Fulanah

Sekotak martabak cokelat kacang dan double keju tampak gelisah. Kulit hangat itu berkeringatkan butter lembut cap onta. Tahap baru dari sebuah pejalanan, sepotong martabak double keju ditunjuk untuk menceritakan kejadian cuties itu:

Di suatu kejadian yang sulit diterka tepatnya, teduh sederhana ruang tamu itu terasa memanas: cukup gerah.

“Ngapunteun tante, eh bu. Kuloo, euh... sampun ganggu wekdalnipun panjenengan nipun saniki nipun....”

Pernipun-nipunan itu masih berlanjut panjang, tentu tergagap-gagap dengan aksen yang aneh.

Perempuan dengan wajah karismatik bersahaja itu malah tersenyum, sedikit terkekeh.

“Nggak apa-apa, Nak. Nggak usah dipaksakan, saya juga paham kok bahasa Indonesia.”

Lagi-lagi senyumnya, tambah-tambah debar kaku lelaki itu.

“Nggeh tante, eh bu. Maafin.. saya.”

Spontan lidah seperti tertekuk, segalanya penuh kikuk: entah apa.

“Saya tau, kamu mencintai Fulanah, anak saya. Saya juga tau kamu itu orang baik, Fulanah sering cerita tentang kamu, ia selalu semangat cerita tentang kamu, ia terlihat bahagia.” Senyum itu, kini tak bisa lagi dilukiskan. Apalagi perihal debar.

“Nak, saya juga pernah muda. Saya tau rasanya mencintai dan dicintai. Kamu nggak perlu jadi orang Jawa atau siapapun untuk mencintai Fulanah: kamu hanya perlu menjadi kamu, orang yang mencintai dan dicintai Fulanah. Yang penting, bagaimana caranya kalian itu bisa saling percaya dan memahami. Kunci sebuah hubungan adalah komunikasi.”

Senyum itu, kini berbalas. Sepenuhnya dalam tunduk.

**

Sayangnya, hanya itu. Cerita ini nggak berlanjut dan hanya bisa sampai sini: mungkin nanti, mungkin menunggu hal lain.

Setelah Dr. Fahruddin Faiz, sosok calon ibu mertua itu menjadi orang jawa bijak kedua yang ia cintai.

Semoga lelaki yang bercita-cita menjadi penulis itu nggak perlu berpanjang-panjang berbelit dan berkelit kata dalam menulis, terkesan sederhana: dari ‘calon ibu mertua’ menjadi ‘ibu mertua’.

Aamiin.

Hihihi.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa