Api
Di suatu detik, gua terseret deras arus pikiran Albert Eisntein. Ia bilang, “Manusia akan berubah dalam 2 keadaan: jika kesadarannya meningkat dan jika hatinya hancur.”
Entah hal apapun yang dijadikan sebagai suport system, kita adalah obat
bagi diri kita sendiri. Kita yang harus bergerak atas tujuan arah langkah kita.
Karena memang hanya kita yang benar-benar tau, akan titik pemberhentian itu.
Bagaimana dan sampai kapan, semua tergantung kita.
Untuk segala motivasi yang dicari, datang bertubi-tubi, hingga harus
dikunyah dengan perlahan atau penuh rakus: nggak begitu berarti. Nyatanya bukan
soal materi atau teori: kita hanya butuh praktek. Gerak.
Bukan maksud apa-apa, antara eksternal dan internal, tentu internal adalah
yang memegang kendali penuh. Kita yang mengendalikan diri kita sendiri, secara
penuh. Otak dan hati atau pikiran dan perasaan adalah penentu akan segala hal
yang menjadi mesin gerak untuk ruang lingkup yang luas, nggak terbatas. Orang
nggak begitu pengaruh, nggak berhak atas diri kita.
“Kita tidak hidup dari pertanyaan orang lain. Kita hidup dari jawaban kita
sendiri!”
Sekali lagi, kita adalah obat bagi diri kita sendiri.
Tentu, kita yang paling tau soal kita.
Masih belum yakin?
Coba perhatiin, gua harap lu paham dengan apa yang gua jelasin.
Ibarat sebuah penyakit. Kita sakit. Maka ada 2 hal yang perlu digaris
bawahi akan ini: penyakitnya dan tubuh:sifat dan dzat. Saat seperti itu,
mungkin ada beberapa orang yang bersuara akan ini, mungkin bermaksud peduli.
Mereka semua mencerca kita dengan berbagai ucapan bentuk simpati dan
motivasi-motivasi. Nggak semua orang dari mereka yang bersuara. Dari yang
bersuara pun, nggak semua yang simpati dan memotivasi itu mengena. Sekalipun
mengena, hal itu hanya mengarah pada penyakit kita yang mungkin ia pun punya
kesan dan relate sendiri dengan kita.
Kita punya masalah, contoh, dengan sakit hati. Segelintir orang yang
bersuara dan terpilih akan masukan simpati dan motivasinya yang mengena pada
kita, mungkin karena ia pun pernah merasakan hal itu, hal serupa. Jadi karena
ia sendiri yang pernah merasa membuat alam sadar logika kita pun setuju untuk
respon ‘terasa’. Begitu relate. Sekali lagi, hal itu hanya mengincar penyakit
atau masalah kita. Tapi, seberat apapun penyakit atau masalah ia, juga tentang
motivasi-motivasinya yang bijak lagi membangun nggak akan pernah bisa untuk
tubuh. Karena tubuh kita berbeda dengan tubuhnya. Hanya kita yang tau tentang
tubuh kita, hanya kita yang tau rasa tubuh kita. Selamanya, setiap tubuh ada
porsinya masing-masing.
Jadi intinya, tetap kita sendiri yang harus mengurus. Kita yang penyakit,
kita pula yang harus menjadi obat.
Di luar itu, begitunya kita akan diri sendiri. Betapa lemahnya kita yang
sedang sakit dan harus mencari atau bahkan menjadi obat itu sendiri. Tentu
kadang nggak mampu. Tentu kadang gagal. Sudah seharusnya kita harus mencari titik
temu akan permasalahan ini. Karena memang, betapa bingungnya gua, kenapa orang
begitu asyik bersibuk-sibuk membahas permasalahan tanpa sesekali untuk membahas
solusi masalah itu sendiri. Dengan begitu, malah tumpuk-tumpuk masalah baru.
Setelah di suatu titik kita benar-benar ingin berubah, bangkit dari segala
keterpurukan yang mengikat diri, tentu sudah kita analisis terlebih dahulu:
letak salahnya di mana, pencapaian apa yang ingin dituju, dan metode usahanya.
Setelah aspek-aspek itu benar-benar matang hingga lahirlah kepercayaan
diri, nyatanya belum bisa menjamin akan hasil manis dari ekspetasi penuh, usaha
bercapek-capek kita selama ini. Kadang atau sering kali: kita gagal. Lagi-lagi,
berkali-kali.
Lalu, tanpa kenal putus asa atau memang nggak tau diri, siklus itu kembali
berputar dan terulang: evaluasi, reward, dan step.
Hingga, teori perubahan, aspek eksternal dan internal, hingga schedule
siklus itu yang terasa begitu semrawut kusut di otak dan hati yang nggak
seberapa.
Setelah berpikir dan merasa yang jauh lagi dalam, dari setiap jawaban
sementara yang muncul, ini yang paling relevan dari hasil observasi dan
eskperimen: gejolak.
Tentu muak untuk yang terus menerus jatuh, lagi-lagi gagal. Setelah begitu
panjang usaha yang sudah dirancang, begitu penuh serius hingga akhirnya harus
kembali putus. Pupus.
Gua rasa penyebab kegagalan atas semua prospek tuju kita itu disebabkan
oleh gejolak. Entah, gua nggak bisa menilai apakah baik atau buruk, tapi
gejolak itu benar-benar menjadi tokoh utama kegagalan. Mungkin banyak contoh,
sebut saja gejolak amarah, gejolak lelah, gejolak percintaan, gejolak lapar,
atau apapun. Saat gejolak itu datang, ia akan menyerang 2 pusat inti: hati dan
pikiran. Seperti yang kita tau bahwa hati dan pikiran berisi akan segala
prospek tuju itu. Sebagaimana sifat gejolak, ia akan mengguncang. Semakin
kencang dan besar guncangan, maka semakin besar pula peluang untuk runtuh. Dan
kadang kita begitu asing percaya diri untuk mengenal dan mengontrol diri:
sehat, atau sekedar mood.
Dengan ini, terlihat jelas di setiap usaha mencari solusi atas
permasalahan-permasalahan yang terjadi, nyatanya masih menimbulkan masalah.
Masalah baru yang butuh solusi baru.
Lalu, poin apa yang bisa dipetik?
Komentar
Posting Komentar