kamu pahlawan, Sayang!”
Sambil
membalas peluknya.
“Pantas apa
aku akan pahlawan? Bukankah seorang pahlawan itu butuh rela berkorban nyawa?”
Sang Suami
tersenyum, melepas pelukan, mengangkat wajah istrinya.
“Lalu, apa?
Bukankah melahirkan juga butuh rela berkorban nyawa? Bukankah seorang guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa?”
Benar-benar
tak kuat. Air mata itu kian menderas. Hujan mengalah.
“Selamat
hari pernikahan, Bu. Selamat hari pernikahan, Sayang!”
Peluk.
Komentar
Posting Komentar