Zeus

Entah kenapa, Ramadhan edisi ini bawaannya mau kesal mulu, mau marah mulu. Ada aja hal yang mengusik kesabaran, menawarkan menyerah, lalu marah. Nggak selalu dapat langsung membatalkan nilai ibadah suatu puasa, seenggaknya pahala ini nggak bisa kita ukur dengan kadar tertentu: kapan ia kurang, kapan tambah, apa hasilnya.

Hanya mendapat lapar haus dahaga, dengan membayangkan perasaan Tuhan akan perintahnya.

Tapi dengan itu, nggak semerta-merta kita nggak boleh marah. Boleh kok, marah itu boleh. Lagian siapa yang melarang jika Tuhan sudah jelas-jelas menciptakan emosi untuk manusia?

Gua rasa gua udah capek. Harus marah-marah sendiri, memendam-memendam sendiri, capek-capek sendiri.  

Nggak perlu soal hal besar yang dramatis, seenggaknya pada hal-hal kecil yang lebih problematis dan traumatis. Serasa amat menyebalkan, pada suatu hal yang dilakukan secara berulang dan rutin, tetapi kita hanya bisa diam, menahan segala gejolak perasaan.

Bukan maksud nggak berani, hal yang harus diungkapkan, rasanya memiliki dampaknya tersendiri. Nggak setiap hal dapat langsung diungkapkan, atau seenggaknya mudah untuk diungkapkan. Kadang kala, diam dan nggak banyak berkomentar itu lebih baik demi ‘harmonisasi ukhwah basyariyah’, -katanya.

Apa apa kita hanya bisa dan boleh diam saja? Diam sebenar-benarnya diam? Meski Tuhan menciptakan pikiran untuk mengatur emosi, lalu apa gunanya perasaan? Seenggaknya, kita hanya butuh jawaban untuk tetap bisa menjaga kewarasan ini! Hanya itu.

Maka, dengan pelukan hangat yang selalu diberikan oleh menulis, gua berniat meluapkan panas hati ini di sini. Mungkin saja karena sebab terlalu panasnya api amarah, dapat membakar halaman blog ini dan kenyamanan membacanya.

Bagi kalian yang hatinya setipis dan selembut kertas, sangat nggak dianjurkan membaca tulisan terbitan ini; meskipun silahkan saja untuk tetap membaca terbitan selanjutnya.

Dengan ini, mari kita mulai: mari marah-maraaahhh, hurrrraaahhh!

Berikut adalah list pemantik kesenjangan psikis, kerikil-kerikil panas kuku iblis.

Pertama, adalah makan dengan tangan dosa.

Bagaimana rasanya, jika makan bareng dan tergabung dalam circle orang-orang bertangan dosa? Bangun tidur, dengan nafas tersengal, mata sayup, leher keringatan, dan tangan kering itu langsung merogoh isi nampan?

Dengan ini, kita fokuskan saja pada pembahasan ‘tangan’-nya. Tangan yang berlumur kotor dosa itu rasanya telah menodai hamparan rezeki suci dari Tuhan. Melecehkan butir nasi, mencemooh lauk pauk dan sayurnya. Sedangkan kita nggak pernah tau, hal apa yang telah dilakukan tangan itu di masa tidurnya, sadar nggaknya, sengaja nggaknya.

Gimana kalau sampai dipakai garuk-garuk? Terlepas ‘apa’ yang digaruknya, makan tanpa cuci tangan itu jorok sekali. Gua selalu membayangkan, asin gurih daki itu, nyatanya akan menjadi formula yang mematikan cita-cita lezat setiap suapan. Gua sama sekali nggak berani menatap kukunya.

Makanan itu, masa kami harus bergantung energi seharian penuh berpuasa dari asin gurih daki?

Mulai dari sini gua percaya, bahwa konten bubur kobok vrindafan itu nyata!

Kedua, adalah tadarus berisik.

