Biru
Untuk segala percintaan anak cucu adam, kadang memberikan kita cara pandang lain pada hidup ini. Kita tentu akan penuh kagum dan harap pada percintaan mereka yang mendebarkan. Semua penuh pandangan masing-masing akan pasangan yang menjadi tolak ukur bersikap, pandangan dalam berperasaan.
Gua nggak muluk-muluk. Mengharu biru melihat seorang
kakek berjalan tersiuh di tengah kemendung sore. Wajahnya sendu membawa
sebatang pacul berlumur kotor tanah. Jemari kakinya terselip rumput-rumput
liar. Hatinya penuh debar, bertemu kekasih.
Ternyata ajal memang nggak memihak kepada siapapun.
Putih uban belum tentu diingin tanah. Kencang kulit belum tentu jauh akan kata
punah. Perlu diingat, takdir terus mengintai kita. Di manapun, kapanpun. Dan
nyatanya, gagah sang istri justru malah mendahului sang suami tercinta untuk
selamanya. Peluknya kini terwakili dingin tanah, sepi sendiri.
Hidupnya penuh sederhana. Nggak ada banyak yang
dilakukan untuk sisa nafas tuanya. Hanya rajin bolak-balik mushola untuk sholat
5 waktu dan abdi rindunya untuk sang istri di hadap gunduk tanah berwangi bunga
itu.
Setiap sore, tanpa terlewat, ia selalu jenguk
kekasihnya yang kesepian. Ia bersihkan rumput, tabur bunga, juga siram. Air
matanya nggak pernah bisa untuk tetap gersang gunduk tanah istrinya.
Ia tetap berdiri pada tiang itu. Ia seperti linglung,
semangat hidupnya ikut terkubur bersama sosok yang menjadi alasan semangat itu
sendiri.
Matanya menatap jauh pada ujung jalan. Sendu. Kosong. Nggak
terpengaruh dengan bising kendaraan dan mulut orang lain yang mengiba.
"Mi, tenangkah kau di sana? Nyatanya aku tiada
tenang tanpamu. Berapa lama lagi meranaku tanpamu? Aku tak kuat lagi. Ingin
kembali bertemu denganmu lagi. Ya, Tuhan!" Dalam bahasa sepinya.
Komentar
Posting Komentar