Combo

Syawal dan pesantren menjadi momen manis, relationship goals. Hari di mana berakhirnya waktu liburan dan segera kembali ke pondok. Melihat wajah-wajah lama yang terkesan baru, juga cerita-cerita segar yang dibawa olehnya.

Sebut saja, kala itu, pondok seketika menjadi begitu permai dan syahdu. Ukhuwah basyariyah begitu terasa: semua orang, semarak salam.

Entah ia tua atau muda, senior atau junior, mahasiswa atau siswa, pengurus atau santri, guru atau murid, orang jauh atau orang dekat, akrab atau nggaknya, semua bersatu padu, larut dalam jabat tangan “Minal aidin, ya!”

Lihat senyum-senyum itu, tangan yang terulur, ucapan tulus hingga yang sedikit kaku, itu cukup mengharukan.

Jujur, gua selalu suka momen itu.

Hal lain, yang menjadi euforia yang lain, yang menjadi suka gua yang lain dan cukup ditunggu: book show!

Dalam hal ini, rasa-rasanya Maul menjadi partner yang baik, -sekaligus lawan yang sengit. Ia yang jebolan prodi Tadris Bahasa Indonesia, cukup sudah untuk pede sang ‘sastrawan’. Tidak mungkin kekayaannya, privilegenya sebagai anak DPR disia-siakan berhambur tanpa membeli buku.

Hal itulah yang sedikit kembang kempis mengimbangi adik kelas satu ini. Meskipun gua takan pernah takut, takan pernah menyerah.

“Ada buku baru apa edisi liburan ini?” Todong gua, tepat tubuh ini baru saja merebah, tepat disampingnya yang terlihat melamun.

Dengan itu, pecah sudah lamunnya.

Ia menengok, terseyum, dan beberapa kata yang pantas. Lalu, menarik tas besarnya, yang barang-barangnya belum sepenuhnya dikeluarkan, dibereskan, ditata.

Dan, taraaaa...

Gua benar-benar terpesona, sepenuhnya terperangah saat ia mengeluarkan “Cau-bau-kan”-nya Remy Sylado, “Kuda”-nya Panji Sukma, “Max Havelaar”-nya Multatuli, “Sepotang Hati di Angkringan”-nya Joko Pinurbo, “Menikmati Manis Racun di Bibirmu”-nya Boy Candra, “Sisi Gelap Gatot Kaca”-nya Pitoyo Amrih, “Laut Sebelum Pasang”-nya Lilpudu, “Sastrawan Santri” dan “Hadrah Kiai”-nya Badrussholeh.

Itu benar-benar pukulan yang telak.

“Lah, sampen katanya hunting buku juga kemarin?”

“Iya lagi.”

“Wiiih, ke mana tuh? Dapat berapa?”

“Ke Semarang doang sebentar. Lagian juga nggak dapat banyak.”

Gua kasih lihat ‘belahan jiwa’ itu, meski agak sedikit minder dan sadar diri, rentetan judul hebat yang beruntung dari sekian judul buku hebat lainnya yang tersisih nggak terpilih, atas pertimbangan panjang, juga menyesal akan yang tersisih, atau mungkin serakah dengan nafsu hati memborong seluruh seisi toko buku itu.

Gua menyajikan dengan penuh keterbukaan.

Mulai dari “1984”-nya George Orwell, “Corat-Coret Di Toilet”-nya Eka Kurniawan, “Tangan Kotor Di Balik Layar”-nya Puthut EA, “Seni Memahami Kekasih”-nya Agus Mulyadi, “Ditusuk Rindu Hingga Tulang”-nya Arial Karwa.

“1984”, menjadi rekomendasi yang hebat. Secara George Orwell dengan satirenya yang memukau. Apalagi tentang genre sosio-politik, dirasa nikmat untuk disantap pada situasi negara saat ini.

“Corat-Coret Di Toilet”, menjadi buku surealis rekomen yang lain. Secara ini cerpen yang tentunya, memiliki greget lain dibanding novel, bisa dilihat dari judul yang penuh kemuakan. Buku ini sempat gua punya, meskipun langsung hilang dicuri orang pas masih baru-barunya.

“Tangan Kotor Di Balik Layar”, menjadi pembuktian rasa penasaran gua, apa jadinya seorang kritikus dengan opini hebat seorang pimred yang menulis novel? Apalagi ini tentang jurnalis yang dibalut genre horor-misteri figure tokoh barokah. 

“Seni Memahami Kekasih”, disclaimer, bukan sebab sesama MU gua mempersunting buku ini. Sejujurnya, gua selalu suka gagasan dan cara penyampaian sang penulis. Apalagi buku ini tentang esai romance, apalagi baru saja difilmkan.

“Ditusuk Rindu Hingga Tulang”, menjadi pemain baru dalam khazanah perpuisian gua. Entah soal penulis dan corong topiknya, puisi ini sudah cukup estetika dengan judul dan ilustrasi lukisan di setiap lembarnya.

Rasa-rasanya, Maul cukup antusias dengan apa yang gua sajikan. Malam itu menjadi malam yang penuh harapan akan nasib literasi bangsa yang bersinar.

Hal lain, terakhir, masa-masa seperti ini best player of the match-nya adalah, apalagi kalau bukan soal jajan dan oleh-oleh

Sebagaimana realitasnya, bahwa pondok pesantren adalah entitas lembaga pendidikan yang memiliki background plural dan general, membuatnya begitu ramai oleh santri-santri dari berbagai penjuru Nusantara. Berbagai wilayah, juga ciri khas dan ikoniknya.

Untuk hal ini, jajan menjadi unsur pemenang: meski bukan sepenuhnya penenang.

Tidak jauh-jauh, untuk kamar ini saja, tawa-tawa yang meledak dan sorak sorai riuh khalayak pada sesinya untuk masing-masing unboxing hasil produk jajanannya yang terbanggakan. Mereka yang Mojokerto, Brebes, Blitar, Bekasi, Palembang, Wonogiri, Banjarmasin, Cirebon, Wonogiri, Tulungagung.

Tiba-tiba saja kamar itu jadi festival kuliner Nusantara dengan jajanan yang menggunung membumbung, mungkin juga sesi review dan mukbang bak konten kreator. Cuma yang ini, agak dadakan dan sedikit ugal-ugalan aja.

Sudah bisa dipastikan, dari sekian deretan jenis makanan yang terpuja, sebuah keniscayaan, jengkol balado dari Bekasi, telur asin dan bawang goreng dari Brebes, juga cuko kuah pempek dari Palembang, menjadi relationship goals tiada tara: ada yang berani menerka aroma kentutnya?

Haha, itu combo maut yang mematikan!

Tapi bagaimanapun, apa saja jenis makanannya, seberapa berselera, kualitas dan kuantitasnya, semua menjadi lebih berarti di dalam kekeluargaan dan kebersamaan. Saling berbincang, saling mendengarkan dan menanggapi, diiringi tawa-tawa dan “krauk… krauk…” 

Saking renyahnya ikatan mereka.

Hidup permai damai sentosa sebagai makhluk tuhan, saudara, dan teman seperjuangan.

“Whahaha, kamar mandi jadi bau jengkol woiii! Tanggung jawab, Bat!” Lantangnya di depan khalayak, bak orasi reformasi, seolah korban yang padahal ia juga pelaku: pelaku yang lahap.

Sebab buku ‘Animal Farm’-nya George Orwell, gua jadi tau, bahwa komedi punya banyak corak, dan satire yang bisa saja untuk cukup ditertawakan.

Kami semua tertawa.

Kami memiliki selera komedi yang baik. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terminal

Dompet

Termometer