Hal yang perlu dipahami, masalahnya bukan di tadarus, tapi di berisiknya. Jahat betul bagi mereka yang harus panas terhadap orang yang bertadaru membaca Al-Qur’an. Tapi itu benar-benar berisik. Kayak-kayak cuma dia yang punya ibadah, kayak cuma dia yang punya kuping. Maksud gua, emang tadarus Al-Qur’an harus berisik? Kalau nggak berisik, nggak diterima tadarusnya? Iya kalau tadarusnya di masjid atau mushola yang memang wajar karena ada speaker. Lah ini di kamar! Dengan tinggi frekuensi suara itu dan luas persegi kamar dengan segala aktivitasnya. Ambisi jadi imam Mekah? Mending kalau suaranya enak, masih ada hal yang ditolelir. Nggak begitu mengusik telinga. Ini udah berisik, makhroj blentang-blentong, suara kayak kaleng rombeng. Seenggaknya satu yang jadi pertanyaan: kok itu kuping bisa betah nempel di kepalanya?

Ketiga, adalah batuk saat ngaji.

Ini dirasa cukup menyebalkan. Kita yang sedang ngaji, maknai, menangkap penjelasan beliau, fokus pena pada lafaz kitab, berusaha untuk tetap sinkron antara suara dan gerak pena, syahdu itu dibuyarkan oleh “Uhuk... Uhuk...”

Lalu yang namanya batuk, pasti akan terus berulang. Sedangkan itu, keras dan tingginya tempo suara batuk pasti akan berbeda-beda. Semakin sering batuk, akan semakin gatal tenggorokan. Jika tenggorokan semakin gatal, maka “Uhuk...”-nya akan semakin nyaring. Nyaring, senyaring sangkakala!

Rasanya bukan hanya gua yang terganggu, mikir gua, gimana dengan yang lain? Gimana dengan beliau? Jadi tolonglah, kalau emang lagi batuk, pilih tempat duduk yang paling strategis. Jangan sok istiqamah tapi mengganggu istiqamah yang lain. Seenggaknya kalau terlalu gatal tenggorokannya dan nggak tertolong: minum aja minum! Kayaknya seret tuh tenggorokan: minumin!

Keempat, tidur nggak pakai baju.

Ohmaigat, please!

Seharusnya nggak ada yang perlu dipermasalahkan bagi orang yang bertelanjang dada di pondok ini, apalagi ia putra, apalagi di pondok putra, apalagi di kamar. Tapi apa lu nggak sadar? Lu itu bau! Badan lu itu bau! Bau kaos kaki basah yang 5 bulan nggak dicuci! Tengik!

Kok bisa Allah menciptakan manusia sebau itu? Kok ada badan sebusuk bangkai itu? Kok bisa?!

Maksud gua, kok dia betah, gitu?! Badan lengket bau gitu? Keringatan, jarang mandi, dan kaos nggak ganti-ganti? Kok betah?! Nggak punya sabun? Nggak punya kaos? Kenapa nggak bilang? Kenapa nggak minjam?

Serius, ini benar-benar menjengkelkan. Dan tentu, kita nggak bisa ngomong blak-blakan secara langsung, apalagi orang ini adalah kakak kelas, jauh beberapa tingkat. Nggak bisa kita dengan ringan mulut, “Eh kang, badan lu bau bangkai tikus!” Kan nggak mungkin!

Ini sungguh-sungguh problematis dan dilematis. Rasanya akan berdampak pada psikis jika terus memikirkan solusinya.

Memang sih Ramadhan tuh bulan yang istimewa, segala hal di dalamnya akan dipandang baik dan dilipatgandakan. Memang sih ada hadist yang mengakatan, bau mulutnya orang yang berpuasa itu lebih wangi dari minyak kasturi. Tapi kan itu hanya mulut, bukan sekujur tubuh! Kalau mau dapat pahala lebih, nggak gitu caranya! Nggak gitu pemahamannya!

Dengan itu, habis ini, langsung pergi ke laundry! Atau nggak ke steam motor, kalau bisa yang salju! Jangan lupa dakinya digosok pakai amplas!

Kelima, adalah ghosob mengghosob sandal.

