Lurus
Marhaban ya Ramadhan.
Otak yang bermekar, hati yang mewangi,
lisan yang menghalus, dan sikap yang menghangat; menyemarakan kebahagiaan,
warna-warna kebersamaan.
Dengan segala euforianya, Ramadhan harus
dirayakan dengan pengajian Gus Melvien!
Gua nggak perlu membahas apapun secara
berlebihan, hal-hal jujur yang menyegarkan, hingga pengalaman baru yang penuh
pesona. Karena bagaimanapun, Ramadhan selalu memiliki sisi menarik yang
bisa dibahas, nggak pernah gagal
berterima kasih.
Tapi, satu ini, gua rasa, gua perlu
mengapresiasi, perihal konsistensi diri yang tetap jatuh cinta dengan pengajian
yang diselenggarakan Gus Melvien.
Sebagaimana layaknya yang terjadi, saat
ramadhan, pondok pesantren seakan menjadi destinasi pengajian yang menakjubkan. Kelas-kelas pengajian menjamur bermunculan untuk diisi oleh segenap ustadz
dengan berbagai macam kitab yang menggugah selera.
“Wah, ini seru!”
“Wah, itu seru!”
Seakan nama-nama kitab itu mengundang
kelezatan, membuat kita mendadak menjadi pelajar yang rakus ilmu.
Selain itu, nggak hanya ustadz, pengajian yang diisi oleh beliau-beliau adalah sesuatu
hidangan yang ditunggu-tunggu. Ada sebagian
yang tetap menghidangkan menu yang sama, ada juga yang memperkenalkan menu baru
untuk dicoba.
Gus Melvien adalah ’chef’ yang selalu
menawarkan menu baru itu!
Tapi sebelumnya, bagaimana gua harus mengatakannya, Gus Melvien sudah
sangat pantas untuk disebut kiai.
Itu kenapa, dalam penulisannya, beliau sudah mendapat semat ’KH’ di sebelum nama lengkap dan gelar. Hal
yang menyebabkan, mungkin karena wajah beliau yang senantiasa muda. Ya,
agak sulit diterima jika beliau
dilimpahi kesan ’sepuh’: beliau masih sangat pantas untuk panggilan ’gus’.
Toh, sekelas kakak beliau, KH. Reza Ahmad Zahid Lc.MA., masih
sempat dipanggil Gus Reza.
Is there a problem up to this point?
Sedari terbebas dari kelas wajib dan bisa
sesuka hati memilih kelas mengaji di manapun, di pondok induk sekalipun, kapanpun dan
berapapun, gua nggak pernah absen untuk menjadi bagian dari jama’ah mejelis
ilmu yang bertempat di mushola itu.
Sudah terhitung 3 tahun sampai kini, sejak
kitab Qul Hadzihi Sabiliy, Kifayatul
Adzkiya, hingga kini al-Hikmah fi Makhluqatillah.
Sudah terhitung sejak tahun kemarin, gua hanya mencukupkan untuk
mengaji satu kitab saja, ikut pengajian Gus Melvien; bahkan pun kini: dengan segala pertimbangan alasan yang rasanya sulit untuk dijelaskan.
Sayangnya untuk catatan di tahun kemarin gagal tersampaikan, meskipun ya,
sudah setengah jalan penulisan, kala itu.
“Kenapa begitu
untuk pengajian ini?”
Tanpa sekalipun mengurangi hormat dan membandingi,
gua hanya merasa cocok dengan kitab, penjelasan, tempat, waktu, dan suasana;
kitab yang selalu update, penjelasan yang renyah, tempat senyaman mushola,
waktu setenang sore, dan suasana menunggu waktu berbuka yang efektif dalam
konteks ngabuburit.
“Tapi bukannya
sore kena jadwal piket?”
Piket yang dimaksud, adalah jadwal piket
harian sahur dan berbuka, meskipun nggak setiap hari. Untuk hal ini,
benar. Ada jadwal piket dan harus sedari
awal sore mempersiapkan menu berbuka puasa, memasak nasi dan membeli lauk. Itu membutuhkan waktu, mengganggu durasi jadwal ngaji sore.
Dengan kenyataan, ada 2 petugas untuk 1
kelompok piket harian, saat kebetulan ketabrak ngaji saat pas jadwal piket, itu
bisa diatur. Bisa dengan berbagi tugas antara sahur dan berbuka, atau memasak nasi dan membeli lauk: pintar-pintar kerja tim lah!
“Tapi bukannya ngaji beliau juga digabung santri putri?”
Kok banyak tanya?!
Ini juga benar. Terutama bagi gua yang selalu memilih tempat duduk
mepet satir. Jika dengan ini menjadikan persepsi untuk gua yang ngaji dan dekat
santri putri, itu salah, salah besar. Secara mushola memiliki tiang-tiang yang
super duper besar, gua hanya berniat untuk bisa dekat dan jelas melihat wajah
beliau yang diposisikan duduk tepat di garis tengah satir. Apalagi perihal sandaran dinding: oh mai gaat?!
Lagipula, seberapa dekat jarak duduk itu? Kayaknya
gua cukup tau untuk kadar baik atau buruknya suatu perkara.
Toh, satir itu benar-benar satir. Penutup yang bernar-benar
tertutup. Bukan kain, tapi papan kokoh. Hingga, apa yang
perlu dipermasalahkan? Kayaknya pemikiran buruk itu yang perlu disatir!
Di luar itu, tepat saat pelaksanaan ngaji, di menit-menit sebelum datangnya beliau, gua
selalu heran dengan hal ini: kenapa selalu berisik?
Baik santri putra atau putri, pasti selalu
berisik.
Tapi hal yang menyorot, santri putra berisik
dengan gemuruh membaca Al-Qur’an, melalar nazhom, zikir, hingga muroja’ah
kitab: apa ini terkesan bokis dan pencitraan? Terserah.
Berbanding terbalik dengan santri putri yang, ya, sebut saja gosip.
Atau kalau nggak terima, bisalah disebut ngobrol. Gua nggak mau memberi contoh
pada dialog-dialog mereka. Tapi itu benar-benar berisik! Gua yang tepat di wilayah
perbatasan, benar-benar risih untuk setiap celoteh yang merusuh ayat-ayat yang terlantunkan lirih.
Ada aja yang diobrolin!
Kayak asik banget obrolannya!
Serasa di kamar, seakan hanya mereka yang
punya kuping.
Itu benar-benar keras dan lepas!
What do you think?
“Jangan hanya perempuan yang dipikirkan oleh
laki-laki. Begitu juga perempuan, jangan hanya memikirkan laki-laki. Makhluk
gusti Allah itu banyak. Wong kok aneh!”
Pengajian baru saja dimulai, bersertaan
senyum-senyum yang bermekar.
Komentar
Posting Komentar