Majdi
Resiko jadi alumni yang baik dan asik, setiap ramadhan pasti banyak banget yang ngundang bukber.
Seperti satu undangan itu, sebenarnya agak kebangetan kalau gua sampai nggak diundang. Secara emang gua lahir di sana. Kecil dan tumbuh di sana. Banyak waktu gua habiskan di sana.
Ladies and gentle man, please welcome: Iksanda!
Sebagai santri yang betah atau dipaksa betah sampai jenjang mahasiswa, pindah kamar adalah keniscayaan. Itu nggak bisa dipungkiri. Akan datang masa itu. Siapapun mahasiswa di pondok ini, bagaimanapun, baginya, kamar putih abunya selalu menjadi kamar ternyaman.
“Bang, jangan lupa ya datang!”
Dari jauh-jauh hari bahkan, kalimat-kalimat itu selalu mengaung-ngaung di telinga; dari adik-adik kamar yang sangat mengharapkan kakandanya ini untuk datang dan membersamai kebahagiaan mereka.
Lagipula kenapa nggak? Toh nggak soal acara pun, gua selalu menyempatkan untuk main ke kamar itu, sekedar ngobrol atau bercanda, bahkan numpang rebahan di waktu luang jam sepi adik-adik sekolah.
Tapi bagaimanapun, alumni tetaplah alumni yang selalu kena stigma “Alumni sombong banget!” kalau nggak datang, dan “Alumni numpang makan doang!” bahkan saat datangnya.
Ya, namanya juga orang. Nggak menafikan salah benarnya, gua juga tau, itu hanya sekedar candaan. Hitung-hitung kalimat keakraban. Nggak usah diperpanjang.
Sehabis ngaji sore, gua yang menyempatkan membuka laptop, rebahan, meluruskan pinggang. Belum ada beberapa menit, eh si gendut datang.
“Bang, ayo. Udah mau mulai!” Cekatan sekali ia menyusul, kayaknya emang panitia. Atau mungkin adik kelas yang baik.
“Iya-Iya. Tungguin.”
Gua pakai baju yang pantas, parfum, ngaca dikit: gass!
“Nggak pakai sandal, Bang?”
“Yaelah, sini ke sono aja pakai sandal.”
Selain karena jaraknya yang nggak seberapa, sejujurnya, dengan nyeker gua selalu berhasil untuk meredakan segala kesan ‘sok’ dalam diri ini. Entah kenapa, terasa lebih merakyat dan lebih mendapatkan arti kesederhanaan. Terserahlah!
Selain soal buka bersama, acara kali itu juga disertakan khotmil Qur’an. Sejak awal sore, kamar itu ‘benderang’; menyejukkan.
Namun sayang seribu sayang, rekan-rekan ‘Monster Rawa’, sang sekumpulan pemuda gagah harapan bangsa itu nggak bisa kumpul secara penuh. Ada yang telah lebih dulu mudik, ada yang terbentur acara lain.
“Bang. Lu nggak masuk?” Tanya si gendut.
Ini juga.
Di setiap acara, selalu gua usahakan nggak cepat datang masuk kamar, memilih transit di teras tangga asrama terlebih dahulu. Ngobrol dengan khalayak atau malah ngerecokin seksi konsumsi. Karena di satu sisi, gua menghindari sesi sambutan.
Bukan nggak berani.
Gua hanya membayangkan, sambutan atas nama alumni, di hadapan para beliau, alumni ‘sepuh’. Akan sepantas apa gua? Mau taruh di mana muka gua? Apa yang mau diomongin? Waaah!
Itu kenapa, gua baru bisa memastikan masuk dan duduk di kamar mengikuti acara, tepat saat ‘kang’ atau ‘pak’ Rozaq datang dan duduk.
Gua memanggil ‘kang’, karena gua sempat menemui masa beliau saat masih ‘siswa’. Tapi sekarang, beliau telah lulus dan menjadi mustahiq 2 aliyah. Jelas sudah beliau yang sangat amat cerdas dan luar biasa dalam keilmuwan. Toh, jangka umur kami memang jauh. 6 tahun. Sangat pantas gua memanggil beliau dengan ‘pak’, dan tetap ada kewenangan jika gua memanggilnya ‘kang’.
Satu sisi, nggak enaknya setiap acara beginian, alumni selalu dibeda-bedakan. Sesederhana alas duduknya diberi permadani atau karpet dibanding khalayak yang lain yang tanpa alas, bagi gua, itu menyebalkan. Gua tau maksudnya baik, menghormati atau apa. Tapi gua nggak nyaman! Kayak sama siapa aja. Toh gua masih nyambung ngobrol sama mereka. Kita nggak terlalu jauh umurnya.
Dengan itu, hal yang bisa gua lakukan, tetap mencari tempat selain permadani dan karpet, dan memilih duduk bersama dengan khalayak adik-adik. Biarlah para alumni ‘sepuh’ yang tampil. Sepantasnya memang seperti itu. Sedangkan alumni ‘muda’ dan masih ‘kinyis-kinyis’ ini biarlah menyimak.
Sampai akhirnya, khotmil Qur’an selesai.
Dan sudah bisa dipastikan, pada sesi sambutan, Pak Razaq lah yang diberi kesempatan untuk sambutan: momen ini paling gua suka!
Tepat gua yang duduk sekelompok dengan khalayak, paling depan, paling tinggi, paling gagah berkumis, memasang wajah serius dan memang benar-benar serius untuk menyimak penjelasan beliau. Selain penuh makna, bahasanya itu nyaman di dengar. Sulit dijelaskan pokoknya. Karena bagaimanapun, ucapan orang cerdas itu emang selalu enak didengar. Meskipun, ya, nggak semuanya.
‘Kultum’ kali itu, bertemakan kesungguhan belajar.
Semua dijelaskan dengan mengena oleh beliau. Tentang hakikat ilmu, hakikat belajar, kultur pesantren dan pembawaan diri, serta mengutip satu dua dalil, satu dua cerita.
Di selain itu:
“Sebenarnya orang tua itu sudah nggak wajib menafkahi kita. Seorang anak bisa lepas dari nafkah orang tua ketika ia sudah beranjak baligh. Tetapi karena kita hitungannya masih belajar dan belum bisa mencari penghasilan sendiri, menjadi lantaran orang tua menafkahi. Tetapi dengan satu syarat: yurja manfaatuhu. Dapat diharapkan keberhasilannya. Pertanyaannya, apakah kita dapat menjamin itu atau nggak? Kalau nggak, berarti kita membohongi orang tua. Kita memakan uang yang tidak sepantasnya. Meskipun toh yang namanya orang tua pasti ikhlas untuk anak.”
Juga, “ بجد لا بجد كل مجد # فهل جد بلا جد بمجد ; Kesuksesan didapat bukan dengan kesungguhan, tetapi dengan pertolongan Allah. Tapi bagaimana Allah memberikan pertolongan jika tanpa besungguh-sungguh?”
Gua benar-benar termenung.
Tepat di adzan maghrib, satu dua kurma dan kismis, hingga beberapa suapan bebek goreng: tetap mengusik hati.
“Bang, jangan pulang dulu. Sini kita tarawih di kamar aja bareng-bareng!”
Komentar
Posting Komentar