Orang-orang kayak gini nih sama nggak ngotaknya dengan yang ghosob peci hitam. Kok bisa? Meski hanya sandal dan peci, hal kecil, itu sangat berperan besar. Itu barang inti. Ibarat sepak bola, sandal dan peci itu adalah peluitnya. Pertandingan nggak akan jalan. Mau ke mana-manya nyeker kayak kambing? Mau ngaji nggak pakai peci?

Hal yang lebih nggak habis pikirnya tuh, kok bisa lu nggak punya sandal? Mondok nggak punya peci hitam? Kok bisa, hah? Padahal makan enak terus, rokok jalan terus, kok buat beli sandal yang 15 ribu nggak mampu? Masa buat hal kecil kayak beginian harus ngerepotin orang?

Masa pikiran lu nggak sampai, lu yang pakai sandalnya karena ‘butuh’, bagaimana dengan yang punya sandal itu? Lu yang pakai peci hitamnya dengan alasan ‘butuh’, bagaimana dengan ia yang pecinya lu pakai diam-diam? Kan dia beli, pasti karena dia butuh! Buat apa beli sandal dan peci hitam kalau nggak butuh? Buat pajangan?

Parahnya tuh sampai nggak mikir ke situ. Udah mah ghosob, egois lagi. giliran dibilangin, malah cengengesan. Giliran diomelin, malah lebih nyolot.

Orang-orang kayak gini nih, otaknya perlu ikut dilaundry atau disteam salju bareng orang yang di atas!

Keenam, adalah perihal petugas piket yang lemot.

Sebagaimana kita tau, bahwa Ramadhan adalah momen kebersamaan dan piket adalah salah satu jalannya. Atas dasar kebersamaan, dibentuklah jadwal piket yang mengurusi sahur dan berbuka, menghidupi forum makan bersama, hanya sekedar beli lauk dan masak nasi. Beli lauk, bukan meracik bumbu. Masak nasi, bukan nanam padi.

Dengan ini, kok bisa mengkhianati hal yang sudah disepakati bersama? Sdah dibuat sedemikian manusiawi mungkin, kok masih ada yang menjadi iblis? Dibuat perkelompok, satu kelompok 2 orang biar ada teman dan lebih ringan nggak sendirian. Setiap kelompok bergilir tugas di setiap 5 hari sekali. Dengan ini, kok masih protes?

Ada yang nggak terima jadwal gilirannya yang terlalu cepatlah, temannya nggak solid lah, ada yang masak nasi tapi nggak beli lauk, ada yang beli lauk tapi nggak masak nasi, ada yang masak nasi dan beli lauk tapi udah terlanjur adzan subuh, ada yang masak nasi tapi kebanyakan air, ada yang masak nasi tapi nggak dicook, ada yang beli lauk tapi basi, ada yang beli lauk tapi sayur rebung. Ada yang ada tapi nggak ada, ada yang nggak ada tapi ada: pokoknya ada-ada aja lah!

Kok bisa??? Ini cuma masak nasi dan beli lauk doang!!! Gitu doang kok nggak becus?!

“Maklum lah, kan cah lanang!”

Lah kok masih sempat ngejawab??

Eh, jamet!

Ini bukan soal lanang nggak lanang, tapi soal ngotak nggak ngotak!

Itu baru soal masak nasi dan beli lauk, belum ke urusan bayar dan lunas. Sedari awal, sedari debat panjang ribet bahas makan doang, ditetapkan angaran sehari 50 ribu. 25 ribu untuk anggaran sahur, 25 ribu untuk anggaran berbuka. Ini soal lauk, beras beda lagi. Dan nyatanya, sepakat. Harga yang lebih mahal 5 ribu dari tahun sebelumnya, disebabkan oleh protes yang katanya anggaran yang terlalu minimum untuk selera sahur yang sehat lezat bergizi maju makmur selamat sentosa bermanfaat dunia akhirat.

“Yaudah, ditambah 20 ribu. Berarti anggaran 40 ribu, sehari 80 ribu!”

Bebas saja ketua panitia menentukan, mereka pun bebas-bebas saja menentukan gua jadi panitia.

Tapi, apa?

Malah ramai menolak. Mau makan puas kok pelit?

Akhirnya anggaran ditambah 5 ribu, supaya nggak memberatkan katanya. Oke, ditambah 5 ribu.

Bisa buat dimanage beli konsumsi yang sehat lezat bergizi maju makmur selamat sentosa bermanfaat dunia akhirat, katanya. Gua hanya tinggal narikin iurannya, mencatat, mengatur pengeluaran, menyiapkan nampan dan rice cooker, beli beras, mengkoordinir petugas, membangunkan masyarakat bangun sahur, menyalin kitab ihya ulumudin, menghafal 4 kitab suci, memetik bintang, membelah bulan, menggiring kerbau ke sawah, mencukur kumis naga, merenovasi jembatan ampera, menjaga telur dinosaurus, menguras air laut, memanggil alien, bertarung dengan bobiboy, membantu gajah melahirkan, menjahit sempak superman, dan lain-lain.

Nyatanya, dengan efisiensi anggaran mengikut fatwa pemerintah yang terhormat, mereka masih ada yang belum lunas, bahkan sama sekali.

Beruntung sekali kiranya, bagi mereka yang berhadap orang yang nggak enakan kayak gua, yang marah dan ngomel dirasa nggak pantas, nggak sangar blas: aura anak baik ini menolak.

Gua cuma bisa berdo’a di bulan mustajab ini, bagi mereka yang mengunyahnya lancar tapi bayarnya mampet, semoga beraknya juga mampet. Biarin aja, biarin, biarin!

Ketujuh, adalah mafia hanger.

Ini, udah nggak habis pikir. Gua udah terlalu capek marah-marah. Untuk yang satu ini, gua hanya mau membahasnya sedikit aja. Teruntuk anda santri idaman cetar membahana yang paling rajin dan paling punya pakaian, tolonglah bro, kalau habis nyuci baju, sekalian cuci juga otaknya.

Gua nggak ada masalah untuk lu yang rajin nyuci. Kalau mau nyuci ya tinggal nyuci, toh tenaga ya tenaga lu, baju ya baju lu, juga sikat dan sabun cuci yang dibeli dari uang kantong pribadi lu. Ya terserah deh itu, bebas, suka-suka!

Tapi untuk hanger, gantungan baju, itu punya siapa hei?! Itu dana umat, amanat!

Dan yang ngeselinnya lagi, dia tuh selalu menimbun hanger, sampai banyak, menumpuk, menggunung, padahal nyucinya entah kapan. Giliran mau dipakai duluan, malah nggak boleh. Katanya, mau dipakai nyuci. Giliran ditanya kapan, tapi nggak tau.

Ah taulah, lebih baik buang uang dikit untuk lempar pakaian kotor ke laundry, dari pada buang emosi ke orang pala batu itu.

Ramadhan emang enaknya hujan aja, Ya Tuhan. Sejuk. Hujan aja. Nggak apa-apa kok, hujan aja hujan. Yang badai,  kalau bisa khusus daerah jemuran-jemuran.

Terakhir deh, kedelapan, adalah untuk mereka si paling-paling: si paling ibadah, si paling ngaji, si paling tadarus, si paling tepat waktu, si paling bergizi, si paling musik, si paling sepak bola, si paling komediii, si paling nabung, si paling istirahat, si paling berbuat baik, si paling kemanusiaan, si paling totalitas, si paling profesional, si paling ganteng, si paling perempuan, si paling bersedekah, si paling berperan; kayak-kayak kalau nggak ada lu, kehidupan akan kacau balau, umat manusia akan terpecah belah.

Sebelumnya, terima kasih, wahai cucu dewa Zeus!

Terima kasih telah menyelamatkan bumi kami.

Tapi, dengan ini, kami hanya ingin sedikit berpesan: apakah paduka nggak ada niatan untuk mati dekat-dekat ini? Mumpung lagi bagus nih momennya?!

Whahahahaha!

Lepaskan!

Lepaskan!

Hohoho!

“Istighfar, Bat, istighfar!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Termometer

Semut

Kepompong